Bukannya Pelit, Ini Kenapa Kamu Selalu Enggan untuk Menyumbang pada Pengemis di Jalanan

Bagimu yang hidup di perkotaan, pemandangan peminta-minta di jalanan, tempat umum, sampai rumah penduduk sudah sangat biasa. Beragam jenis cara mereka meminta, ada yang menggunakan amplop sumbangan, menggendong bayi, dan sebagainya. Meski meminta-minta, banyak yang kondisi fisiknya yang terlihat sehat. Alamat yayasan pada amplop juga kurang masuk akal.

Bukannya pelit, tapi beberapa alasan tersebut menguatkan prinsipmu untuk tidak memberikan mereka uang apapun. Lagipula, masih ada banyak cara lain kok untuk berbuat kebaikan. Uangmu meski hanya 1000-2000 lebih baik disumbangkan ke mereka yang jelas membutuhkan.

Banyak peminta-minta yang terlihat sehat dan segar-bugar. Jauh lebih lemah kakek dan nenekmu di kampung

kondisinya yang sehat membuatmu enggan memberikan sumbangan

kondisinya yang sehat membuatmu enggan memberikan sumbangan via www.vemale.com

Kamu sering banget nih menemukan peminta-minta jenis ini. Kondisinya yang memang sehat, terlihat dari badannya yang tegap dan bersuara lantang, membuat kamu mengurungkan niat untuk menyumbangkan sedikit harta kepada mereka. Kadang timbul pikiran sepert ini di dalam hatimu:

“Badan sehat gitu enak banget tinggal menengadahkan tangan ke atas di pinggir jalan dan dapat uang.”

“Aku aja harus banting tulang membiayai hidup sehari-hari. Kok dia enak banget begitu?”

Menurutmu masih ada pekerjaan lain yang lebih layak bagi mereka dengan kondisi sehatnya

seharusnya, mereka malu kalau melihat penyandang cacat yang bekerja, salah satunya seperti ini

seharusnya, mereka malu kalau melihat penyandang cacat yang bekerja, salah satunya seperti ini via www.gresnews.com

“Mereka masih sehat ya, sayang banget malah meminta-minta.”

“Iya, padahal mereka bisa melakukan pekerjaan lain.”

Menurutmu mereka sangat mampu untuk melakukan pekerjaan lainnya selain meminta-minta, padahal pekerjaan tersebut bisa meningkatkan derajatnya di mata orang lain. Mereka bisa berjualan koran, menjadi tukang cuci atau tukang masak, menjadi penjaga toko — apapun yang bisa ditunjang oleh fisik mereka. Para difabel saja bisa berusaha untuk meraih pendidikan setinggi mungkin dan bekerja tanpa harus meminta-minta. Seharusnya, mereka yang masih sehat malu jika harus turun ke jalan dan menengadahkan tangan

Alamat yang terdapat pada amplop sumbangan yayasan tidak masuk akal. Misalnya: alamat yayasan di pelosok Banten, mintanya di Bekasi (?)

peminta-minta berkedok yayasan akan ditangkap tanpa surat tugas

peminta-minta berkedok yayasan akan ditangkap tanpa surat tugas via beritajatim.com

Peminta-minta yang menggunakan amplop ini sering terlihat berkeliling ke rumah warga maupun naik dari satu angkutan umum ke angkutan lainnya. Entah berkedok dari yayasan panti asuhan atau pengurus masjid, yang membuat kurang masuk akalnya yaitu alamat yayasannya. Seringkali alamat yayasan tertulis di pelosok daerah yang jarak tempuhnya cukup jauh dengan tempat tinggal mereka meminta-minta. Belum lagi alamatnya yang nggak terlalu lengkap, seperti RT dan RW-nya nggak ada.

Yang paling bikin curiga adalah kamu gak tahu uangmu nantinya digunakan untuk apa. Iya kalau untuk sekolah, kalau buat ngelem gimana?

khawatir uangnya akan disalahgunakan

khawatir uangnya akan disalahgunakan via metro.tempo.co

“Permisi bapak dan ibu penumpang. Saya putus sekolah karena gak ada biaya, mohon bantuan seikhlasnya kepada Bapak dan Ibu,”

Peminta-minta seperti ini biasanya dilakukan oleh anak-anak yang seharusnya masih sekolah. Alasan mereka karena gak ada biaya, jadinya putus sekolah dan memilih untuk menjadi peminta. Padahal, dengan kemudahan dari pemerintah meringankan masyarakat untuk menempuh pendidikan, seharusnya mereka masih bisa sekolah jika mau berusaha mendapatkan kemudahan tersebut. Sudah ada juga sekolah khusus anak jalanan buat mereka yang tidak pernah cocok dengan sistem sekolah formal.

Belum lagi, adanya pemberitaan di media massa tentang banyaknya anak-anak berusia sekolah yang ngelem membuatmu khawatir uang yang kamu berikan akan disalahgunakan.

Apalagi, bayi yang dibawa belum tentu memang bayinya sendiri. Kamu tidak ingin membantu mereka “berdagang” bayi

bayi ini kadang belum tentu memang bayinya

bayi ini kadang belum tentu memang bayinya via www.wajibbaca.com

Informasi di media mengenai penculikan anak maupun bayi untuk dijadikan peminta sudah sangat marak. Ini membuatmu berpikir bahwa bayi yang digendong oleh ibu-ibu peminta di angkutan umum maupun rumah ke rumah bukan bayi milik mereka. Belum lagi bayi-bayi tersebut yang terlihat seringkali tertidur, kamu pun berpikir kalau mereka diberi obat bius supaya nggak rewel. Selain itu juga, yang membuatmu enggan memberikan sumbangan karena kondisi ibu pemintanya yang masih sehat dan sebenarnya sanggup melakukan pekerjaan lain yang lebih pantas.

Pemberitaan mengenai mereka di media membuatmu tercengang karena di kampung halamannya sana, ternyata mereka hidup lebih mapan dibanding kamu

kenyataannya, kehidupan pengemis membuatmu tercengang

kenyataannya, kehidupan pengemis membuatmu tercengang via sidomi.com

“Lo lihat berita tadi nggak? Gila ya! Ternyata para peminta-minta itu kaya-kaya banget dan rumahnyalebih  bagus dibanding kita lho.”

“Jangankan rumah, kita aja masih ngekos sepetak Bro.”

Begitu banyak pemberitaan peminta-minta yang sebetulnya sama seperti kamu, yaitu mengadu nasib di ibukota. Bedanya ternyata kehidupan mereka di kampung halaman jauh lebih layak dan mapan dibandingkan kamu. Rumah mereka di kampung atapnya nggak ada yang bocor, sedangkan kamu, boro-boro punya rumah, ngekos sepetak bisa lancar bayarnya aja Alhamdulillah. Makanya, hal tersebut merupakan salah satu faktor kamu nggak berniat menyumbangkan sedikit harta setelah melihat berita itu.

Gak hanya berita tentang kehidupan di kampung, tapi tubuh cacatnya mereka yang dibuat-buat juga merupakan faktor kamu enggan memberikan sumbangan

ada yang memang cacat betulan, ada yang dibuat-buat ;(

ada yang memang cacat betulan, ada yang dibuat-buat ;( via www.infospesial.net

Media nggak hanya memberitakankehidupan peminta-minta tentang di kampung halaman, tapi juga investigasi di balik cacat tubuhnya. Kamu yang tadinya rajin memberikan sumbangan kepada mereka yang cacat, langsung menahan keinginanmu tersebut setelah mengetahui cacatnya hanya bohong belaka. Ada juga yang memang benar cacat tapi sengaja dibuat hanya untuk terlihat betulan. Kadang, kamu pun juga berpikir kalau di luar sana sebenarnya masih ada para orang cacat yang bekerja keras dengan usahanya sendiri, bahkan ada yang menciptakan lapangan pekerjaan. Dan tentu hal ini pun semakin membuatmu enggan untuk memberikan sumbangan.

Intinya yaitu kamu ragu apakah mereka memang layak menerima sumbangan yang diminta. Bukannya pelit, tapi ada cara berbuat baik yang lebih “bikin lega”

bakti sosial

bakti sosial via alumni-ut.com

Berdasarkan informasi di media dan beberapa hal aneh lainnya, membuatmu semakin nggak berniat memberikan sumbangan kepada mereka. Meskipun bernilai kecil, kamu khawatir uang yang diberikan akan disalahgunakan. Daripada kamunya ragu dan memang disalahgunakan, kamu lebih memilih menyalurkan sumbangan kepada yayasan yang jelas dan orang-orang sekitarmu yang memang kamu tahu kurang mampu.

Harapanmu sederhana saja sih: dengan tidak memberi mereka uang, kamu bisa menyadarkan mereka bahwa ada cara yang lebih baik untuk menyumbang hidup selain meminta-minta.

Meskipun tak memberi di jalanan, bukan berarti kamu tak bisa berbuat baik ‘kan?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini