Film Memoria: Potret Pilu Perempuan Timor Leste yang Setelah Merdeka Sekalipun Masih Merasa Terjajah

Para pecinta film pasti sudah tak asing dengan nama Kamila Andini. Ya, seorang sutradara muda berusia 30 tahun yang juga putri sulung sutradara kondang Indonesia, Garin Nugroho. Sabtu (17/12) lalu, film pendek terbarunya yang berjudul Memoria untuk pertama kalinya telah tayang di Jakarta. Perempuan yang membuat film layar lebar pertama berjudul The Mirror Never Lies pada tahun 2011 ini mengaku bahwa Memoria merupakan karyanya yang paling menguras emosi. Sejatinya, apa sih yang diceritakan dalam film ini? Berikut sedikit reviewnya. Semoga pengetahuanmu bertambah setelah membacanya, ya!

Film ini menggambarkan sepotong kehidupan di Timor Leste. Tentang perempuan yang meski sudah tak berperang dan telah merdeka, tetap saja jadi korban dan terus terluka

mungkin kamu akan menangis haru dan sedih ketika menonton film ini

Mungkin kamu akan menangis haru dan sedih ketika menonton film ini via mubi.com

Timor Leste telah resmi memisahkan diri dari Indonesia sejak 14 tahun silam. Walau nampak telah bebas dan merdeka, ternyata masih ada banyak luka yang tersisa bagi sebagian masyarakatnya. Terutama bagi perempuan. Hal ini tergambar nyata dalam film berdurasi 45 menit besutan sutradara muda, Kamila Andini.

“Film ini berkisah dari sudut pandang dua wanita berbeda generasi (Maria dan putrinya) yang sama-sama mencari arti dari kebebasan,” ujar perempuan yang akrab disapa Dini, dilansir dari detik.com

Film dibuka oleh narasi kisah hidup Maria, seorang perempuan asli Timor Leste yang jadi korban perang dan masih terluka meski sudah merdeka

Peluncuran film Memoria

Peluncuran film Memoria via kompas.com

Latar yang diambil ialah saat zaman perang, ketika Timor Leste berupaya memerdekakan diri dari Indonesia. Kala itu banyak perempuan yang jadi korban pemerkosaan untuk melampiaskan nafsu para tentara yang sibuk pegang senjata. Film yang ber-setting di sebuah kota kecil bernama Ermera, menceritakan seorang ibu bernama Maria. Maria yang jadi salah satu korban kekerasaan seksual semasa perang itu, selalu mencoba melupakan memori kelam dalam hidupnya.

Maria dilukiskan untuk terus bertahan hidup membesarkan seorang anak perempuan dari salah satu tentara yang memerkosanya. Sudut pandang kedua ialah dari anak Maria, Flora, yang mencoba melindungi diri melalui peliknya pernikahan. Keduanya tengah mencoba menemukan arti kebebasan dan merdeka yang sesungguhnya.

Sang sutradara Kamila Andini tak hanya ingin berbicara soal luka, tapi ada isu lain yang dia bawa

potret pilunya Timor Leste, kala itu

Film ini sengaja dibuat juga dalam rangka mengampanyekan isu kekerasan terhadap perempuan di Timor Leste. Ditulis oleh CNN Indonesia, Dini sendiri melihat bahwa Timor Leste telah merdeka. Seperti halnya Maria, dirinya, seluruh masyarakat Indonesia dan Timor Leste pun hidup di sebuah negara yang merdeka. Namun, kemerdekaan perempuan nyatanya masih terus dipertanyakan hingga saat ini.

“Ini tidak lagi kemerdekaan menjadi persoalan politik, ini persoalan kemanusiaan,” ujarnya.

Mungkin wajar jika ada ungkapan tak ada kata menang dalam sebuah perang. Berikut sepenggal kisah nyata kelam yang masih terjadi pada sebagian perempuan di Timor Leste

Senada pada yang nampak dalam film, tingginya tindak kekerasan pada perempuan di Timor Leste semakin memprihatinkan. Ada beberapa sumber yang mengatakan, hal ini dapat terjadi lantaran adanya salah tafsir kebudayaan yang campur aduk. Mirisnya, kekerasan pada perempuan, khususnya dalam rumah tangga, dianggap sebagai urusan pribadi yang bukan kejahatan. Istri dianggap sebagai benda milik suami karena dianggap telah dibeli lewat pertukaran mahar kawin. Apa kamu nggak sedih denger yang begini?

Kalau sekarang semiris ini, pada masa perang jauh lebih ngeri lagi. Sebelumnya mungkin kamu tak akan habis pikir, menjadi perempuan pada masa pendudukan tentara Indonesia di Timor Leste periode 1975-1999 bisa dibilang sebagai sebuah bencana. Tak peduli tua atau muda, para tentara akan berulang memperkosa mereka. Mungkin benar yang disebut Allison Ruby Reid-Cunningham dalam bukunya Rape as a Weapon of Genocide, bahwa dalam situasi konflik, kekerasan seksual merupakan sebuah taktik penundukan. Kisah-kisah miris ini pun seringkali jadi rahasia pribadi, tanpa pernah diusik hingga mati.

Hasil penelitian Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) tahun 2005, ada 8000 kesaksian mengenai kekerasan seksual yang sistemastis selama masa pendudukan militer Indonesia

nunggu 11 tahun, apa nggak kurang lama?

Menunggu 11 tahun untuk mendapat keadilan via www.mediantt.com

Kala itu, perempuan dewasa dan anak perempuan tak hanya mendapat kekerasan seksual saja, melainkan juga jenis kekerasan lain seperti penahanan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan dari militer Indonesia. Laporan dari sekitar 8000 kesaksian yang dikumpulkan CAVR tadi, baru direspon 11 tahun kemudian, tepatnya pada April 2016 saat pemerintah menyetujui aksi perlindungan dan pemulihan korban dampak perang. Apa nggak kurang lama? Sebelas tahun bukan waktu yang pendek untuk menunggu tersingkapnya kasus ini. Bayangin deh, selama lebih dari satu dekade perempuan-perempuan di Timor Leste hidup dalam trauma.

Salut deh sama Kamila Andini! Berhasil mendalami riset untuk film-nya untuk mengangkat kembali isu penting yang sering terlupakan tentang penderitaan perempuan

salut deh sama mbak Dini!

Salut deh sama mbak Dini! via zenteguh.files.wordpress.com

Banyak dari perempuan yang jadi korban perkosaan di Timor Leste menjadi lebih tertutup, sulit didekati, sulit bersosialisasi dan terkadang mengalami gangguan jiwa. Kalau begitu, tentu kamu tak akan menolak untuk merasakan salut pada Kamila Andini dan tim produksinya, ‘kan? Mereka telah melakukan riset dengan mewawancarai banyak penyintas dari masa perang kemerdekaan Timor Leste. Awal menggarap film ini, Dini harus beradaptasi lebih dulu dengan lingkungan sosial budaya Timor Leste. Selama riset, dia terus menulis dan mendengar banyak kisah tentang kehidupan para penyintas-penyintas itu. ‘Menyelami’ kekerasan perempuan saat dirinya tengah hamil tujuh bulan tentu bukan hal mudah, bukan?

Terlepas dari isu kemanusiaan yang dibawa, film Memoria pertama kali diputar pada gelaran acara Busan International Film Festival 2016. Film ini juga berkompetisi dengan film-film pendek lain dalam Wide Angle Asian Shorts Film Competition. Di Indonesia sendiri, film ini masuk jadi salah satu nominasi Film Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2016, juga berhasil memenangi dua penghargaan dalam Jogja-netpac Asian Film Festival. Yakni, Blencong Awards dan Student Choice Awards. Selain itu, semoga perempuan di Timor Leste dan negara manapun segera merdeka, sama seperti negaranya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Rajin menggalau dan (seolah) terluka. Sebab galau dapat menelurkan karya.