Kisah Pak Darto — Pahlawan Kuda Kepang Asal Malang yang Tak Pernah Berhenti Berjuang

Tertarik mengapreasiasi pahlawan kita yang satu ini? Kamu bisa mengulurkan tangan dengan berdonasi lewat kadopahlawan.hipwee.com dan  KitaBisa untuk Pak Darto.

Semakin dewasa kita pun sadar jika hal-hal bermakna berubah jadi lebih sederhana. Dia tidak perlu lagi harus gigantis dan besar. Tak lagi membutuhkan gembar-gembor pemberitaan. Justru hal-hal berharga lebih mudah ditemui dalam keseharian.

Termasuk soal pahlawan yang kini makin dekat terasa. Mereka, yang tak perlu punya gelar ‘veteran’ di belakang namanya.

Hipwee bersama Hipwee Community Malang ingin memperkenalkan sosok pahlawan yang baru. Beliau, yang namanya selama ini tak pernah mampir di telingamu. Namun sesungguhnya perjuangan hidupnya membuatnya layak dihargai dan dibantu.

Kontrakan sempit di daerah Comboran, Malang jadi tempat kami pertama menemuinya. Pak Darto, berjibaku bertahan hidup dengan Jaran Kepang sebagai sumber penghasilan utamanya

Pak Darto, berusaha bertahan hidup dengan jaran kepang yang jadi penghasilan utamanya

Pak Darto, berusaha bertahan hidup dengan jaran kepang yang jadi penghasilan utamanya via hipwee.com

Pahlawan ini bernama Sudarto. Pak Darto, begitu Beliau biasa disapa lahir di Kota Malang pada Tahun 1940. Beliau terlahir dari latar belakang keluarga yang telah bergelut di dunia kesenian Jaran Kepang .

Demi menghemat ongkos pulang-pergi kerja, Pak Darto yang berasal dari Dusun Klayatan, Sukun, Malang memilih tinggal di kontrakan sempit di daerah Comboran Malang, sebuah kawasan pasar yang sedikit kumuh nan padat penduduk. Tepat satu meter di depan rel kereta api yang masih aktif dilewati si raksasa besi, beliau tinggal bersama dua putranya. Mamas Basir (panggilan kakak a la keluarga ini) yang berusia 20 tahun dan si kecil Mikres yang masih berusia 11 tahun. Mamas Basir menderita sedikit gangguan mental akibat sering mengalami step yang tidak terobati saat kecil, sedangkan Mikres sudah putus sekolah sejak setahun lalu semenjak ibunya meninggal karena sakit.

Saat berkunjung ke sini hunian yang ditinggali sungguh jauh dari kata layak. Ruangan sempit berukuran 3 x 5 meter yang bertutupkan bekas baliho itu harus dibagi untuk tempat tidur bagi Pak Darto dan dua anaknya, tempat memasak, dan tempat untuk menyimpan beraneka macam perlengkapan seni Jaran Kepang. Ada kepala barong, anyaman kudang kepang yang berjumlah lebih dari tiga, cambuk, baju-baju pentas, hingga peralatan elektronik seperti pengeras suara dan kabel berserakan di lantai hingga dindingnya. Semua peralatan itu tergantung dan tertata tidak rapi karena keterbatasan tempat untuk menyimpan.

Tim Jaran Kepang ala Sudarto ini unik sekali. Mikres lincah menari Jaran Kepang, sementara Mamas Basir dan Pak Darto memastikan musik bermain

Mikres lincah menari. Sementara Pak Darto memastikan musik terpasang sempurna

Mikres lincah menari. Sementara Pak Darto memastikan musik terpasang sempurna via hipwee.com

Melihat Pak Darto dan putra-putranya tampil seperti melihat teamwork yang dinamis dan rapi.

Dulu, sebelum Alun-alun Kota Malang dipugar, disanalah mereka mengamen setiap hari. Namun sekarang setelah tempat tersebut disterilisasi, rombongan Pak Darto dituntut lebih lihai mencari keramaian dari tempat satu ke tempat yang lain. Satu momen yang masih menjadi harapan tetap bagi pak Sudarto dan keluarga adalah Car Free Day (CFD) setiap hari Minggu di Jalan Ijen Malang. Setiap Minggu subuh pak Sudarto mengayuh becak untuk mengangkut anak dan peralatan pentasnya sejauh lima kilometer menuju pusat keramaian mingguan tersebut.

Sudah menjadi satu resiko pekerjaan bagi pak Darto juga jika sewaktu-waktu petugas keamanan akan mengusirnya karena dianggap membuat kegaduhan. Sehingga tak heran jika di CFD pun belum menjamin bahwa beliau akan mendapatkan tempat untuk menampilkan tariannya. Solusinya, beliau selalu berangkat jam empat pagi demi mendapatkan tempat strategis untuk tampil menari.

Mendapatkan penghasilan tetap kini tidak lagi semudah dulu. Namun Pak Darto tidak merasa paling merana dan berhenti jadi bermanfaat bagi sesama

Pak Drao tidak merasa paling merana. Dan berusaha masih bermanfaat bagi sesama

Pak Drao tidak merasa paling merana. Dan berusaha masih bermanfaat bagi sesama

Meski mendapatkan tempat tampil dan penghasilan tetap tidak lagi semudah dulu, Pak Darto tak berhenti berbagi pada orang-orang di sekitarnya. Pak Darto tak hanya menyimpan kemampuan seninya untuk keluarganya saja, namun juga menularkannya kepada tetangga sekitar dan mengajak mereka bergabung dalam rombongan pertunjukan. Sejumlah ibu rumah tangga dan anak-anak di samping kanan-kiri kontrakan telah menjadi anggota rombongan Jaran Kepang Pak Darto. Sesekali rombongan pak Darto juga diundang untuk mengisi acara-acara hajatan para tetangga dan orang-orang berpunya di daerah Malang.  Rombongan pentasnya juga sudah beberapa kali menemani beliau tampil dalam pertunjukan sederhana nan bersahajanya di sudut-sudut kota.

Mustahil bagi anggota rombongannya mendapat tambahan penghasilan jika tanpa ilmu menari dari pak Sudarto. Tidakkah dedikasi dan ketulusan Pak Darto ini membuatmu ingin menepuk bahu?

Betapa Pak Darto akan merasa dimanusiakan jika kita sedikit memberi perhatian. Sedikit dana untuk kostum dan peralatan pengiring tari sudah bisa sangat membahagiakan

Sedikit dan auntuk peralatan tari sudah bisa membahagiakan

Sedikit dan auntuk peralatan tari sudah bisa membahagiakan

Sesekali pak Sudarto membetulkan pengeras suara modifikasinya dengan memukul-mukulnya agar kembali bekerja dengan baik. Ya, selain suara pecut dan gongseng kaki, pengeras suara itu adalah satu-satunya alat yang paling bisa ia handalkan untuk mencuri perhatian orang-orang di jalanan. Alat musik pelengkap tari dulunya lengkap. Kendang, gending, kenong, dan lain sebagainya dulu ia miliki. Sungguh mewah dan meriah rombongan tariannya dulu. Namun, sejak istri pak Darto sakit-sakitan, ia harus rela menjual peralatan musiknya. Meski pengobatan sudah dilakukan dengan maksimal dari uang hasil menjual alat-alat musiknya, istri Pak Darto masih belum bisa sembuh hingga akhirnya meninggal setahun yang lalu.

Kesederhanaan Pak Darto juga terlihat dari dari baju dan aksesoris yang ia kenakan bersama anak-anaknya saat tampil. Meski sudah banyak payet selendang terlepas karena terkoyak waktu, semangat menari mereka tak pernah luntur. Semangat mereka gagah tercermin dari tiap gemulai tangan dan hentakan kaki walaupun warna merah putih corak baju khas Madura yang mereka kenakan kini juga telah luntur, lusuh, dan terlihat menahun melekat di badan mereka.

Cerita pak Sudarto yang sederhana, ramah dan humoris ini hanya satu dari banyak pahlawan yang ada di sekitar kita. Semangat dan ketulusannya adalah nafas yang menghidupi relung-relung ketidaksempurnaan hidup di jaman yang penuh perjuangan ini. Semoga masih banyak Pak Darto di Indonesia yang mau tulus melestarikan budaya. Semoga masih banyak keringat yang mengalir tulus dari orang kecil seperti pak Darto, sehingga roda pelestarian budaya terus berputar tanpa jeda.

Kami ingin mengajak teman-teman untuk mendukung beliau, melecut semangatnya agar tak lelah untuk terus menjadi penggerak pelestarian kekayaan budaya negeri. Kado pahlawan mungkin tak seberapa dibanding dengan dedikasi beliau selama puluhan tahun menjadi pelaku seni,  namun semoga kado dari kita dapat menujukkan kepada Pak Darto bahwa masih ada dari generasi mudanya yang peduli dan siap mengulur tangan. Karena mengapresiasi jauh lebih baik daripada tak bergerak sama sekali, bukan?

Kado ini akan digunakan untuk:
Kostum menari untuk Mikres
Peralatan pengiring tari (Kendang, Kenong, Bonang, dll)

Tertarik mengapreasiasi pahlawan kita yang satu ini? Kamu bisa mengulurkan tangan dengan berdonasi lewat KitaBisa untuk Pak Darto.  Kamu juga bisa melihat cerita dari pahlawan-pahlawan di kota lain di kadopahlawan.hipwee.com

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini