Surat Terbuka Untuk Siapa Saja yang Masih Bisa Belajar di Sekolah Dengan Fasilitas yang Serba Ada

Halo, salam kenal!

Kami adalah anak-anak yang gemar mendengar berita tentang sekolah kalian. Kabarnya, kalian belajar di sekolah yang punya bangunan bagus. Yang dibangun dengan beton, batu bata dan pancang besi serta baja. Kabarnya juga, kalian punya pendingin udara bahkan televisi di setiap kelasnya.

Kami bayangkan pasti sangat nyaman belajar di sekolah dengan fasilitas yang serba ada. Kalian bisa maksimal belajar lantaran semuanya sudah tersedia. Tak seperti kami di sini yang sekolahnya hanya sederhana saja. Minim sekali bahkan boleh dibilang sangat kurang fasilitas yang mendukung proses belajar siswa-siswanya.

Ruang kelas kami tak dibangun dengan batu bata dan pancang baja. Bangunan sekolah kami bahkan hanya terbuat dari anyaman bambu yang sudah renta.

Ruang kelas sederhana

Ruang kelas sederhana via wartaaceh.com

Jangan bayangkan bahwa kami di sini belajar dalam ruangan yang nyaman dan menyenangkan seperti di tempat kalian. Ruangan kelas kami hanya dibangun di atas sepetak tanah lapang dengan dinding bambu dan pancang kayu. Jikalau pun ada yang terbuat dari beton, pasti sudah tak layak huni karena telah cacat di sana-sini. Atapnya tak terbuat dari genteng tanah liat maupun lembaran asbes, cukuplah bagi kami atap yang terbuat dari rumbia maupun jerami. Bisa kalian bayangkan jika hujan deras datang disertai deru angin kencang, akan banyak atap yang rusak dan beterbangan.

Tak jarang pula kami harus belajar di alam terbuka, berlantai tanah, berkarpet rumput, dan beratapkan pohon rindang karena tembok di ruang sekolah sudah mulai ambruk. Tentu kami tak ingin tembok-tembok rapuh itu menimpa tubuh kami yang mungil ini. Lagipula, belajar di luar ruang yang terbuka lebih dapat membuat kami berpikir jernih – barangkali.

Bagi kami, perjalanan ke sekolah rasanya sangat melelahkan. Kami harus berangkat ketika fajar dan baru sampai di rumah saat menjelang senja datang.

Melintasi alam

Melintasi alam via superizqi-blogs.blogspot

Di tempat kamu, tak ada ojek maupun angkutan umum. Kami terpaksa harus berangkat sejak dini hari agar tak terlambat masuk sekolah. Perjalanan panjang antara rumah menuju sekolah memerlukan waktu yang panjang dengan berbagai halang rintang yang harus berhasil kamu taklukkan. Melewati hutan belantara dengan jalanan tanah berlumpur yang becek sudah jadi keseharian kami. Berjalan kaki berkilo-kilo meter rasa-rasanya juga tak perlu ditangisi.

Kami tak pernah mengeluh. Kami sadar bahwa segala kekurangan dan keterbatasan yang kami punya memang sudah begini adanya. Tapi, kami sadar bahwa sekolah dan perkara mendapatkan pendidikan toh merupakan sebuah perjuangan. Perjuangan untuk mencerdaskan diri, mewujudkan cita-cita, hingga keinginan untuk bisa mengabdi pada nusa dan bangsa.

Kalian mungkin akan terperanjat tak percaya. Tapi bagi kami, perjalanan berbahaya demi bisa menuju sekolah adalah hal yang biasa.

Kami sma sekali tak bangga dijuluki Indiana Jones

Kami sma sekali tak bangga dijuluki Indiana Jones via kompasiana.com

Melihat kami yang harus berjibaku dan berjuang hanya demi bisa sampai di sekolah mungkin akan membuat kalian iba. Bahkan, bisa jadi kalian justru terperanjat tak percaya. Tapi, inilah yang sebenar-benarnya kami alami setiap harinya. Menyeberang jembatan yang sudah rusak memang ibarat menantang maut dan bahaya. Tapi sekali lagi, kami bisa apa?

Kami lahir di tempat ini. Kami besar dan tumbuh di tempat ini, begitu pula bapak dan ibu kami. Mereka punya pekerjaan di tempat ini meski hanya bertani atau berladang di tanah sendiri. Kami tak punya kuasa untuk mengubah keadaan, dan kamu pun tak sampai hati jika harus meninggalkan kampung halaman. Jadi meski harus hidup dan bersekolah dengan segala keterbatasan, kami memilih berdamai dengan keadaan.

Jangankan sepatu baru, terkadang membeli alat tulis dan buku pun kami tak mampu.

SAMBAS, 18/12. TRAFFICKING. Tiga anak berlari melewati jalan utama menuju Pintu Lintas Batas Indonesia-Malaysia di Kecamatan Sajingan, Kabupaten Sambas, Kalbar, Kamis (17/12). Adanya sejumlah permasalahan di daerah perbatasan selain keamanan adalah terjadinya praktek perdagangan manusia (trafficking) pada anak-anak. Hal tersebut dipicu oleh permasalahan keluarga di daerah perbatasan yaitu tidak menentunya penghasilan dan kemiskinan. FOTO ANTARA/Jessica Wuysang/pd/09

Kami tak butuh sepatu baru via www.antaranews.com

Ketika tahun ajaran baru tiba, kami tak pernah sekalipun merengek agar dibelikan sepatu maupun tas baru. Bisa membeli buku tulis serta pensil sudah cukup bagi kami. Malah tak jarang, sisa-sisa kertas dari buku tulis tahun lalu kami pakai kembali. Sepatu lusuh serta kaus kaki yang berlubang seakan sudah begitu setia menemani langkah kaki.

Cukuplah ada ibu dan bapak guru yang dengan sabar mengajari kami, beliau-beliau tak pernah lelah berhenti memberi semangat agar kami dapat meraih mimpi. Cukuplah bagi kami masih ada sekolah tempat kami belajar berhitung, menulis, dan sesekali belajar seni. Bisa membaca buku-buku cerita merupakan nikmat  yang tak terelakkan. Kami sadari betapa dunia ini begitu luas ketika kami bisa mengecap bangku pendidikan.

Tapi jika kami boleh sedikit saja meminta, tidakkah ada keadilan untuk kami yang sekolahnya sangat sederhana? Bukankah sebagai anak bangsa, kami pun berhak merasakan sekolah yang lebih layak? Tidakkah ada satu, dua, atau sedikit dari kalian yang membaca surat ini hendak memperjuangkan nasib kami?

Dari kami, yang berharap bisa mengubah keadaan jadi lebih baik lagi

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penggemar Mendoan hangat, dan kopi hitam nan kental