Raditya Dika Boleh Lebih Jago Jadi Komedian, Tapi Perlu Belajar dari Ernest Sebagai Sutradara

Kenapa sih harus dibandingkan, padahal ‘kan genre filmnya berbeda, yang satu thriller comedy dan yang satu lagi comedy drama?

Yah, kalau dipaksa dikulik-kulik melulu sih semua karya di dunia ini pasti punya perbedaan antara satu dengan yang lain. Padahal perbandingan atau komparasi adalah salah satu metode penting dalam kerja penilaian seni dan budaya. Ajang penghargaan akbar perfilman dunia seperti Academy Award (Piala Oscar), sampai level nasional seperti Piala Citra juga punya kategori penghargaan film terbaik yang nggak memisah-misahkan genre film apapun. Selama masih sama-sama berwujud film, kita tetap bisa menilai yang mana lebih bagus dari yang mana berdasarkan subjektivitas masing-masing.

Apalagi tidak bisa dipungkiri jika kedua film anak negeri terlaris rilisan penghujung tahun 2016 lalu: Hangout (Raditya Dika) dan Cek Toko Sebelah (Ernest Prakasa) memang berbagi banyak kesamaan. Sengaja atau tidak dan diakui atau tidak, mereka harus bersaing dalam banyak hal. Momen beredar tayang di bioskopnya saja berbarengan sehingga harus menempatkan banyak orang untuk menentukan pilihan mau menonton yang mana. Dan hasil angka raihan jumlah penonton keduanya ternyata sama-sama memukau. Dirilis pada 22 Desember 2016 kemarin, Hangout mampu menembus angka 2 juta penonton pada awal tahun 2017. Sementara itu Cek Toko Sebelah yang baru dirilis lima hari setelahnya, yakni pada 28 Desember, sukses menembus 1 juta penonton di awal tahun 2017 juga.

Kendati Hangout melibatkan unsur horor, namun film bertemakan pembunuhan berantai ini basis karakternya juga adalah komedi, serupa dengan Cek Toko Sebelah. Artinya, keduanya sama-sama menjual humor dan berburu gelak tawa penonton. Praktis, ini merujuk pada sutradara masing-masing yang memang komedian. Meski awalnya Ernest Prakasa hanyalah peserta ajang SUCI 1 (Stand Up Comedy Indonesia) yang diprakarsai oleh Raditya Dika, namun kini ia sendiri sudah punya nama terkemuka di jagad hiburan. Raditya Dika boleh lebih senior, tapi keduanya punya sepak terjang yang hampir diapresiasi secara sepadan di ranah sinema.

Bahkan, persamaan itu juga sampai pada hal-hal trivial yang nggak terlalu penting, seperti bagaimana pasutri Gisella Anastasia dan Gading Marten ambil peran juga di masing-masing film. Gisel berperan sebagai kekasih Ernest di Cek Toko Sebelah, sementara Gading tampil menjadi dirinya sendiri di Hangout.

Nah, lalu yang mana yang terbaik dari kedua film tersebut? Secara komersial dari jumlah penonton sih Hangout sejauh ini adalah jawaranya, tapi bagaimana untuk kualitas filmnya sendiri? Jadi begini menurut Hipwee:

Hangout, konsep yang seru dan baru luput didukung dengan logika cerita dan garapan komedi yang matang

Hipwee percaya Raditya Dika punya wawasan yang mumpuni tentang konsepsi dunia komedi. Sehingga tidak harus kaget jika ia bisa melepaskan diri dari zona nyaman komedi romantisnya ke sebuah teritori sinema komedi yang tergolong mutakhir untuk perfilman kita. Satu lagi karya yang membuat kita mengamini Radit sebagai komedian paling progresif atau paling kreatif saat ini di Indonesia.

Sayangnya, keunikan-keunikan berbagai elemen di Hangout belum membebaskannya dari kedangkalan di sana-sini. Yah, sama seperti menonton performa Radit di atas panggung stand up: selalu kuat di konsep dan persiapan, tapi kadang basi di praktik. Bahkan, di adegan-adegan terburuk film ini, saya sempat tebersit menyesali kenapa Radit mesti neko-neko, dan tidak seumur hidup setia dengan topik jomblo ngenesnya saja (ini pikiran kolot, namun ya namanya saja tebersit).

Lawakan di Hangout bagaikan aksi makar terhadap wacana revolusi mental dari Pak Jokowi. Takutnya ini bisa dibilang pembunuhan intelektualitas anak muda. Terutama ketika ia keterlaluan mengeksploitasi humor toilet: penis, kencing, ketek, kentut, air liur, dan lain-lain. Karenanya, keputusan terbijaksana di film ini ialah menjadikan karakter Dinda Kanya Dewi (yang saya nobatkan sebagai salah satu karakter film paling mengganggu yang pernah saya tonton seumur hidup) jadi korban yang dibunuh di bagian awal. Mungkin akan banyak orang terbirit-birit lari ke luar studio menuju toilet beneran jika dia bertahan sekitar 15 menit lagi di layar.

“Untuk pertama kalinya dalam kariernya yang sukses, Raditya Dika mengajak penontonnya berpikir” – ini adalah kalimat pembuka dari resensi oleh sebuah media ibu kota yang berakhir persuasif untuk menonton film ini. Hanya saja kemudian apakah benar ada sesuatu yang “dipikirkan” dalam setiap tawa remaja yang meledak memenuhi studio? Misteri siapa pembunuhnya dan kenapa memang cukup menarik diikuti secara serius, namun semua terungkap dengan motif pelaku dan penyelesaian konflik yang absurd. Awalnya saya sempat berpikir positif dengan menduga kalau alasan “pelaku” ini membantai teman-temannya itu sengaja dibikin cetek sebagai bagian dari jokes (supaya kita bisa bereaksi “Anjirr, begitu doang? Wakakakak!”), tapi faktanya juga hampir tidak ada penonton yang tertawa.

Cek Toko Sebelah, sekali lagi Ernest bikin penonton bisa tertawa lepas sekaligus membuat tersentuh di adegan melankolia

maxresdefault

Cek Toko Sebelah via www.youtube.com

Lewat film Ngenest pada tahun 2015 lalu, Ernest membuktikan bahwa akhirnya ada film keluaran tren stand up comedy beberapa tahun belakangan yang bagus. Kekurangan terbesar film-film komedi yang diperkuat line-up komika sebelumnya adalah kesadaran bahwa melawak sendirian di atas panggung itu benar-benar berbeda dengan melawak di dalam sinema. Simak saja Comic 8 yang malah mirip seperti kerusuhan, seakan asal mengumpulkan segambreng komika jadi satu dan diminta mengeluarkan jokes sendiri-sendiri hingga jalinan cerita lari ke mana-mana. Sementara itu, Ngenest berbeda. Bukan cuma kocak, film tentang seorang cowok keturunan Tionghoa yang berambisi memotong garis keturunan Tionghoa-nya dengan cara menikahi wanita “pribumi” ini juga berhasil melukiskan rasa keterasingan atas identitas kaum Tionghoa peranakan.

Nah, baru saja Ernest mengulangi kecemerlangannya, bahkan lebih apik lagi di Cek Toko Sebelah. Pertama, film ini berhasil mempertanggungjawabkan label film komedinya. Gerombolan pelawak dari yang pasti kamu kenal seperti Dodit Mulyanto, Yudha Keling, sampai yang entah siapa itu masing-masing bergiliran datang dan pergi dengan meninggalkan tawa. Penonton pun bisa sampai di titik “Haduh, siapa lagi orang ini? Please, udah ngakak terus nih dari tadi!” Bahkan, Kaesang Pangarep yang cuma muncul sekilas saja sudah bisa meledakkan tawa satu studio.

Akan tetapi, sama dengan Ngenest, yang paling berkesan dari Cek Toko Sebelah adalah bagaimana Ernest Prakasa tetap berhasil mengutarakan perspektif sosial maupun personal di antara hujan guyonan di sana -sini. Pun meski berangkat dari persoalan kultur dagang toko kelontong kaum Tionghoa, akhirnya konflik di film ini bisa meluas sampai pada problem kehidupan yang universal. Perihal kakak dan adik yang senantiasa akan ada waktunya bersaing untuk menerima atau justru menghindari tanggung jawab lebih yang diberikan keluarganya, atau konflik prioritas antara karier dan keluarga dari sudut pandang pasangan kekasih yang sudah menatap kemapanan pernikahan.

Sayangnya, kedua kelebihan itu kadang mesti saling baku hantam. Ada sejumlah transisi nuansa dari adegan drama ke adegan komedi yang kurang tepat momentumnya. Misalnya emosi yang secara perlahan ditumbuhkan dalam adegan pertengkaran antara Erwin (Ernest) dan Yohan (Dion Wiyoko) harus kena tanggung karena diputus paksa oleh tokoh dokter berwatak gemblung (Arief Didu) yang ujug-ujug datang dan mengubah semuanya menjadi senda gurau. Yah, walau akhirnya tetap tertawa juga sih.

Kesimpulannya, Hipwee sih lebih mengunggulkan Cek Toko Sebelah

Kendati Raditya Dika mungkin lebih banyak makan asam garam di jagad komedi, namun lagi-lagi Ernest Prakasa menunjukkan keunggulannya di balik layar lebar. Hangout jelas lebih bernyali. Bukan cuma konsep besarnya yang unik, tapi juga termasuk dengan bagaimana Radit memilih memasang  barisan pemeran aktor-aktris tulen yang latar belakang utamanya bukan komedian (selain Soleh Solihun dan Bayu Skak). Praktis, kualitas akting mereka jelas lebih mumpuni dibanding komika-komika di Cek Toko Sebelah. Yah, ini konsekuensi pilihan masing-masing. Tapi secara naskah, Cek Toko Sebelah jauh lebih matang, dewasa, dan lebih terhormat dalam menjemput tawa penonton.

Tapi nggak ada yang akan sewot juga kalau kamu berpandangan berbeda. Mereka ‘kan bukan calon gubernur yang minta didukung habis-habisan. “Sometimes we need to slow” kalau kata Young Lex. Doi aja ngerti, masak kamu enggak?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

ecrasez l'infame