Jangan Ada Imam dan Makmum di Antara Kita. Aku Ingin Menikahimu dan Menjadi Sahabat Terbaikmu Saja!

Di Jepang, makin banyak saja orang yang enggan menikah. Bahkan mereka sampai menciptakan robot khusus untuk membuat orang-orang pengen menikah dan berkeluarga. Ah, tapi aku bukan orang Jepang. Aku orang jawa yang kalau sampai tak menikah bukan aku saja yang repot, tapi orang tuaku juga yang harus menjelaskan kepada tetangganya betapa anaknya sebenarnya juga “normal”, hanya saja nggak ingin menikah. Aku termasuk orang yang skeptis pada pernikahhan. Buatku, menikah itu absurd, nggak jelas, nggak menguntungkan, dan sangat merepotkan. Aku ingin menikahimu bukan karena pernikahan itu sendiri, aku ingin sekali menikahimu karena ini adalah kamu. Jika dengan orang lain, mungkin tak sudi aku menikah, terlalu merepotkan buat aku. Yang jelas, kamulah yang membuat pernikahan itu masuk akal buat pikiranku yang agak melenceng ini.

Advertisement

Sebelum nanti secara ritual aku menjanjikan hal yang sebenarnya menurutku sedikit nggak masuk akal di depan penghulu, bolehkan aku bertanya sesuatu padamu? Banyak cewek sedang sibuk mencari imam buat kehidupannya. Tapi, dalam melewati kehidupan kita bersama-sama kelak aku tak ingin menjadi imammu, aku hanya ingin menjadi teman seperjuanganmu saja. Apakah kamu masih mau menikah denganku?

Ini bukan soal agama, bukan itu. Hanya saja, nampakanya penggunaan kata ‘imam’ dan ‘makmum’ terlalu berlebihan buat hubungan kita yang pastinya compang-camping ini. Jika kamu makmum, kamu hanya mengikuti dan mengamaniku, apa cukup mengatasi permasalahan hidup di masa depan nanti hanya dengan amin darimu? Aku pikir nggak akan cukup. Aku butuh pendapatmu juga. Aku bukan Datuk Maringgih yang ingin memperistrimu semata-mata karena kecantikan. Dan, pastinya,  aku ingin menikahimu juga karena aku merasa kamu bukan Siti Nurbaya yang mulutnya terbungkam oleh tradisi. Aku menginginkamu jadi pasanganku karena aku selalu merasa bahwa kamu adalah sahabat terbaikku.

Lagi-lagi aku bilang bahwa ini bukan urusan agama. Ini urusan kita dan kehidupan yang semakin hari semakin nggak masuk akal. Bagaimana mungkin aku bisa tahu apa yang dibutuhkan seorang anak perempuan kalau tanpa kamu kasih tahu. Jika kamu makmumku, kamu tidak punya hak bicara kecuali mengamini. Lalu, bagaimana kelak aku bisa paham apa yang dibutuhkan oleh putriku jika kamu hanya menjadi makmum? Bagiku, kata ‘imam’ dan ‘makmum’ itu justru seperti pembatas, mencegah aku dan kamu untuk masuk ke tim yang sama. Aku tak akan pernah bisa jadi teman satu tim yang hebat buatmu dan sebaliknya.

Advertisement

Lagi-lagi ini bukan urusan agama, Sayang. Ini urusan mengakui semua kelemahanku dan memaksimalkan semua kelebihanmu. Aku bukan Panji Manusia Milenium dengan kecerdasan luar biasa dan potongan rambut yang sempurna itu. Pun, aku bukan Habib Novel yang terlalu fasih bicara arab itu. Aku ini orang biasa yang begitu banyak kelemahan. Kok, rasanya lancang kalau aku mengaku aku mampu menjadi imam kehidupanmu. Aku yang masih gagap kehidupan ini harus menjadi imam perempuan sehebat kamu? Apa itu nggak lancang namanya?

Ini jelas bukan tentang agama. Bagiku kata ‘imam’ memiliki arti besar. Sebuah tanggung jawab yang aku tak yakin mampu melakukannya. Aku tak sepemberani Umar Bin Khatab, sayang. Aku juga tak sebijak politikus besar macam Abu Bakar As-Siddiq yang mampu menjaga agama kita setelah kanjeng nabi kita mangkat. Aku? Aku hanya manusia tak istimewa  yang kadang takut dan sering salah mengambil keputusan. Maka dari itu, aku butuh kamu jadi temanku. Menemani dan memberitahuku kalau salah.

Aku yang hanya hafal surat An-nas dan Al-Ikhlas ini akan berusaha keras belajar agama biar kelak, paling tidak, suaraku nggak sumbang saat harus mengadzani telinga anak kita yang baru lahir. Untuk urusan agama, meskipun aku ini tidak tahu apa-apa masalah agama, aku akan berusahan sebaik-baiknya untuk memimpinmu dalam beribadah. Tapi untuk urusan menjalani kehidupan sehari-hari, tak bisakah aku menjadi temanmu saja, menjadi sahabatmu. Bukan imam yang dituntut untuk selalu bisa menunjukkan kebenaran padamu. Dan lagi, tahu apa aku tentang kebenaran. Di dalam menjalani hidup, tak bisakah kita berdua bersanding bersama menjadi makmum? Makmum dari imam yang paling sejati, makmumnya Allah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Sedang meniti karir untuk masuk Liga Champion

CLOSE