Review Train to Busan: Paduan Oppa Ganteng, Plot yang Memancing Empati dan Zombie

Walau udah banyak banget drama Korea yang tayang di tv-tv Indonesia, tapi masih terhitung jarang lho film Korea yang bisa menembus bioskop Indonesia. Salah satunya adalah film Korea yang mendominasi bioskop-bioskop lokal kita selama lebih dari tiga minggu terakhir ini, Train to Busan. 

Buat yang gak suka film thriller atau takut sama zombie, kayaknya pasti tertarik lihat film ini gara-gara ada Gong Yoo deh di posternya. Oppa eh ahjussi ganteng ini memang cukup kondang di Indonesia gara-gara sukses dramanya Coffee Prince. Gong Yoo berperan sebagai seorang ayah yang berniat mengantarkan putrinya menemui ibunya dengan menggunakan kereta dari Seoul ke Busan. Tiba-tiba wabah virus yang mengubah semua warga Korea menjadi zombie merebak ketika mereka berada dalam kereta. Film ini mengisahkan perjuangan mereka untuk mencari tempat perlindungan terakhir dari virus yang mungkin menandai akhir jaman.

Gak peduli nonton karena memang suka genrenya atau udah klepek-klepek lihat Gong Yoo di poster, film karya sutradara Yeong Sang Ho (film animasi The King of Pigs dan The Fake) ini dijamin bisa buat kamu gregetan sampai akhir.

Dari film ini kita bisa tahu zombie-zombie Asia ini kayaknya bakal menang deh kalo di adu lari sama zombie ala Barat

kereta aja hampir kalah

kereta aja hampir kalah via t1.daumcdn.net

Dari awal, penampilan zombie-zombie dalam film ini memang langsung mengundang decak kagum. Dalam interviewnya di Festival Cannes 2016 sang sutradara Yeon Sang Ho mengungkapkan kekhawatirannya terhadap visualisasi zombie, yang selama ini lebih identik oleh sineas barat, mungkin tidak sesuai dengan kultur timur. Maka dari itu, tahap persiapan produksi terkait konsep zombie dalam film ini memakan waktu yang cukup lama.

Dari penampakan, cara berjalan, sampai detail terkecil diupayakan dapat menggambarkan percampuran sempurna antara semangat tragedi hari akhir ala World War Z dalam setting Korea Selatan. Sekilas jika dibandingkan dengan film zombie kebanyakan, zombie dalam film ini bergerak dengan sangat cepat. Mungkin cara bergerak unik itu berasal dari ide sang sutradara yang melihat zombie bukan hanya sebagai mayat hidup, tapi makhluk yang sedang mengamuk karena kehidupannya diambil.

Gak main-main lho persiapan aktor-aktor ekstra yang jadi zombie. Mereka bukan sekedar ekstra yang cuma datang waktu hari syuting, tapi semua gerakannya itu sebenarnya koreografi yang dipersiapkan secara profesional sejak awal. Bahkan ada nama resminya, bonebraking atau tarian ‘mematahkan tulang’. Disamping memang dari awal konsepnya beda, zombie yang super cepat itu mungkin dibikin gara-gara orang Korea itu sukanya buru-buru..kereta sampai ngirim makanan aja harus cepet-cepet. Kalau zombie barat boleh slow, zombienya Korea harus ‘ppali ppali’ alias cepat-cepat.

Gak cuma jalan cepatnya zombie yang bikin ngeri, cerita minim flash back dalam kereta cepat ini gak ngasih kesempatan penontonnya untuk ngambil napas

lead

kalau Gong Yoo nya aja begini gimana kita bisa napas via www.space.ca

Merebaknya virus yang mengancam keberlangsungan peradaban manusia memang bukan hal baru dalam film-film apocalypse. Kisah antara bapak dan anak yang menjadi highlight dalam film ini juga sebenarnya mirip dengan film Tom Cruise tahun 2005 yang berjudul War of the World. Namun anehnya cerita klise yang telah berulang kali diangkat film-film Hollywood ini terasa segar di tangan sutradara Yeon Sang Ho.

Selain zombie-nya yang di upgrade, alur cerita yang sangat cepat dan settingan kereta yang sempit terisolasi menghadirkan ketegangan ekstra dalam film ini. Terkecuali satu adegan di akhir dimana Gong Yoo mengingat kembali momen kelahiran putrinya, sama sekali tidak ada flash back atau kilas balik yang biasanya berfungsi memperlambat alur dengan membuat penonton ikut bernostalgia menengok ke belakang. Maka dari itu jika ditanya bagian mana yang menjadi klimaks, sepanjang durasi 118 menit dari film ini kita berasa terus disuguhi klimaks dari awal sampai akhir.

Elemen lain yang digunakan secara cerdik oleh sutradara untuk meningkatkan level greget film ini adalah bagaimana plot cerita berkembang dari gerbong ke gerbong dalam kereta yang sedang melaju kencang. Layaknya main game, di setiap gerbong tokoh-tokoh utama menemui tantangan baru yang harus dilewati untuk sampai ke Busan. Kalau bicara kereta, jadi teringat salah satu film arahan sutradara Korea Selatan lain Bong Joon Ho yaitu Snow Piercer yang juga menggunakan metode sama. Entah memang ciri khas sutradara-sutradara Korea Selatan atau hanya kebetulan semata, tapi kedua film ini termasuk dua dari sedikit film Korea yang berhasil menembus box office dunia.

Tapi ya mungkin gara-gara kebiasaan buat animasi, gaya story telling nya kepotong-kepotong alias kurang ngalir

masih kebawa kotak-kotak narasi ala animasi kali ya

masih kebawa kotak-kotak narasi ala animasi kali ya via www.viewers.co.kr

Selayaknya manusia, film juga mungkin gak ada yang sempurna ya. Sejam pertama dari film ini itu berasa kayak berada di surga tertingginya film zombie, revolusioner dan gak ada matinya. Tapi yang tampaknya terlalu sempurna itu akhirnya mulai terlihat retaknya, terutama dalam mengembangkan narasi cerita tiap-tiap karakter hingga terkesan hanya sebagai sampingan dari actionnya.

Setiap adegan yang berfungsi memperkuat karakter tokoh-tokohnya berasa seperti after thought atau diselipkan belakang secara tidak natural. Misalkan, konflik internal yang dirasakan tokoh utama Gong Yoo ketika mengetahui bahwa perusahaannya memiliki andil dalam merebaknya virus. Adegan yang muncul setelah pertengahan film tersebut kesannya sia-sia karena tidak diperlukan, terlambat, dan akhirnya tidak diikut sertakan dalam penyelesaian cerita.

Kelemahan narasi film ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pengalaman sang sutradara yang sebelumnya hanya pernah mengarahkan film-film animasi. Barangkali jika dibandingkan dengan animasi, narasi dengan melibatkan emosi dan mimik aktor jauh lebih kompleks sehingga lebih sulit untuk diarahkan dan diwujudkan.

Meski kurang mulus cara berceritanya, tapi pesan yang bisa diambil dari sindirian-sindirian sang sutradara atas permasalahan sosial di Korea Selatan patut diapresiasi

penyakit masyarakat urban yang cuma peduli sama dirinya sendiri

penyakit masyarakat urban yang cuma peduli sama dirinya sendiri via t1.daumcdn.net

Walaupun kurang mulus cara berceritanya, tapi sebenarnya banyak permasalahan riil di Korea Selatan yang diangkat dalam film penuh action ini. Permasalahan yang seringkali dirujuk dalam film ini adalah keegoisan dan individualisme masyarakat jaman sekarang yang hanya sempat memikirkan diri sendiri, bahkan dihadapan bencana sekalipun.

Dalam film ini, permasalahan yang seringkali ditemui di Korea Selatan tersebut di highlight dari sudut pandang karakter Kim Su An, karakter putri Gong Yoo. Gadis kecil ini sebenarnya sudah menyadari ada yang tidak beres dalam kereta itu sejak awal dimulainya cerita film ini. Tetapi setiap kali dia menyuarakan kekhawatirannya, orang-orang di sekitarnya terlalu sibuk menunduk memelototi layar ponsel pintar mereka.

Walaupun zombienya sudah ngeri maksimal tapi ternyata kita justru dibuat jauh lebih takut sama manusia hidup yang gak punya hati

o-the-facebook

ini orang jauh lebih ngeri waktu jadi manusia daripada pas jadi zombie via i.huffpost.com

Film ini tampaknya berusaha mengeksplorasi ‘kemanusiaan’ dari berbagai sisi. Pertama, hubungan antara berbagai karakter manusia yang digambarkan melalui tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang sosial dan usia. Dihadapan ancaman bersama, ada mereka yang saling membantu tetapi ada juga yang justru saling mencurigai satu sama lain serta berusaha melindungi diri sendiri.

Kedua, kemanusiaan manusia bahkan dibandingkan dengan makhluk tidak bernyawa seperti zombie. Bahkan ketika tokoh utama dan sejumlah kawannya berhasil melewati semua zombie dalam kereta tersebut, mereka justru tidak diperbolehkan masuk oleh sesama manusia yang menghuni gerbong terdepan. Rangkaian adegan tersebut seakan-akan menggambarkan bahwa diantara semua hantu, zombie, dan makhluk supranatural lain, musuh manusia yang paling menakutkan itu sebenarnya masih manusia itu sendiri.

“Aloha ‘Oe”, nyanyian rindu untuk mengumandangkan kalau kemanusiaan masih bisa bertahan

saking egois dan acuh orang-orang sekarang, anak kecil yang gak bersalah sering jadi korban

dengan lantang bernyanyi untuk membuktikan bahwa dia bukan zombie via movie2.phinf.naver.net

Tokoh yang diperankan secara apik oleh Kim Su An ini merupakan karakter kunci dalam Train to Busan. Simbol segala kebaikan dan harapan yang dimiliki oleh manusia. Ditengah tragedi dan keributan yang disebabkan oleh zombie maupun manusia-manusia egois, gadis kecil ini tidak pernah kehilangan karakternya.

Lagu Aloha ‘Oe yang dinyanyikan Kim Su An di akhir film juga menyimpan arti tersendiri. Aloha ‘Oe adalah lagu tradisional Hawai yang dalam Bahasa kira-kira artinya,

selamat jalan cintaku sampai kita bertemu lagi

Lagu itu merupakan salam perpisahan pada ‘rumah’nya terdahulu yang telah porak poranda. Namun meskipun demikian lagu ini juga dipenuhi optimisme akan masa depan.

Satu trivia lagi deh tentang film ini. Di bulan Agustus 2016 kemarin, prequel dari Train to Busan ini dirilis di Korea Selatan dengan judul Seoul Station. Seoul Station ini merupakan film animasi. Berhubung belum dirilis di Indonesia, ya kita belum bisa ngulas. Nah artis pengisi suara tokoh utama Seoul Station di bawah ini sebenarnya buat kameo lho di Train to Busan kemarin. Ada yang tahu di adegan mana?

mbaknya itu spoiler buat prequel Seoul Station via i.ytimg.com

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Learn to love everything there is about life, love to learn a bit more every passing day