Iya, Iya. Solusinya Memang Menikah

Jangan langsung judgmental menandai penulis artikel ini jamaah asal-nikah-muda hanya karena baca judulnya. Sejujurnya saya pun bukan orang yang 100 persen percaya kalau menikah bisa dengan mudah membuka pintu rejeki. Bukan karena tidak relijius atau menafikan kehendakNya. Alasannya logis saja:

  1. Di Indonesia kebanyakan pernikahan masih disubsidi oleh orangtua. Maka yang berhak dapat bonus rizki karena mempersiapkan pernikahan ya orangtua mempelainya.
  2. Kita masih sering menganggap pernikahan itu jalan keluar paling jitu dari semua masalah hidup. Capek kerja, maunya menikah. Bingung saat harus jungkir balik menyelesaikan tesis langsung teriak, “Aaah udah ah nikah aja!”

Padahal pernikahan tidak disediakan untuk jadi tongkat ajaib untuk menyelesaikan masalah dalam waktu sesingkat-singkatnya. Tanpa kesadaran kalau menikah itu menggenapkan separuh iman untukNya, dari mana kita bisa menuntut rejeki boleh ditambahNya?

Tidak merasa harus menyelesaikan masalah secara ajaib, saya santai saja tidak menikah hingga lepas usia 25

Spoil me with comfort. I can finance myself.

Spoil me with comfort. I can finance myself via www.pexels.com

Prinsip ini benar-benar saya pegang sebelum memutuskan untuk membersamai seseorang seumur hidup.  Berisiko sekali membagi hidup dengan seseorang yang asing, yang kesempatannya membahagiakan dan menyakiti sama besarnya — hanya untuk alasan kestabilan finansial saja. Sadar dengan konsekuensi pilihan sendiri maka mulai awal bekerja saya fokus untuk bisa bernafas lega secara finansial.

Tidak masalah kalau harus punya 1 full time job dan 3 kerja paruh waktu supaya bisa bebas makan enak dan jajan buku kapanpun dimau. Dengan begini ternyata kebebasan di sisi lain juga mulai terbuka. Setiap dekat dengan pria mata saya lebih cerlang untuk menilainya. Saya lebih punya ruang untuk menilai orang yang datang dari perasaan macam apa yang mampu dia ciptakan. Dari bagaimana dia bisa membuat saya merasa nyaman.

Kapal limbung baru terasa di akhir 27. Rasanya tanpa tujuan waktu itu

Di akhir usia 27 barulah ada lubang yang terasa harus diisi. Ada rasa kosong, sedikit cemas karena tidak tahu sebenarnya apa tujuan akhir dari semua hal yang sedang diusahakan. Kerja mati-matian sampai kurang tidur itu sebenarnya buat apa. Terus-terusan putar otak demi menciptakan konten yang apik juga tidak lagi terasa 100 persen memuaskan. Mencari distraksi dengan banyak baca buku dan ikut kegiatan komunitas masih tetap menyisakan ruang besar. Di titik itu saya tahu kalau harus ada hal yang lebih besar yang semestinya jadi tulang belakang penguat alasan berjuang.

Hidup yang berkembang ternyata membawa rasa syukur yang berbeda via www.pexels.com

Hidup yang berkembang ternyata membawa standar rasa ‘cukup’ berbeda. Sepuluh tahun lalu rasa puas bisa datang dari senyum bangga orangtua waktu kita diterima di sekolah impian. Rasa penuh di hati muncul ketika bisa membeli gadget dari tabungan uang saku sendiri. Ketika mampu membagi waktu antara sekolah dan jadwal kepanitiaan yang terasa paling sibuk waktu itu.

Yang tidak pernah saya tahu soal rasa cukup adalah: semakin kita dewasa, rasa cukup yang paling besar porsinya datang dari rasa berguna untuk orang-orang yang berharga bagi kita.

Sekarang saya tahu kenapa selelah-lelahnya, se-ngehek apapun pekerjaannya — mereka yang menikah lebih tahu cara mensyukuri semua

Dark humor baru tumbuh setelah menikah via www.pexels.com

Hampir setahun kebelakang saya mengamati kinerja salah seorang ibu muda di kantor. Entah bagaimana caranya dia selalu punya kekuatan dan semangat untuk menyelesaikan konten lebih cepat dari teman-teman lain. Padahal dia sering datang lebih siang karena harus menyelesaikan urusan di rumah terlebih dulu. Kinerjanya juga jauh lebih produktif dibanding anak-anak lain yang waktu luangnya lebih banyak.

Iseng, saya bertanya padanya apa yang jadi sumber semangat di balik tubuh mungil yang terlihat belum pantas punya anak 2. Jawabannya membuat saya mafhum. “Tujuan gue sih sederhana. Pulang cepet, ninggalin anak nggak lama-lama dan dapet bonus banyak.”

Paling tidak ada pasangan yang sudah menunggu di rumah setelah melewati hari panjang di meja kerja. Klien-klien menggemaskan bisa lebih diatasi karena membawa tabungan yang cukup untuk persiapan sekolah anak nanti. Rekan kerja yang mengesalkan memang bikin naik darah, sekaligus bisa jadi bahan tertawaan sebelum pergi tidur.

Menikah membuat kita punya selera humor baru yang lebih dark sehingga semua hal tampak lucu. Menikah membuat kita jadi orang yang pintar menempatkan kaca mata kuda. Sesekali fokus ke tujuan saja nggak ada salahnya — nggak perlu peduli pada apa yang orang ributkan di sekitar kita.

Sekarang saya memilih ikut arus bukan karena menyerah. Menikah adalah usaha menolak kehilangan kemampuan berjuang sampai berdarah-darah

Saya memilih ikut arus bukan karena menyerah via www.pexels.com

Jika Tuhan mengijinkan, sebentar lagi saya akan hidup halal bersama pasangan yang saya pilih sendiri. Selepas hari dia memegang tangan Bapak saya dan mengucap ijab kabul maka hidup tidak akan lagi sama. Sederhananya, waktu 24 jam harus dibagi rata untuk kepentingannya juga. Mengejar karier juga tidak akan seleluasa sebelumnya, ada pertimbangan pasangan yang harus didengar sebelum menjalani karier yang membuat saya ikhlas kehilangan jam tidur itu.

Waktu luang untuk baca buku bisa berubah jadi waktu cuci baju. Bangun jam 4 pagi kelak bukan cuma untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang tertinggal dari hari sebelumnya. Saya harus makin pintar membagi waktu menyiapkan sarapan dan makan siang untuknya, berdandan 10 menit lebih cepat dari biasanya supaya bisa mencium dan memeluk dia lebih lama sebelum berangkat kerja.

Menikah, secara hitung-hitungan rasional membuat hidup jadi lebih rumit dan penuh aturan. Tapi saya yakin — sekian banyak kompromi ini akan memunculkan kekuatan.

Saya memilih menikah sebab saya ingin mampu mencapai hal-hal yang selama ini masih ditangguhkan karena alasan keterbatasan waktu. Menikah akan membuat saya kehilangan banyak waktu luang — karena itu saya tak akan punya pilihan lain selain berusaha sekuat mungkin berjuang. Menikah saya pilih sebab pencapaian diri sekarang berubah lebih dalam dari sekadar kepentingan pribadi. Saya ingin tumbuh jadi orang yang bermanfaat dan punya arti bukan cuma untuk diri sendiri.

Menikah adalah tentang membuat diri sendiri dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan yang menuntut kreativitas. Menikah adalah tentang tidak menyerah walau pasangan yang tidur di samping setiap malam sering membuat naik darah.

Menikah, makin kesini, adalah tentang menjinakkan dan menantang diri sendiri. Menikah bukan cuma soal dinafkahi, halal disetubuhi atau berkutat di spektrum harus melayani suami.

Karena menikah saya pandang dari sudut pandang berbeda, sekarang pernikahan tidak lagi semengerikan sebelumnya. Saya menikah bukan karena sudah lelah atau menyerah. Bukan juga karena mencari kecukupan penyediaan nafkah. Saya menikah karena butuh alasan kuat untuk kembali berjuang di tengah keterbatasan, walau sampai berdarah-darah.

#HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu 

Baca tulisan #HipweeJurnal dari penulis lainnya di sini!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat puisi dan penggemar bakwan kawi yang rasanya cuma kanji.