Untukmu, Depresi yang Bertamu Tak Diundang

Hai Depresi, entah berapa insan yang kehidupannya telah kau tandangi? Bagi kami, tuan rumah yang kau kunjungi mungkin bukan suatu masalah jika kau hanya sebentar bersinggah. Hanya saja pada beberapa dari kami, kadang kau mulai meminta dan menuntut macam-macam – seakan menjadi parasit bagi kehidupan tenang kami.

Kadang, sebuah tanya menyeruak, “Mengapa kau harus hadir dalam hidup kami?” Kau mungkin merupakan konsekuensi dari ketidakseimbangan hormon dan neurotransmiter sistem saraf kami (seperti perspektif bidang neurosains), atau mungkin manifestasi isu-isu psikologis serius yang ada terkubur dalam masa lalu kami (seperti perspektif ilmu psikologi). Namun, yang kadang kami sering tanyakan dalam diam adalah, “Apakah hadirmu yang membawa keterpurukan pada hidup kami ternyata punya suatu makna tersendiri?”

1. Hidup kami relatif cerah sebelum hadirmu

Belajar dan bersosialisasi via https://unsplash.com

Kilas balik ke masa lampau, awalnya hidup kami relatif normal, bahkan bisa dikatakan cerah sebelum kehadiranmu. Kami menuntut ilmu, bekerja, bersosialisasi, berekreasi, menekuni hobi, dan berbagai aktivitas normal lainnya. Beberapa dari kami mungkin pernah memiliki jaringan pergaulan yang luas, atau prestasi yang membanggakan, atau bakat yang istimewa. Lingkungan sekitar kami pun mungkin relatif kondusif. Namun siapa yang menyangka bahwa kelak kami akan mendapat tamu istimewa yang mengguncang kehidupan kami begitu hebatnya?

Lalu tiba-tiba kau mengetuk kehidupan kami untuk bertamu, yang bahkan asalmu tak kami ketahui. Kami sambut dirimu dengan keramahan, berpikir bahwa kau hanya manifestasi rasa galau atau suntuk dalam menjalani hidup selama ini, dan mengira kau hanya bertamu sebentar, lalu pergi sehingga kami dapat menjalani hidup normal kami lagi. Rupanya kami keliru.

2. Perlahan, kau ganti cerahnya cahaya dengan kelamnya kelabu

Jatuh dalam pusaran kesedihan via https://unsplash.com

Mulanya, kau mengeluh betapa membosankannya rutinitas kami, atau tanggung jawab yang menumpuk, atau kisah asmara yang kandas. Kau menuturkannya dengan narasi bernada melankolis yang membuat diri dilanda kesedihan yang pilu. Lalu tanpa alasan yang jelas, kau mulai bercerita panjang lebar tentang keburukan dan kesalahan kami tanpa henti, membuat kami terpaku hanya mendengar ceritamu saja dan melalaikan hubungan sosial dan kewajiban kami di dunia luar. Bak seorang jaksa dalam sebuah persidangan, kau mulai menuntut kami atas semua kelalaian, kegagalan, dan ketidakcakapan yang kami lakukan selama ini – logis maupun tidak logis. Semua kau lakukan tanpa memberikan kesempatan bagi kami untuk membela diri. Lelah berbicara, kau mulai menggerogoti kenangan indah dan menyedot cadangan energi kami dalam berinteraksi ke dunia luar. Bahkan pada kasus yang ekstrim, kau – yang mampu bermain peran sebagai jaksa dan hakim sekaligus – menyatakan kami bersalah atas semua tuduhan sehingga kami “pantas” menjalani hukuman berupa tindakan menyakiti diri yang berpotensi membahayakan diri kami sendiri.

Kadang kami bingung, mengapa kau datang tiba-tiba tanpa alasan yang jelas dalam hidup kami yang relatif normal serta melakukan semua hal itu pada kami? Tahukah, singgahnya dirimu menyebabkan hidup kami terasa hampa, tanpa arah dan tujuan? Hubungan pergaulan kami kian renggang, serta kewajiban yang seharusnya kami jalani kian terlantar – hingga kami jatuh dalam siklus rasa sedih, bersalah dan malu. Itukah yang kau inginkan, menghancurkan hidup kami pelan-pelan, bak kanker yang perlahan menggerogoti hidup seseorang? Kau melarang kami menikmati hidup dan merasa nyaman dengan diri sendiri. Bukannya motivasi, kau malah injeksikan kesedihan, kemurungan, kekecewaan, keputusasaan, kekesalan, dan berbagai hal lainnya dalam dosis yang tak tentu namun kontinyu setiap harinya – tanpa persetujuan kami.

Ya Depresi, kau membawa hidup kami yang awalnya cerah hingga lengser menuju senja, yang diikuti oleh kelamnya malam.

3. Selain dirimu, kami juga berkutat menghadapi stigma

Berjuang sendirian via https://unsplash.com

Terimakasih atas kedatanganmu, kami jadi semakin terkucil dalam lingkungan sosial. Kinerja kami menurun. Bahkan sekedar bangun dari ranjang dan memulai hari dapat terasa amat sangat berat. Bagi orang-orang di sekitar kami, perubahan sikap kami begitu kentara. Sejalan dengan hal itu, respon mereka pun beragam. Ada yang mencoba mencari tahu dan mendukung, namun tak sedikit pula yang berasumsi macam-macam.

Stigma begitu kentara bagi mereka yang sedang dikunjungi Depresi. Mereka, sama seperti kami pada awalnya, berpikir bahwa kau hanya tinggal sementara, atau bahwa kau hanya manifestasi rasa galau atau lelah yang mudah untuk dihilangkan. Kesendirian kami dianggap sebagai sifat anti-sosial. Emosi dan tingkah kami dilabeli sebagai “aneh”. Air mata kami dipandang sebagai suatu sifat lemah, terutama untuk kaum pria. Tak sedikit dari mereka yang mulai mendiskriminasi kami hanya karena hadirmu pada hidup kami, seakan hidup kami didedikasikan untukmu saja, dan kami tidak punya sisi positif sedikitpun.

Tahukah mereka, bahwa dalam diam kami tengah bersitegang dan berselisih denganmu untuk mempertahankan hak dasar kami: untuk hidup vital secara normal kembali – sebuah pertarungan besar yang tak mereka ketahui?

4. Kadang, kami memang harus menghadapimu bersama-sama

Menghadapi bersama via https://unsplash.com

Beberapa dari kami begitu kerasnya berjuang membela haknya darimu dan memutuskan mencari bantuan – karena bukankah untuk menghadapimu memang lebih bijak dilakukan bersama? Bila bahkan suara hati kami dapat mengatakan hal buruk yang tidak sepenuhnya logis bagi diri kami sendiri, siapa lagi yang bisa kami percaya kecuali suara hangat mereka yang dengan tulus bersedia mendukung dan menolong kami?

Kami memutuskan meminta bantuan bukan karena kami lemah. Bukankah orang yang jujur mengakui musuh dalam dirinya sendiri dan bersedia menghadapinya adalah orang yang terberani dari yang terberani?

Kami menghubungi teman terdekat dan menumpahkan seluruh curahan hati, atau berkonsultasi dengan profesional seperti psikiater atau psikolog. Kadang kau begitu bandelnya hingga masih bercokol dalam kehidupan kami. Namun tak sedikit kasus dimana kau mengangguk setuju meninggalkan hidup kami sehingga perlahan hidup kami dapat kembali normal.

5. Mungkin, kau adalah kegelapan yang perlu untuk bertumbuh

Bertumbuh dalam gelap via https://unsplash.com

Merenungi lagi, mungkinkah bahwa keterpurukan, kehancuran, dan kekalutan yang kau bawa beserta hadirmu dalam hidup kami adalah semacam malam kelam bagi diri? Sebagaimana malam adalah konsekuensi yang niscaya setelah berlalunya siang hari, kau mungkin datang sebagai konsekuensi dari hidup kami terdahulu yang bergelimang cahaya sebagai bagian dari siklus kehidupan. Lagipula, bagaimana kami mengapresiasi cahaya jika tidak pernah merasakan gelap? Bagaimana manusia yang kadang enggan untuk bersyukur ini mampu mengapresiasi karunia Sang Illahi jika Ia tak pernah merasakan keterpurukan?

Lalu diperdalam lagi, mungkinkah hadirmu memliki tujuan agar kami dapat bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik lagi? Mungkinkah kau, yang dilafalkan seperti “Deep-rest” dalam bahasa Inggris “Depressed”, memberi kesempatan bagi kami untuk beristirahat sejenak dari hingar bingar dunia untuk mengintrospeksi diri, dan mempersiapkan untuk bangun menuju fajar yang baru?

Seperti sebuah biji yang akan bertumbuh menjadi sebuah tanaman rimbun dan berbunga, pertama ia akan kehilangan kenyamanan dalam masa dormannya dan menemukan dirinya dalam gelap dan dinginnya kedalaman tanah. Tapi tak pernah ada keraguan dalam dirinya, bahwa kelak setelah melewati waktu-waktu dalam kegelapan tak menentu, ia akan bertumbuh keluar dari tanah yang dulu mengekangnya, bergerak menuju cahaya. Jika ia mampu bertahan dan menembus lapisan tanah yang dingin nan gelap itu, tumbuhnya biji itu menjadi sebuah tanaman yang indah dalam hangatnya udara terbuka bermandikan cahaya benderang adalah suatu yang niscaya.

Apakah kami sedang dipersiapkan layaknya bibit itu?

Pada akhirnya, hanya ada sekumpulan tanya yang terkesan retoris. Namun berpikir seperti itu mungkin membuat kami yang sedang atau telah menghadapimu mampu berdamai dengan kehadiranmu. Kau memang merupakan bayang-bayang negatif dalam hidup kami, tapi mungkin bayangan adalah konsekuensi yang niscaya dari hadirnya cahaya. Mungkin kau bukanlah musuh yang harus dimusnahkan melainkan diseimbangkan pengaruhnya dengan dukungan sahabat, penyaluran hobi, serta hal-hal positif lainnya. Mungkin kali ini kami memang perlu berterimakasih padamu karena bagaimanapun kau telah menjadi katalis bagi pertumbuhan menjadi diri yang lebih baik.

Dari kami, tuan rumahmu yang (masih berusaha) berdamai denganmu

(PS: Mari bersama kita tingkatkan kesadaran, bebaskan stigma, dan beri dukungan suportif untuk mereka yang sedang berkutat dengan gangguan kesehatan jiwa.)

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Concordia per sapientiam et amorem | A lifetime loner, learner, and lover