Kisah Wanita Melankolis yang Terkena Vonis Santet dan Bagaimana Ia Melaluinya #HipweeJurnal

Semalam baru saja saya menitikkan air mata saat ingat, bagaimana ya nasib si bapak driver ojek online yang mengantar saya pulang ke rumah? Pasalnya di luar hujan sedang turun dengan derasnya bersama sang pujaan dan sahabatnya, siapa lagi kalau bukan angin beserta petir. Sementara si bapak ini tak memakai jas hujan dan rumahnya pun cukup jauh dari rumah saya. Belum lagi jalanan yang akan dilewati terbilang cukup rawan saat sudah malam.

Advertisement

Mungkin untuk orang lain itu hal sepele yang nggak perlu repot dipikirkan apalagi sampai ditangisi. Tapi buat saya entah kenapa hal seperti itu bisa dengan mudah mencubit perasaan ini. Mohon maklumi, saya termasuk orang yang sudah terlanjur dilabeli dengan kata ‘cengeng’ dan ‘baperan’. Hal apapun bisa buat saya menangis, bahkan setiap kesal dan marah pun selalu berujung sendu sendiri.

Jadi saat beberapa waktu lalu, saat Managing Editor junjungan kami meminta untuk menulis #HipweeJurnal saya pun memantapkan diri untuk menulis soal kemelankolisan diri ini. Dengan antusias pun saya menanti kesempatan itu tiba. Meski akhirnya tetap saja dibuat bingung harus menulis apa.

Karena nggak mungkin ‘kan saya menulis curhatan tentang rasanya jadi orang melankolis, gampang nangis dan sensitif yang aslinya juga sudah pernah ditulis. Nggak mungkin juga saya cerita semua pengalaman baperan seperti yang di atas lagi. Sebab saya nggak mau orang terfokus dengan kemelankolisan. Bisa-bisa saya dinilai seperti halnya tokoh protagonis di kebanyakan sinetron yang bisanya cuma nangis dan nangis.

Advertisement

Jadi orang boleh ejek saya cengeng atau gembeng. Tapi orang nggak boleh bilang saya pengecut.

Si cengeng yang nggak mau dibilang penakut via tenor.com

Lagi-lagi saya tak ingin jadi tokoh protagonis di kebanyakan sinetron yang sering dibodoh-bodohi dan dikerjai orang-orang bermental sok jadi kompeni yang hobinya menindas yang lemah. Buat saya pribadi, hidup yang sudah keras ini memang perlu dihadapi dengan sikap keras pula. Keras bukan berarti harus kasar dan selalu membangkang. Keras di sini maksudnya supaya jangan mudah takut dengan apapun yang ada di hadapan kita, sekalipun itu kemungkinan terburuk.

Seperti saat saya sakit berbulan-bulan, mulai dari vonis dokter yang macam-macam sampai vonis katanya saya disantet

Hadapi apapun yang ada di depanmu via www.instagram.com

Saya masih ingat bagaimana rasanya setiap detik dibayangi dengan kematian. Memang hidup kita ini seperti waktu yang fana, kurang lebih begitu ujaran Sapardi Djoko Damono. Tapi entah kenapa ada keyakinan yang besar, kalau saya tak boleh pergi sekarang. Saya harus kuat menghadapi penyakit yang tak jelas juntrungannya ini. Awalnya hanya maag biasa, tapi setelah bolak balik periksa malah divonis macam-macam, mulai dari kista, tiroid, sampai kelainan jantung. Membuat dokter bagian penyakit dalam yang menangani saya akhirnya melontarkan pertanyaan, “sebenarnya Mbak ini sakit apa ya?”.

Advertisement

Dokter saja nggak tahu, apalagi saya yang cuma pernah memeriksa dan menyuntik ikan (FYI,  saya ini aslinya anak perikanan dan ilmu kelautan yang harusnya jadi anak buah Bu Susi yang nyentrik plus asyik itu, tapi nyatanya saya membelot dan memilih menulis sebagai jalan karier saya). Nah, saat saya sudah bingung dengan segala vonis dokter, dan bosan dengan bau obat-obatan. Muncul juga vonis yang tak kalah buat saya merinding, apalagi kalau bukan soal teluh atau santet.

Dasar ndeso! via plus.google.com

Hari gini masih percaya sama santet dan hal-hal mistis? Ndeso!

Di era teknologi yang serba digital dan ‘katanya’ maju ini, orang sah-sah saja beranggapan sesuatu yang berbau mistis itu hal yang kampungan alias ndeso. Tapi kenyataannya, kita sebagai muslim harus tetap mengimani hal-hal gaib atau mistis. Setidaknya kita perlu percaya kalau manusia tak hidup secara ragawi saja. Ada bagian spiritual atau kebatinan yang nyatanya dekat sekali dengan hal berbau mistik.

Sebelum penjelasan melebar kemana-mana, saya ingin meluruskan tulisan ini lagi. Jadi saya punya beberapa teman yang indigo dan bisa dibilang punya pengalaman dengan yang berbau santet. Setidaknya mereka beberapa kali menyembuhkan orang yang sakitnya tak jelas juntrungannya seperti saya. Meski buat saya mereka tetap orang yang beradab, karena saya tak hanya diminta berobat secara spiritual, tapi juga harus tetap konsultasi ke dokter spesialis.

Mengingat semenjak saya sakit hal-hal aneh terus bermunculan, mulai dari datangnya beberapa lintah setiap subuh di dalam rumah, sampai orangtua saya melihat makhluk-mahkluk tak kasat mata. Sementara saya dan teman saya yang indigo sendiri mengalami mimpi yang menyeramkan. Yang mungkin kalau dijelaskan orang bisa saja berkomentar, “ah, mimpikan sekadar bunga tidur!” Lalu akhirnya setelah coba diterawang oleh mereka, saya pun resmi divonis terkena teluh.

Takut di awal-awal sudah jelas, tapi melihat ibu saya yang menangis tiap malam, entah kenapa rasa itu berganti dengan keberanian. Seperti yang dijelaskan di paragraf awal subpoin ini, saya justru tak takut atau ingin menyerah begitu saja. Sekalipun setiap hari saya ikut menangisi kondisi saya yang kalau Ashar tiba cuma bisa rebahan dan megap-megap.

Sampai pada akhirnya keberanian saya pun berbuah baik. Saya memutuskan pergi ke Malang, bersilahturahmi dengan teman-teman saya yang indigo tadi. Dibimbing untuk lebih sadar diri, barangkali ada khilaf yang saya atau keluarga saya tak sadari. Dibantu juga dengan pengobatan spiritual yang gambarannya kurang lebih mirip di film Doctor Stranger. Teman-teman saya yang indigo ini menjelajah ke alam lain, mencari sumber penyakit saya datang, dan menghilangkannya. Terakhir saya pun diingatkan untuk memupuk keimanan saya lagi, salah satunya soal sedekah.

Seperti mejik memang, karena dalam waktu seminggu, saya sendiri sudah cukup sehat. Bisa kembali bekerja, tak lagi merasa sesak napas setiap Ashar tiba. Dan pastinya itu membuat saya meyakini, kalau sakit saya yang kemarin itu ujian sekaligus peringatan. Ujian untuk orang melankolis dan cengeng seperti saya supaya tak jadi penakut. Peringatan untuk saya yang selama bertahun-tahun lalai dan lupa bersyukur ataupun ingat kepada Sang Pemilik Semesta.

HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu 

Baca tulisan #HipweeJurnal dari penulis lainnya di sini!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Tukang catat yang sering dilanda rindu dan ragu

CLOSE