A Man With So Many Thoughts: SATU.

Life? What is life?

Advertisement

Aku, Bena. Terlahir sempurna dan bahagia ke muka bumi dari keluarga kecil dan sederhana. Berisikan hanya Ayah, Ibu, dan aku. Berat dan tinggiku saat lahir layaknya kebanyakan bayi-bayi normal biasanya, tidak kurang dan tidak lebih. Yang membedakannya dengan orang lain hanyalah pikiran dan lingkunganku. Seyogyanya, bayi yang muncul tertiup udara duniawi akan langsung menangis, tetapi aku tidak. Terdiam dan berfikir, layaknya sudah mengerti apa arti kehidupan yang sebenarnya. Hingga keluargaku pun bingung. Bahkan aku terdapatkan sedang mengepalkan tanganku dengan jari telunjuk mengepit kencang diantara jempol dan jari tengahku yang mungil.

Dibesarkan dari keluarga yang memiliki dua kehidupan dan lingkungan yang berbeda. Ayahku dan keluarganya merupakan orang-orang berpendidikan yang 100% memercayai teori. Sementara, keluarga Ibuku adalah orang-orang dengan latar belakang sederhana yang hanya mengandalkan fisik dan hati nurani. Akupun bingung. Sedari kecil sudah dibiasakan dengan dua keadaan berbeda dalam satu lingkup yang bervariasi; kehidupan gemerlap malam, belajar dan mengajar, ibadah untuk berkomunikasi dengan Tuhan, hingga masalah-masalah baik berat maupun ringan.

Hari-hariku diisi tidak hanya dengan hal-hal tersebut, tetapi juga tawa, canda, dan kesedihan yang mengharuskanku untuk hidup mandiri. Kemandirian sejak dini menjadi peran penting dalam kehidupanku. Masalah-masalah itulah yang mewajibkanku untuk tidak bergantung pada siapapun. Tetapi, bagaimana caranya?

Advertisement

Setapak demi setapak kehidupan kujalani dengan antusias, diselimuti dengan kebingungan. Hingga waktu pun bergulir begitu cepat. Ratapan seorang anak bocah berusia 15 tahun yang baru lulus Sekolah Menengah Pertama, belum mengerti apa arti dari hidup yang sebenarnya. Situasi terpisah dengan Ayah membuatku termotivasi akan pentingnya bertahan hidup dan menjadi yang terbaik. Namun, bagaimana caranya?

Adapun banyak hal yang mengulas tentang apa itu kehidupan. Katanya, hidup untuk belajar, dan belajar untuk hidup. Aku amati, observasi, dan jalani dengan segala macam pikiran yang kupendam sendiri. Aku pun bingung mengapa sedari kecil aku selalu merenung dan berfikir sendirian. Akupun memberanikan diri untuk bergaul dengan kehidupan yang beragam bersama teman-temanku dari berbagai kalangan. Berusaha keras terbebas dari jeratan kesendirian dan rumitnya pikiranku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Dian. Sahabatku sedari SD, hingga saat ini duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

Advertisement

Dian, seorang gadis dengan paras cantik yang memiliki kehidupan— menurutku —sempurna. Ia pintar, baik, dan riang. Tidak heran jika aku selalu nyaman untuk bercengkrama dengannya. Namun, tetap tidak berani untuk melontarkan apapun isi pikiran dan hatiku kepadanya. Bukan karena aku yang bersifat pemikir, tetapi rasa takut akan tidak diterimanya aku oleh orang lain menjadi faktor utama mengapa aku tergolong orang yang introvert.

Hari-hariku diisi olehnya setiap saat. Kami belajar bersama, duduk satu meja, mengikuti kegiatan organisasi bersama, makan siang dan pulang sekolah bersama, dan lain sebagainya. Aku mengetahui apapun tentang kehidupannya, tetapi ia tidak. Rasa gengsi dan minder pun menjadi landas teori dan praktek yang aku jalani dalam hubungan pertemananku dengan Dian. Walaupun ia sangat terbuka denganku. Oleh karenanya, aku pun berfikir bahwa kehidupan tidak hanya mendapatkan hasil, namun juga proses yang patut dinilai sebelum mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan, tentu diiringi dengan belajar.

Aku yang tertutup karena diselimuti akan ketakutan, minder, serta gengsi membuatku selalu ingin memiliki waktu untuk sendiri. Kesendirianku itu membuat munculnya beribu pertanyaan yang selalu terbersit di pikiranku sedari kecil hingga saat ini tentang kehidupan.

Mengapa aku dilahirkan seperti ini? Mengapa manusia diciptakan dengan berbagai macam karakteristik dan sifat yang berbeda? Mengapa kehidupan harus selalu berlandaskan gengsi? Mengapa aku membutuhkan cinta? Mengapa aku dituntut untuk pintar? Mengapa teman-temanku mengejekku karena kehidupanku yang berbeda? Mengapa orang tuaku berpisah? Mengapa agama berbeda-beda namun mengajarkan hal yang sama? Mengapa aku dilarang untuk melakukan hal-hal buruk? Mengapa aku tidak selalu memiliki hal yang kuinginkan?

Ya, C’est la vie.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

A full time Public Relations, and part time Writer. Sociology & Psychology, Laws, Arts & Fashion, History that he loves. Kanisius 2009 / IT-B / Harper's BAZAAR Indonesia. Carpe Diem x Créme de la Créme.

CLOSE