Belajar Mencintai dari Simbah. Karena Cinta Tak Melulu Soal Fisik, Ini tentang Hati

Aku memanggil Kakek dari Ayah dengan sebutan 'PAJI', singkatan dari "BAPAK HAJI", ketika orang-orang memanggil Kakeknya dengan sebutan "AKI", "KAKEK", atau "MBAH" aku sudah nyaman memanggil Kakekku dengan sebutan "PAJI". Sementara itu, aku memanggil Nenekku dengan sebutan "EMAK", bahasa sunda dari nenek. Kami tinggal terpisah, tapi rumah kami berdekatan. Ketika zaman sekolah dulu sebelum berangkat ke sekolah aku pasti akan pamit terlebih dahulu ke rumah Paji dan Emak.

Tidak maksud untuk kembali meminta uang jajan, tapi entah mengapa Paji selalu memberiku tambahan uang jajan meski hanya 1000 atau 2000 rupiah. Dulu dengan seribu rupiah aku masih bisa membeli es, kalau sekarang seribu rupiah hanya dapat permen tiga buah.

Ketika aku lulus dari SMA, aku diterima kuliah di Bogor. Artinya, aku akan menetap sementara di kota hujan tersebut. Setiap kali aku hendak berangkat, Emak selalu menangis melepas kepergianku. Sementara itu, Paji seperti biasa selalu memberikanku uang tambahan jajan.

Padahal saat itu aku tahu, uang beliau tidak banyak, hanya mengandalkan uang pensiunan PNS yang tidak seberapa. Paji dan Emak itu keren, ketika aku pulang ke rumah biasanya aku dibuatkan makanan yang di kampung dikenal dengan sebutan "DEENG" atau "DENGDENG". "DEENG" adalah makanan favoritku maka ketika aku sudah bekerja di Jakarta pun, Emak rajin membawakanku makanan tersebut ketika aku pulang ke rumah.

Aku jadi terigat sebuah pepatah, "Jika kau ingin belajar mencintai dengan benar, coba tanyakan kepada Kakek dan Nenekmu yang menjaga cinta mereka sampai usia senja". Paji dan Emak memang sudah sepuh, Paji berusia 82 tahun dan Emak berusi 76 tahun. Bapakku yang merupakan anak bungsu sudah berusia 52 tahun. Artinya, Paji dan Emak sudah hidup bersama lebih dari 50 tahun. Suka dan duka pasti mereka lalui bersama. Aku pernah menggoda Paji waktu itu, "Paji, dulu pernah ngasih kado apa buat Emak? Cieee", Paji tidak bergeming ketika aku memberikan pertanyaan tersebut, malah Emak yang bicara, "Hahaha, Paji gak pernah seperti itu".

Kata Emak, Paji bukanlah sosok laki-laki yang romantis, jika mengharapkan laki-laki yang romantis tentu Paji bukanlah laki-laki yang tepat. Tapi kata Emak, ketika dua orang memutuskan untuk hidup bersama, apakah si laki-laki romantis atau tidak itu tidak menjadi bahan pertimbangan. Ada yang lebih penting dari sekadar berharap apakah calon pasangan kita romantis atau tidak, seperti apakah laki-laki tersebut bisa bertanggung jawab atau tidak. Karena pada akhirnya yang bisa dipegang dari seorang laki-laki adalah bagaimana dia bisa bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarganya.

Lalu, aku ernah bertanya kepada Paji. "Paji, apakah Emak cantik?", Paji tersenyum lalu berkata, "Enggak.", lalu kami tertawa bersama. Katanya, mencari seorang pasangan hidup bukan sekadar wajah yang rupawan, percuma punya pasangan yang rupawan tapi tidak bisa diajak hidup bersama dalam perjuangan, toh hidup bersama itu adalah soal saling memperjuangkan dan sama-sama membuat ada.

Menjalani usia pernikahan yang lebih dari 50 tahun tentunya adalah prestasi yang luar biasa, bagaimana bisa bertahan selama itu? Kuncinya cuma satu, katanya, yakni pundak.

Ternyata pundak. Ya, pundak.

Hidup tidak selamanya lurus. Hidup tidak selamanya bersenang-senang. Maka, siapa yang paling sadar memberikan pundaknya untuk sekadar disandari? Tidak semua. Hanya orang terpilih yang akan setia dalam berbagai kondisi, bahkan kondisi terlemah sekalipun.

Aku mengerti,

Cinta ternyata soal memberi bukan banyak meminta. Cinta adalah perjuangan, jika tidak berani memperjuangkan, maka kita tidak bisa mencicipi buah dari cinta itu sendiri.

Aku melamun, suatu hari nanti aku ingin :

Duduk berdua di belakang rumah, melihat cucu-cucu berlarian lantas berkata, β€œItu yang telah kita buat!”,

Lalu kita tertawa dengan gigi yang sudah ompong dan kulit yang keriput.

Mencintai bukan perkara mudah jika terus saling meminta hal yang tidak dipunyai pasangan kita, justru tujuan bersama ada untuk saling melengkapi. Mencintai bukan sekadar tentang romatisme semata, mencintai secara realita adalah mau menerima pasangan kita sebagaimana adanya dia dan bersama menciptakan kebahagiaan untuk bersama. Kalau sudah tua, bukankah bersama bisa saling menguatkan?

Begitu kata Paji dan Emak.

#SimbahkuKeren

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Bloger Conten Writer Traveller Human Resource Antusiast

6 Comments

  1. Hai Makasih yah πŸ™‚