Bersyukur Atas Segala yang Kita Punya

Tri adalah teman saya jalan kaki di pagi hari. Meskipun tidak setiap pagi jalan kaki bersama, kami tinggal di kompleks yang sama, tapi blok yang berbeda. Rumah kami tidak berdekatan. Akibat sudah cukup seringnya frekuensi pertemuan, kami jadi sering saling curhat dan akhirnya berteman dekat. Kami saling bercerita dari perihal kerjaan sampai ke perihal rumah tangga.
Di suatu Sabtu pagi, kami sedang jalan kaki di sekitar kompleks. Jalanan yang kami lalui tidak begitu ramai, sehingga kami bisa berjalan santai, sambil bercakap-cakap.

“Ada kabar baru apa nih, Tri?”, saya membuka percakapan sambil mengangkat kedua tangan untuk saya regangkan ke atas yang setiap harinya cukup kaku karena terus bekerja.
“Banyak temen kantor yang muji kecantikan istri gue setelah kemarin kami berdua datang di acara kantor,” Tri melemparkan sebuah topik pembicaraan.
“Oh ya? Loe sebagai suaminya bangga dong?” sahut saya ikut senang mendengar kabar itu.
“Iya, Djie. Istri gue emang cantik. Kalau ga cantik ‘kan ga gue nikahin,” canda Tri.
Dia ngakak menggelak tawa.
“Tapi gue bingung sih sama istri gue,” kata Tri.
“Lha emang kenapa?”
“Iya, dia cantik. Tapi akhir-akhir ini gue males sama dia. Soalnya setiap ketemu kok sepertinya semakin cerewet. Apalagi kalau udah menjelang akhir bulan. Wah, kecerewetannya meningkat. Cerewet minta ini dan itu …,” jawab Tri.

Keluh kesah yang serupa juga cukup sering kita dengar dari teman-teman kita atau bahkan dari kita sendiri. Tidak hanya sebatas mengenai hubungan rumah tangga, tapi lebih luas dari itu, yaitu tentang menolak yang tidak kita inginkan dan hanya mau menerima yang kita inginkan. Saya pun tak luput untuk mengalaminya.
Padahal dalam keheningan, kita diingatkan bahwa kehidupan itu,
ketika ada pagi, maka akan ada giliran malam untuk datang.
Ketika pertemuan terjadi, maka di situ akan berlangsung perpisahan.
Ketika keinginan terwujud, ada kalanya kenyataan ga sesuai keinginan.
Di mana masa depan dapat digenggam, di sana pun akan ada keikhlasan untuk membiarkan lipatan masa depan terbuka dengan sendirinya.
Kebahagiaan tercipta saat mampu menerima segala yang ada. 
Layaknya menerima bunga mawar, tak hanya keindahan kelopaknya, tapi juga ketajaman durinya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Murid meditasi, mindfulness, zen | Hobi menulis | Bereksperimen: Human, Mind, Habit | Pelayan di SukhaCitta