Gereja Tua di Tanah Amazon Suriname

Henck Arronstraat, Paramaribo adalah salah satu jalan yang dikelilingi bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda. Salah bangunan yang berdiri di sekitar jalan tersebut adalah Saint Peter and Paul Basilica, sebuah gereja tua yang berdiri megah di antara bangunan tua yang lainnya. Bangunan yang hanya berdinding kayu dengan pilar berwarna biru ini menjadi bangunan yang nyentrik dibandingkan dengan bangunan tua di sekitarnya. Bangunan ini mempunyai tiga lonceng di menara bagian barat. Alfhonsus dengan berat 222 kg adalah lonceng yang terkecil, John dengan berat 827 kg adalah lonceng yang terbesar, sedangkan lonceng yang di tengah adalah Rosa dengan berat 413 kg. Awal mulanya bangunan ini adalah sebuah panggung teater yahudi Belanda pada tahun 1089. Pada tahun 1826, bangunan ini berubah fungsi menjadi gereja untuk umat Katholik di Suriname. Baru pada tahun 1858 bangunan ini ditetapkan sebagai gereja katedral dan diutuslah seorang uskup untuk gereja ini. Namun, pada tahun 1977, Katedral ini tidak boleh digunakan lagi karena bangunan kayunya mulai rusak berat. Hal itu disebabkan karena kayu dimakan rayap dan bangunan mulai berdiri tidak tegak. Akhirnya, pada tahun 2002, atas bantuan Uni Eropa, bangunan katedral kayu ini mulai direnovasi kembali. Selain itu, pada tahun 2007, mulai dilakukan kembali restorasi format katedral setelah sekian lama vakum. Oleh karena itu, mulai tanggal 13 November 2010, Katedral Saint Peter and Paul Basilica mulai dibuka kembali.

Pertama kali aku mengikuti Perayaan Ekaristi di Gereja Tua ini, yang sangat menarik hatiku adalah sosok Pater Esteban Kross. Seorang Pater yang aku tangkap sangat lucu dalam menyampaikan khotbah kepada umatnya. Maaf sebelumnya aku belum bisa bahasa Belanda, namun dari reaksi umat yang selalu tertawa ketika mendengar khotbah-khotbah beliau, aku dapat menyimpulkan seperti di atas. Satu hal yang menarik lagi dari sosok pater Kross, beliau memiliki hobi bernyanyi, dan hampir semua tata cara liturgis gereja beliau nyanyikan. Seperti credo/aku percaya dinyanyikannya pula, sehingga misa yang di Indonesia biasanya satu hingga satu setengah jam selesai, kalo di katedral dengan Pater Connie ini bisa selesai kurang lebih dua hingga dua setengah jam. Awalnya, sepulang misa, aku pasti menggerutu, tapi berjalannya waktu sudah biasa.

Ada sebuah tradisi kecil yang sangat menyentuh hatiku ketika mengikuti segala prosesi di Gereja tua ini. Waktu perarakan persembahan, ada seorang bapak tua yang selalu keliling di dalam ruangan untuk mencari anak-anak kecil. Pertama kali melihatnya aku bingung, waktu ekaristi, bapak ini malah berjalan-jalan dan menarik anak-anak kecil keluar gereja. Rupanya, waktu iring-iringan perarakan persembahan, anak-anak kecil yang ditarik oleh bapak tua itu spontan menjadi petugas perarakan persembahan. Saat itu, terasa indah sekali nuansa dan suasana yang hendak dibangun dalam tata cara liturgis di gereja tua ini. Anak-anak dari berbagai etnis berkumpul menjadi beberapa baris dan mulai bergerak menuju altar. Oh, sungguh indahnya !

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

4 Comments

  1. Lisa Elisabeth berkata:

    ga bosen nge game ga dapat apa apa , mendingan ikut aku yuk , dapatkan hadiah menarik sampai puluh jutaan rupiah hanya di
    dewa168.com