Pedalaman Papua Menjadi Saksi Dipertemukannya Gadis Ini dengan Cinta Sejatinya. Yuk, Baca Kisahnya!

Saat keluarga besar saya mengetahui saya akan berangkat ke Teluk Bintuni, Papua Barat untuk menjadi dokter PTT, reaksi mayoritas mereka adalah kaget dan mulai menjejali pikiran saya dengan hal-hal menakutkan yang mereka pikirkan tentang Papua. 

Advertisement

“Di sana apa-apa mahal, lho.”

“Akses kemana-mana masih susah 'kan?”

“Dengar di berita masih sering perang saudara di sana.”

“Awas kena malaria!”

Kedengarannya absurd tapi itulah kenyataannya. Saya sendiri tidak terlalu khawatir, saya yakin Papua sudah cukup maju dan tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang. Nyatanya setelah tiba di sana, semua yang dikhawatirkan oleh keluarga saya terbukti tidak benar. Saya tidak pernah kena malaria di sana, tidak ada perang saudara sama sekali dan harga-harga juga tidak semahal yang diperkirakan orang. Tetapi soal jodoh ternyata sedikit banyak menjadi kekhawatiran dari semua dokter PTT di tempat terpencil.

Bahkan, kami sering kali mengantar rekan sejawat kami yang akan berangkat ke pedalaman dengan candaan seperti ini “Jangan kelamaan di sana ya, cepat kumpul sama kami lagi di kota. Kalau kelamaan di kampung, kambing makan sirih pinang pun elihatan cakep. Hati-hati!”

Advertisement

Saya tiba di Teluk Bintuni, Papua Barat bulan Juni 2012, bersama dengan 3 orang sejawat lainnya. Setibanya di sana kami disambut oleh senior-senior kami yang sudah lebih dulu mengabdi di sana. Saya berkenalan dengan salah 1 senior, namanya dr. Reggy. Dia 2 tahun lebih tua dari saya, lulusan dari salah satu universitas swasta di Bandung, dia sudah 1 tahun mengabdi di Teluk Bintuni dan saat itu sedang hendak memperpanjang pengabdiannya di sana. Kesan pertama saya tentang dia sangat baik. Penampilannya rapi dan orangnya ramah, saya yakin kita bisa berteman baik. Lagipula saya tidak pernah punya kesulitan berteman dengan siapa pun.

Ternyata kami sama-sama beragama Katolik dan gereja di kota Bintuni hanya ada 1, di sebelah puskesmas kota dan mess dokter PTT. Alhasil beberapa kali kami pergi ke gereja bersama-sama. Saya suka dengan dia, dia cerdas dan tidak kecentilan. Saya tahu dia pun menyukai saya. Saya bertugas di RSUD di kota sementara dia bertugas di area Idoor, daerah terluar dari Teluk Bintuni, butuh kira-kira 7 jam perjalanan dengan menggunakan long boat. 

Advertisement

Di sana jelas tidak ada sinyal, jadi saat dia sedang di Idoor kami tidak bisa berkomunikasi. Biasanya dia bertugas selama kira-kira 2 minggu di sana, karena Idoor adalah tempat yang sangat terpencil jadi bahan makanan sulit sekali didapat di sana. Bahan makanan yang bisa dibawa di atas long boat dari kota Bintuni, kira-kira hanya cukup untuk bertahan hidup 2 minggu di sana. Di sana tidak ada listrik sama sekali jadi tidak ada kulkas untuk bisa menyimpan makanan.

Setelah bahan makanannya habis, dia akan kembali ke kota untuk membeli bahan makanan lagi dan mengambil obat-obatan. Nah pada saat inilah kami bisa bertemu lagi. Kota Bintuni tidak bisa disebut sebagai kota. Di sana hanya memiliki 1 jalan besar, panjang dari KM 0 sampai ke atas gunung, tidak ada lampu merah karena tidak dibutuhkan juga, komplek perumahan saya bisa dibilang lebih besar daripada Kota Bintuni. Bisa dibayangkan, tidak banyak tempat menarik yang bisa dijadikan tempat kencan. Biasanya dia mengajak saya makan mi ayam atau minum es kelapa atau makan sop konro atau belanja makanan di toko kelontong. 

Sampai suatu hari dia mengajak saya ke warung es pisang ijo. Di sanalah dia bertanya apakah saya mau jadi pacarnya, dia ingin mengenal saya lebih jauh. Pasti tidak romantis buat sebagian orang, warung pisang ijo itu hanya warung kecil sederhana, es pisang ijonya juga hanya 7 ribu rupiah. Tapi bagi saya ini justru romantis sekali, ada kejujuran dalam kesederhanaan. Saya tidak langsung menjawab saat itu juga, memang saya menyukai dia tetapi bagi saya dia masih orang yang benar-benar asing.

Kami bahkan tidak punya 1 pun mutual friend di Facebook. Saya tidak mau menjawab “ya” hanya karena tidak ada pilihan lain di sana, saya tidak mau dia jadi kambing yang makan sirih pinang buat saya. Jadi saya masih menunda jawaban saya. Tetapi semakin hari saya makin melihat hal-hal positif dalam karakternya, jadi saya rasa saya mau memberi kita kesempatan untuk lebih saling mengenal. Kira-kira 1 bulan kemudian saya memberikan jawaban ya kepadanya. 

Hubungan pacaran kita di Papua tidak seperti layaknya pasangan-pasangan lain di kota besar. Seperti yang saya ceritakan, saat dia bertugas di pedalaman, otomatis komunikasi kami terputus.

Pernah suatu kali, tiba-tiba ada bidan dari puskesmas Idoor datang ke mess dokter di kota tempat saya tinggal. Ternyata dia menyampaikan surat dari pacar saya. Ini bisa jadi romantis, bisa jadi ironis. Saya merasa seperti melewati mesin waktu, kembali ke tahun 50-an, saat orang-orang belum tahu apa itu telepon, apalagi handphone.

Saat dia sedang ada di kota, kencan kami hanya di warung soto atau nonton film menggunakan laptop, duduk di sofa ruang tamu mess. Kencan kami yang paling mewah adalah di restoran milik bupati setempat yang menyajikan seafood atau western food. Restoran itu biasanya digunakan oleh bupati untuk menjamu tamu-tamu beliau atau orang-orang dari perusahaan minyak setempat. 

Saya tidak bisa ngambek karena dia tidak mengajak saya nonton bioskop karena memang di sana tidak ada bioskop. Dia juga tidak bisa membelikan saya hadiah-hadiah yang lucu-lucu karena memang tidak ada yang jual di sana. Biaya pengiriman dari jawa ke sana kurang lebih 70 ribu rupiah per kilonya. Lumayan mahal kalau sekedar untuk mengirimkan boneka atau hadiah-hadiah lainnya. Jadi kami tidak menyertakan hal-hal semacam itu dalam hubungan kami, kami langsung pada inti tujuan dari pacaran yaitu mengadakan waktu yang berkualitas untuk lebih mengenal satu sama lain.

Tiga tahun kemudian, setelah melewati satu-dua perantauan lagi, kami akhirnya menikah. Dia bukan orang Papua, bukan juga kambing yang makan sirih pinang. Dia orang Bekasi, rekan saya sesama dokter dan perantau juga. Semua yang dikhawatirkan orang nyatanya tidak terjadi. Tuhan mempertemukan kami di tempat yang paling tidak kami duga.

Jadi buat sahabat-sahabat Hipwee yang masih takut sulit dapat jodoh, ingatlah kisah saya. Optimislah, jodoh bisa kalian temukan di mana saja. Semoga berhasil!

Tulisan ini pun dipersembahkan untuk merayakan 1 tahun pernikahan kami, 17 Januari 2017 hari ini 🙂

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Dokter. Perantau. Peduli Perempuan.

128 Comments

  1. super se x dok.
    jdi inspirasi.
    trimakasih Dok

  2. Amazing dok,
    Langgeng sampe oma opa,
    Happy anniversary.GB

  3. Ry Fitri berkata:

    Inpiratif, Dok. Saya juga perantau. Menikah dengan teman sekantor yang juga perantau. Dan tinggal mengabdi di daerah pelosok. ��

  4. Isaura Puy berkata:

    Cukup tersentuh dgn tulisanny, dok! Lewat tulisan ini kiranya bisa mengikis stigma “org luar” ttg Papua yg masih primitif, dsb. Tuhan memberkati tugas dan pelayanan dokter dan suami.
    Saya orang Papua, tp di Jayapura �

  5. Tira Hardaning berkata:

    Wah inspiratif sekali Dok. Oiya, happy anniversary ya untuk kamu dan suami, semoga bahagia selalu 🙂

  6. Terima kasih Isaura Puy..betul sekali, masih banyak masyarakat yang perlu dibukakan matanya tentang kondisi terbaru papua. Sayangnya banyak yg merasa biaya ke papua terlalu mahal jadi mereka enggan untuk mampir melihat-lihat papua.

  7. Wah senang sekali bisa berkenalan dengan sesama rekan seperjuangan..hehehe..Salam damai sejahtera buat mbak Ry Fitri dan keluarga.

  8. Trimakasih atas doanya mbak Tira Hardaning, terimakasih juga karena sudah mempublish tulisan saya supaya bisa jadi inspirasi banyak orang..

  9. Amin,,terimakasih doanya mbak Emy Tanawani..Tuhan berkati mbak sekeluarga jg..

CLOSE