Ketika Manusia Begitu Jumawa Dalam Beragama

Saat tulisan ini kau baca. Posisikanlah dirimu dalam sebuah forum di alam terbuka, yang anginnya begitu tenang. Dari ketinggian 2600 mdpl dan di saat langit tengah berpadu sendu dengan mentari menjelang senja. Ini tempat favoritku, kawasan puncak Marapi. Dan mari nikmati seduhan coklat panas dari hasil perkebunan Mak Malin yang sudah lama tidak dipanen.

Sudah? Mari ikuti aku bercerita.

Baik, kuceritakan pengalamanku saat mengamati kehidupan yang indah di sebuah perkampungan di bawah sana. Tepatnya, 20 KM dari tempat kita berkumpul saat ini. Kukisahkan, ada seorang pemuda yang dikenal sangat taat beribadah. Ia selalu menunggu waktu Shalat di dalam masjid, dan terkadang datang jauh lebih awal untuk membuka pintu masjid.

Suatu ketika, saat menjelang maghrib. Seperti biasa ia pergi lebih awal dan kebetulan saat itu menempuh jalan lain dari yang biasa ia tempuh. Kala itu, suasana petang cukup cerah dan angin bertiup tenang. Sangat menyenangkan untuk menikmatinya lebih lama.

Ketika sampai di sebuah persimpangan, ia melewati sebuah kedai yang saat itu ada beberapa orang yang berkumpul, ngobrol-ngobrol, dan sepertinya adalah para petani sengaja istirahat sejenak menjelang malam,melepas penat setelah lelah mengolah sawah dan ladang. Saat itu, sang pemuda tetap berjalan tanpa sedikitpun menganggap orang-orang yang ada di kedai tersebut. Meskipun, semua yang ada di sana adalah masyarakat yang satu kampung dengannya. Tiada menyapa dan belalu begitu saja.

Si pemuda sebenarnya bukan tidak menghiraukan sekumpulan orang yang di kedai itu. Akan tetapi, terbesit di dalam hatinya bahwa yang berkumpul di sana buang-buang waktu saja dan tidak menghargai waktu Shalat yang sebentar lagi akan datang. Bukahkah lebih baik jika segera pulang dan berkemas. Kemudian pergi ke mesjid seperti dirinya.


“Alangkah meruginya hidup, saat Tuhan memberikan nikmat waktu yang begitu berharga, malah dimanfaatkan dengan perbualan sia-sia yang sama sekali tak mendatangkan hasil.” Kira-kira begitulah gumam sang pemuda di dalam hatinya.


Nah, Setelah sang pemuda itu berlalu. Ternyata, sang pemuda saat itu tengah menjadi bahan pembicaraan di kedai itu. Orang-orang itu yang tampaknya selama ini acuh dan sebagian bersikap manis serta memuji pemuda itu, rupanya menilai kehadiran pemuda tersebut sebagai sosok yang angkuh dan sok alim.


“Ciih, baru sebatas rajin shalat di masjid saja. Ia sudah berlagak macam ulama besar yang zuhud. Enggan menyapa kita yang berkumpul di kedai ini. Bagaimana pula orang akan mengikuti ajaran agama yang benar jika tingkah orang yang katanya shaleh seperti itu? “ seseorang mengeluarkan umpatannya kepada pemuda.

“Benar, ia bersikap sudah seperti orang spesial di mata Tuhan saja. Padahal sejatinya tidak ada yang tahu bagaimana posisi setiap kita di mata Tuhan. “ seorang lagi menimpali umpatan tersebut. Dan pembicaraan yang “dihiasi” umpatan pun semakin mengalir hingga adzan Isya hampir berkumandang. Miris, karena hanya sebuah perbualan tidak penting, mereka rela melewatkan waktu Magrib.


Ceritaku tadi, mungkin di antara teman semua pernah menyaksikannya sendiri atau bahkan pernah ikut terlibat dalam kisah yang serupa, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Sungguh memilukan , jika kehidupan beragama malah melahirkan tatanan masyarakat seperti yang aku ceritakan tadi. Agama yang sejatinya menjadikan seseorang lebih cerdas, bijak, bersahaja serta rendah hati. Malah menjadikan manusia semakin kerdil, terbelakang, saling merasa benar dan bahkan terjangkit sifat yang paling dilarang oleh agama, yaitu Jumawa.

Kita lihat sang pemuda. Ia sebagai ahli ibadah. Sepatutnya, ia tidak merasa “lebih” dari orang-orang yang tidak sama dengannya. Seharusnya ia bisa bersahabat dan menunjukkan sikap yang penuh teladan. Sehingga, orang-orang yang melihatnya pun akan merasa salut, segan, dan bahkan bisa menggerakan hati mereka untuk mengikuti rutinitas pemuda itu.

Namun, jika ia tetap bersikap demikian, menganggap semua yang dilakukan orang di kedai itu adalah bentuk kesia-siaan dan tetap enggan bermasyarakat. Sampai kapanpun ia akan tetap menjadi ahli ibadah jumawa nan sombong. Yang merasa sudah meraih Ridho Illahi, namun sejatinya ia hanya mengumpulkan laknat dari Sang Pencipta. Sia-sia.

Begitu juga dengan sekumpulan orang di kedai itu. Sibuk menggunjingkan orang dengan obrolan-obrolan yang seolah menunjukkan ia lebih tahu beragama yang benar itu seperti apa. Maka mereka pun akan berada dalam kerugiaan tidak terbilang. Merasa lebih tahu, lebih manusiawi, lebih “bermasyarakat” dan lebih benar. Membuat mereka pun menjadi jumawa, merasa paling benar, dan lebih parahnya. Mengkerdilkan semua ahli ibadah dengan memberikan penilaian layaknya yang mereka nilaikan kepada pemuda tersebut.

Teman, coba kita lihat lagi apa yang terjadi saat ini. Berangkat dari apa yang aku ceritakan tadi. Banyak sekali perkara tersebut berlaku di tengah-tengah kita. Ada yang ahli ibadah, ghirah keagamaanya kuat, pembelaannya terhadap agama tinggi dan lantang dalam menyuarakan kebenaran. Namun, begitu mudah dalam memaki serta menghujat siapapun yang tidak sesuai dengan mereka. Bahkan bagi mereka yang beragama, dan memperjuangkan agama dengan cara yang lebih santun, cerdas, dan bijaksana.

Di samping itu, ada juga kelompok yang sibuk mengomentari orang-orang taat beragama. Memandang agama tidaklah lebih penting dari aspek kemanusiaan. Kemudian mengkerdilkan orang-orang shaleh yang beragama dengan benar. Dalih mereka apa? Ya itu tadi, kemanusiaan dan keadilan sosial. Dan terkadang, mereka juga merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk “beragama” yang benar. Padahal, jika beragama dengan benar. Maka kemanusian dan keadilan akan semakin kokoh.

Dengan demikian, sangatlah memilukan rasanya jika kita terus larut dalam kejumawaan saat beragama. Kita beragama yang tujuannya adalah untuk meraih Ridho Tuhan, menentramkan diri, serta menentramkan kehidupan sosial kita. Semestinya harus bisa menjauhkan diri dari kejumawaan yang sejatinya akan menyuburkan kesombongan. Bukankah hal tersebut dilarang oleh agama?


Baiklah, aku rasa cukup perbualan petang kita saat ini. Nikmatilah sejenak sang surya terbenam di antara Singgalang dan tandikek. Dan ada sekumpulan awan yang kulihat sudah berwana jingga. Alamak, itu lautan awan yang menawan. Semoga kita semakin rendah hati, dan bisa memaknai hidup dengan benar.


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini