Pindah ke Mars

Baru saja aku dan dia tiba di mall baru kota ini, "wajah modern" para warga untuk menunjukkan sudah seberapa maju mereka. Atau lebih tepat, sudah seberapa tingkat kelas mereka. Bau dari cat masih terasa kuat mengikat partikel materi dinding ringkih. Anak kecil terlihat mengikuti langkah sang bunda yang memburu promo-promo menggiurkan. Juga, hiburan berupa kuis maupun penampilan dari band atau penyanyi terkenal untuk sekedar pengisi kekosongan, awal dari kekosongan yang tertunda.

Seluruh warga hari ini tumpah ruah memenuhi setiap sudut dari bentuk mall ini. Sekedar untuk memperkenalkan pasangan kepada khalayak umum, sambil mencari lapak untuk menjajal ketenaran dalam layar, ya kegiatan dalam rangka menunjukkan keeksistensian diri. Mencari hiburan penat dari hari yang penat pula. Kalau saja bukan permintaannya yang memohon, pasti ragaku tidak sudi untuk berada di sini.

“Kamu dari tadi diam saja?” Dia membelai rambut panjangku yang terurai.

Sedari tadi membisu, hanya senyum yang mengukir di wajahnya. Terkadang badannya bergoyang mengikuti irama dari lagu, kami sedang menikmati hiburan dari band yang tampil. Sudah empat lagu dan aku masih saja tidak bisa menikmati apa pun yang disediakan bangunan raksasa ini. Semua terasa, hampa.

“Aku tidak bisa menikmati suasana seperti ini, kamu tau sendiri. Aku lelah.” Aku menatapnya, sumpah serapah.

Ingin sekali aku maki orang ini, dia yang bertanya, dia pula yang tidak perduli! Matanya kini berada di dalam layar enam inci, senyum terukir pada wajahnya. Untung manis senyumnya. Selalu ada kata maaf untuk wanita cantik. Aku mengalihkan pandanganku ke arah bawah. Menonton penampilan band dari lantai atas, cukup memberikan ruang untuk mataku menjelajah. Penonton band tampak duduk tenang sambil terus bernyanyi mengikuti lirik lagu sambil sesekali menepuk tangan tanda kepuasan.

Aku mendengarkan lirik lagu band itu dengan seksama. Tentang…pohon…rumah…kita..dan semua yang aku ketahui itu mengenai alam. Aku tersenyum kecut. Aku membalikkan badanku dan melangkahkan kakiku, aku muak. Dia mengikutiku dari belakang.

“Kenapa? Bosan?” Dia merangkulku dari belakang. Aku tersenyum, akhirnya benda mati penuh orang-orang hidup itu dilupakannya sejenak.

“Ya, jelaslah. Kamu suka band itu?” Aku menoleh ke arah wajahnya yang begitu dekat.

Dia berfikir sejenak dan tersenyum. “Lumayan, lagunya menenangkan dan cukup menghibur. Lagi tenar lo lagu-lagu mereka”

“Cih, bahas tenar sekarang. Kamu hafal lirik-lirik lagu mereka?” Sengaja kutinggikan sedikit nada bicaraku.

“Engga semua, cuma beberapa saja. Aku menikmati nada-nadanya. Buat aku nyaman.”

“Apa tidak ada kata-kata dari liriknya yang menyinggungmu?” Aku berhenti melangkah. Dia melepas rangkulan tangannya dariku. Terdiam sambil mencari tempat untuk menyandarkan tubuhnya. Dia terlihat berfikir keras.

“Maksudmu?” Wajah kebingungannya buatku takluk, aku tertawa.

“Ya, lirik mereka tentang alam, ada tentang keindahan alam pada masa lalu atau tentang rusaknya bumi, apa lirik lagu itu tidak menyinggungmu?” Dia rasanya baru dapat mengerti maksudku.

“Ironis ya? Aku menikmati lagu mereka namun lupa pesan apa yang mereka sampaikan. Haha, di mana aku ini.”

Dia menepuk dahinya sendiri. Aku berdiri di sebelah dia sambil mengelus dahinya.

“Bagiku, iya. Sangat malahan. Sedari tadi aku melihat mereka yang menikmati penampilan band itu penuh kepuasan. Kepuasan atas ketenaran dari sang idola, itu tidak salah. Namun kalau aku jadi bagian dari mereka, aku tidak akan berdiri di sini. Teriris hatiku.”

“Lagian kenapa mereka mau tampil di sini? Tidak konsisten, membawa pesan untuk tidak merusak alam, tapi malah tampil di tempat alam yang sudah dirusak. Non sense!” Dia kesal sendiri.

“Lalu, apa bedanya dengan kamu, sayang? Di mana letak kekonsistenan dirimu yang menyukai band tersebut, nyaman dengan nada namun lupa dengan pesan yang mereka bawa, hm?” Bibir dia mengerut, aku mencubit pipi kirinya dengan tangan kananku.

“Kamu hanya menilai apa yang terjadi tanpa mempertimbangkan alasan mereka. Semua manusia pasti punya alasan untuk itu, termasuk band mereka yang tampil di sini. Mungkin ini merupakan strategi mereka.Tidak mudah untuk bisa berbicara dan didengar, tidak mudah mempengaruhi orang lain untuk bertindak. Ketika kamu bicara tentang alam, kamu juga harus bicara dengan manusia sebagai makhluk sosial.”

“Atau bisa saja mereka memakai kedok hijau untuk tenar kan? Bisa-bisanya manusia anti sosial kayak kamu bicara tentang sosial.” Dia mengacak-acak rambutku. Aku mengajaknya kembali berjalan mengelilingi mall ini.

“Ih, lagi-lagi ya kamu! Kurangi sikap penilaian kilatmu. Siapa yang bisa menggolongkan manusia anti sosial atau tidak? Aku hanya menghindari diri, dari hal yang tidak aku mau. Berbondong-bondong demi pemikiran kebersamaan dan dengan percaya diri meyakini bahwa pemikiran itu benar. Tapi ketika ditelaah lebih jauh, bibirnya terkatup rapat. Cih, maaf aku tidak siap untuk itu. Mending pindah ke Mars deh!” Dia tertawa penuh arti.

“Iya, mereka semua semakin lama terlihat sama, entah terhasut atau memang bodoh, berdiri dengan tangguh untuk sebuah alasan yang masih ragu kebenarannya. Harusnya kita pindah ke Mars dari dulu. Siapa juga yang mau terima kita disini?” Aku tersenyum.

Nyatanya diriku dan dia juga tidak bisa terima keberadaannya disini. Sebagai makhluk sosial, hubunganku dan dia masih belum bisa diterima oleh masyarakat. Masih tabu, katanya. Nyatanya hubungan antar manusia itu bukan perkara soal cinta dua insan saja, perihal cintaku itu urusanku tapi perihal dunia, ini menyulitkan. Bahkan untuk menjadi diriku diantara masyarakat rasanya mereka yang tabu, bagiku.

Ini gurau paling gurih yang keluar dari bibirnya. “Ya, kita secepatnya harus pindah ke mars, sayangku”.

Aku dan dia saling memandang. Tidak, kami tidak berciuman. Banyak anak kecil.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis