Problematika Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang (cybercrime).

Advertisement

Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyatakan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat di dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,000 (satu miliar rupiah)". Pasal ini menuai protes dari banyak kalangan untuk dihapus, karena pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan “pasal karet” yang berbahaya, terlebih lagi jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tidak paham soal dunia maya. Selain itu, pasal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat orang-orang demi membungkam kritik.

Menkominfo Rudiantara menyebut sudah ada 74 orang yang jadi korban pasal tersebut, namun pria yang biasa dipanggil Chief RA itu mengatakan bukan pasalnya yang salah akan tetapi penerapannya. Beberapa kasus yang terkait dengan pasal ini, diantaranya kasus Prita Mulyasari, kasus mahasiswa Pascasarjana UGM bernama Flo yang dianggap menghina warga Yogyakarta, kasus Wisni Yetty yang divonis 5 bulan penjara dan denda Rp 100 juta karena dituduh melakukan penghinaan saat chatting di Facebook, kasus Ketua Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Ronny Maryanto di Semarang, dan sejumlah kasus lainnya. Sejumlah kasus yang melibatkan penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dianggap tidak tepat dan berlebihan. Kemekominfo dan Komisi I pun sepakat untuk merevisi pasal ini, agar penerapannya lebih tepat sasaran. Revisi UU ITE pun akhirnya masuk Prolegnas Prioritas DPR. Namun memang hingga sekarang pembahasannya belum dimulai.

Advertisement

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menyampaikan naskah revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Selasa (22/12/2015) lalu. Revisi tersebut disampaikan melalui surat bernomor R-79/Pres/12/2015 bertanggal 21 Desember 2015. Dalam surat ini tercantum juga titah presiden agar Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mewakili pemerintah dalam pembahasan revisi dengan DPR. Melalui keterangan resmi di situs Kemenkominfo, Rabu (23/12/2015) Menkominfo Rudiantara mengatakan bahwa muatan utama revisi UU ini adalah pengurangan ancaman pidana. Semula ancamannya mencapai 6 tahun, tetapi kini dikurangi menjadi 4 tahun saja. Efek perubahan ini adalah orang yang diancam UU tersebut tidak perlu ditahan. Selain itu, revisi juga memperkuat posisi pasal 27 ayat (3) sebagai delik aduan, sehingga korban pencemaran nama baik mesti mengajukan laporan agar dapat diproses oleh penyidik.

Alasan dilakukannya revisi pada pasal ini dikarenakan dengan adanya pasal ini dikhawatirkan pasal ini akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi. Menurut Menkominfo Rudiantara alasan mengapa pasal ini tidak dihapus dan hanya dilakukan revisi karena jika pasal tersebut dihilangkan, akan mengakibatkan efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang. Pasal tersebut sebenarnya memiliki peran besar dalam melindungi transaksi elektronik khususnya di dunia maya. Namun, hanya saja dalam penerapannya sering terjadi kesalahan. Dengan direvisinya pasal ini diharapkan daya kritis media online akan menguat, terciptanya kebebasan berpendapat, dan tidak adanya kriminalisasi dengan memanfaatkan pasal ini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE