Sebuah Kisah di Kota Metropolitan

Aku akan menyusulmu. Namaku Ayubi orang Betawi asli. Aku pernah mati saat gema takbir berkumandang. Rembulan yang tipis ditemani bintang yang mulai hilang lantaran sinar mentari kala embun mulai menggumpal dalam balutan tubuhku disudut kota kecil. Di antara suara-suara burung cemara pagi cerah juga sunrise terpampang gedung-gedung Kota Metropolitan, awan-awan menggumpal di udara beberapa pohon yang masih tumbuh daunnya mendayu-dayu.

Aku melihat semua itu di Kota Metropolitan yang mulai renggang tak ada kemacetan, tak ada polusi, tak ada kegaduhan juga tidak ada kamu yang aku rindukan. Angin jua udara pagi begitu sejuk untuk memulai rutinitas sehari-hari. Sejak kepulanganku 2 hari lalu hujan tak ku dengar lagi rintik-rintiknya. Padahal kakaku mengatakan kota kecilku ini belakangan hari sebelum aku pulang selalu hujan.


Aku memang suka sekali dengan hujan karenanya aku bisa mengenang seseorang yang pernah dalam hatiku. Apalagi hujan di bulan ini, bisa membuatku tidur nyenyak pada siang hari saat-saat perutku mulai lapar menahan puasa.


Nama kotaku Tangerang di perbatasan kota Jakarta. Tapi aku selalu mengatakan aku orang Jakarta walaupun aku terlahir di kota Tangerang. Karna aku orang Betawi asli dari kakek dan nenek hingga ayahku dan ibu asliku, walaupun kini ibu tiriku dari Sunda. Kotaku kini sudah padat sekali, banyak yang berbeda sekali dengan waktu aku kecil. Pohon-pohon masih begitu banyak, yang lebih ku kenang pohon mangga depan rumahku yang besar dan selalu berbuah tiap musimnya karna keadaannya membuat aku nyaman dalam keteduhan.

Kini aku benci sekali oleh kotaku yang tak senyaman dulu. Kotaku kini begitu seram, banyak kekerasan dari mulai bom bunuh diri, begal, hingga gangster yang berkeliaran meresahkan warga. Tak terasa waktu begitu cepat berputar aku sudah berkepala dua saja, padahal aku baru saja seperti membuka mata, sejak 3 tahun silam mengalami kecelakaan oleh seseorang yang aku sayangi.

Aku seperti mati suri, aku koma hingga 3 bulan lebih hingga pada akhirnya aku masih bisa bertahan hidup. Ayahku yang menceritakan itu semua, namun na'as seorang yang aku cintai meninggal saat dilarikan kerumah sakit, membuat aku sempat down, merasa berdosa, aku sempat mengklaim akulah dalang dari meninggalnya, hingga kini kota metropolitan menjadi kenangan terakhir saat-saat aku bersamanya dan Kota Metropolitan padat ini pula yang menjadi penyebab kecelakaan. Karna kemacetannya dan supir truk yang mengalami rem blong hingga menabrak kami dan orang-orang yang tidak aku kenal. Hingga kini aku hanya bisa meratapi rindu olehnya yang belum tergantikan pada lubuk hati yang terdalam.

Namanya Lina, sudah hampir 3 tahun kami pacaran hingga maut kini memisahkan. Di atas nisannya aku selalu bercerita setiap kali aku pulang ke kampung halaman. Dari mulai permasalahan perkuliahanku juga tentang rindu. Lina sudah ke 3 kalinya lebaran yang sedikit lagi ini tanpa sosok dirimu, aku rindu, aku menangis saat melihat takbir-takbir yang menyebutkan namaNya teringat sosok dirimu".

Hujan akhirnya meneteskan air matanya saat senja mulai tiba dari ufuk barat, sedangkan aku masih saja mengais rindu tak bertepi, tak bermuara juga tak ada jalan pasti sedangkan orang-orang Betawi pada sibuk. Hingga waktu 3 tahun lalu terulang kembali pada gema takbir dan air hujan, aku mati tanpa ada yang menyadari.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini