Sebuah Salam Perpisahan dan Kerinduan dari Tepi Pantai

Sejak dulu, aku selalu menyukai pantai. Jika ditanya ingin pergi kemana, hampir dipastikan aku selalu menjawab, "Ke pantai!" Ya, begitulah, pantai selalu menjadi destinasi favoritku. Tidak peduli kapan, di mana, dan dengan siapa, aku selalu senang jika mendengar kata pantai.

Kesukaan ini rupanya bukan tanpa alasan. Bagiku, pantai tidak hanya untuk mencari kesenangan saja, melainkan juga tempat paling tepat untuk mencurahkan isi hati dan pikirannya kepada ombak dan batu karang. Pantai kerap menjadi tempat terbaik kala dirinya ingin menyendiri, merenungi kejadian-kejadian baik dan buruk yang baru saja dialaminya.

Hari itu, tanpa rencana, dia mengajakku berjalan-jalan ke pantai. Tak jelas pantai mana yang akan mereka tuju. "Pokoknya ke pantai," begitu ujar dia.

Aku pun hanya mengangguk. Dalam hati merasa senang, bukan hanya karena pantai saja, melainkan juga karena bersama dia.

"Rasanya sudah lama tidak bersama dia," gumamnya. Dalam hati.

Perjalanan selama dua jam terasa seperti dua puluh menit saja. Obrolan-obrolan yang sering dibalas dengan ucapan "Apa? Nggak denger," "Oh gitu ya? Terus?" "Hmm?" pun berakhir. Digantikan oleh tatapan takjub melihat pemandangan pantai yang elok namun tampak sunyi.

Refleks, aku dan dia segera melepas alas kaki. Lantas, berlari menuju tepi pantai, berdiri di atas pasir putih bak mutiara alami. Menunggu debur ombak bersahut-sahutan yang tak lama kemudian membasuh kaki keduanya, dan hanya menyisakan butir-butir pasir yang terselip di antara jemari.

Puas bermain air, aku dan dia pun duduk di sebuah batu karang. Cukup landai dan lebar jika diduduki berdua. Anehnya, jika tadi terdengar gelak tawa demi sebuah usaha melupakan sejenak beratnya kehidupan, namun kini justru kebisuan yang hadir di antara keduanya. Sepertinya, aku dan dia sama-sama sungkan untuk memecah kebisuan ini.

Entah sudah berapa lama aku dan dia terdiam hingga sinar matahari terasa membakar kulit. Ombak-ombak pun mulai malas untuk mendekati tepi pantai. Yang terlihat kini hanyalah bebatuan karang dengan hiasan lumut hijau di atasnya.

Tiba-tiba dia berbalik ke arahku. Dengan senyumnya yang khas; yang selalu dikagumi oleh aku; dia berkata, "Terima kasih".

Aku, terkejut dengan sikapnya, bertanya seperti orang kebingungan, "Terima kasih? Untuk apa?"

Dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya, dia menjawab, "Terima kasih karena kamu, aku merasa sangat bahagia berada di sini".

Sekali lagi, aku, hanya terdiam. Tak mampu berkata-kata.

Meskipun demikian, terlihat jelas ada sebuah senyum yang terpancar dari wajahnya yang belang, terkena sinar matahari. Senyuman, yang menurutku, adalah senyuman tulus, hanya diberikan bagi orang-orang istimewa di hatinya. Termasuk dia.

Tanpa sadar, aku berkata, "Terima kasih juga ya".

Dan seperti ingin membalas, dia balik bertanya, "Terima kasih? Untuk apa?"

"Karena kamu, aku merasa sangat bahagia berada di sini," jawabku sembari memandangi kedua bola mata hitam kecoklatan yang sedari tadi memandanginya.

Terkejut, Dia pun memandangi mataku lekat-lekat. Ada sesuatu di sana, bisik sebuah suara dalam hatinya.

Aku yang dipandangi seperti itu jadi merasa malu, lantas memalingkan mukanya ke arah laut. Ada sesuatu yang membuat detak jantungnya tak beraturan.

"Aku pasti akan rindu dengan pemandangan ini," ujarnya sembari memalingkan wajahnya, memandang lautan biru di depannya.

"Mengapa?" tanyaku, setengah heran. Kini, kedua bola matanya tertuju pada ombak yang saling berkejaran.

"Karena sebentar lagi, mungkin, aku tidak akan pernah menikmatinya lagi, bersamamu," ungkapnya dengan nada pilu.

Aku terdiam. Ya Tuhan, apa lagi ini? Runtuk aku dalam hati.

"Dengar, mungkin ini permintaan egois, tapi aku ingin kamu melakukannya," lanjutnya.

Sontak, aku pun menoleh ke arahnya. Dengan dahi berkerut, aku bertanya, "Jika ada yang ingin kamu sampaikan, sampaikan saja".

Dijawab seperti itu, dia hanya bisa termangu.

"Ada apa? Mengapa kamu bersikap aneh seperti ini?" desakku. Ada nada kesal di dalam tuturannya.

Dia memalingkan wajahnya lagi, ke hadapanku. Dengan senyuman khasnya, yang entah sudah berapa lama dikagumi olehku, dia berkata, "Berjanjilah agar kamu selalu mengenangku di sini," pintanya. Kali ini terdengar tegas. "Tapi aku mohon, jangan sekali-kali kamu ke sini sendirian ya".

Lagi-lagi, aku hanya bisa terdiam. Otaknya masih sibuk memikirkan jawaban-jawaban apa yang mesti ia utarakan. Sementara itu, detak jantungnya berangsur normal, namun mengapa hatinya masih tidak tenang?

"Apa maksud kamu?"

Sayang, hanya itu yang bisa ia ucapkan.

Dengan nada penuh sayang, dia berkata, "Berjanjilah. Berjanjilah kamu akan selalu mengenangku di sini".

Sialan, umpatku. Apa sih maksudnya?

Tak terasa, waktu telah beranjak sore. Layaknya seorang bapak dengan anaknya, dia berkata, "Sudah sore. Yuk, kita pulang".

Dengan berat hati aku mengiyakan ajakan itu. Aku masih ingin di sini bersamamu!, berontak hatinya.

Di sepanjang perjalanan pulang, aku dan dia hanya membisu. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Aku yang terus-terusan senewen dengan sikapnya, sedangkan dia memilih untuk menikmati kebisuan ini. Bagaimanapun juga, ini terakhir kalinya aku bisa bersama dengannya, batin dia.

"Kenapa kamu melamun? Jauh-jauh ke sini kok melamun?" tegurnya sambil menepuk pundakku.

Ya Tuhan, aku lupa!, jeritku. Dalam hati, tentu saja.

"Eh iya, nggak apa-apa kok". Dasar perempuan, tidak pernah bosan berkilah baik-baik saja.

"Kamu rindu dengannya?" tanyanya lagi.

"Iya".

Kedua insan itu terdiam. Tak jauh dari tempatnya duduk, ombak masih betah berkejar-kejaran, ditemani oleh hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah keduanya. Tak lama, keheningan itu dipecahkan oleh suaranya.

"Kamu tahu? Setiap hempasan ombak ke pantai itu laksana rindu yang berkepanjangan. Walau tak semua hempasannya sampai ke pasir di tepian, tapi terkadang mereka merelakan diri menerjang tebing," ujarnya sambil meraih tanganku, berusaha untuk mendekapnya.

"Aku tidak mengerti," rengekku, seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan, manja. Namun, perlahan ia menyenderkan kepalanya di atas bahunya. Nyaman sekali, begitu pikirnya.

"Biarlah waktu yang akan menjelaskan. Untuk saat ini, aku hanya ingin bersamamu," jawabnya, merangkul bahuku.

Di atas pasir putih, keduanya pun saling berpelukan, menunggu datangnya lembayung senja di ufuk barat.

Bagaimana selanjutnya?

Sekali lagi, biarlah waktu yang menjawab.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

​​Blogger dan Podcaster di Equality by Pijak Podcast