Sehelai Kata di Antara Jarak

Kamu, pertama kali aku melihatmu adalah saat engkau datang ke rumahku. Di situ pertama kali aku kenal denganmu. Kau datang ke rumah dan bertemu dengan ayahku. Yang kutahu saat itu adalah kau bertemu dengan ayahku, untuk bersilaturahmi. Dan bukan untuk bertemu denganku sebagai anaknya.

Pertama kali berkenalan dan bersalaman denganmu sudah berdegup jantungku. Aku mencoba untuk mengobrol denganmu di sela-sela pembicaanmu dengan ayahku. Aku bertanya padamu apa pekerjaanmu, apa jurusan kuliahmu, dan tahun berapa kelulusanmu. Sedikit kaget campur bahagia rasanya mendengar jawabmu. Menghetahui bahwa aku dan kau hampir sama latar belakang pendidikan kita. Rasanya seperti mimpi saja, pertama kali bertemu dengan orang lain dan sudah merasa cocok. Aku terus bertanya padamu tentang kehidupan pendidikan dan lingkungan pekerjaanmu, dan kau terus menjawab sambil tersenyum, di sela-sela kita berbicara, ayah dan ibuku ikut bertanya padamu. Dan jawaban-jawaban yang kau berikan membuatku kagum padamu.

Sekian lama bicara denganmu, aku sadar bahwa tujuanmu kerumah adalah untuk bertemu dengan ayahku. Sebagai penyambung tali silaturahmi ayahku dengan ayahmu. Ya, di kemudian hari baru aku tahu bahwa ayah kita berteman baik.

Aku pun undur diri dari pembicaraan, memberi ruang untukmu dan ayahku berbicara banyak. Kalian saling bercerita tentang kampung kelahiran dalam bahasa ibu kalian. Ya, aku baru tahu di situ bahwa kau dilahirkan di tanah yang sama dengan ayahku dilahirkan. Terkadang kalian hening, dan memulai lagi pembicaraan. Aku mengerti, canggung pasti rasanya berbicara dengan orang tua yang jarang kita temui. Terlebih lagi dia adalah teman dari orang tua kita. Aku terus memperhatikanmu diam-diam saat kau mengobrol dengan ayahku. Senang rasa hatiku aku bisa berbicara leluasa dan merasa cocok dengan pria yang dikenalkan ayahku. Selama ini belum ada pria yang dikenalkan ayahku dan aku merasa cocok ataupun aku mengenalkan pria kepada ayahku dan dia merasa cocok. Belum ada sama sekali.

Aku terus memperhatikanmu sambil tersenyum, dan kurasa ibuku menyadarinya. Betapa bahagianya ibuku saat melihatku jatuh cinta lagi setelah sekian lama anak gadisnya patah hati karena pria yang memang sama sekali tidak patut untuk ditangisi.

Waktu terus berlalu dan tibalah saat Ashar. Kau mohon diri untuk sholat di rumahku. Semakin kagum aku padamu, jarang sekali ada pria yang aku kagumi sholat tepat waktu ataupun singgah sholat di sini. “Ternyata orang tua tidak akan sembarang mengenalkan orang.” Fikirku saat itu.

Tapi ternyata waktu berlalu begitu cepat, sudah waktunya kau harus pulang. Rasa kehilangan menyergapku begitu saja, tak ingin rasanya kau cepat-cepat pulang.

“Nanti kalo ada waktu boleh main ke sini lagi ya.” Pamitmu pada ibuku saat mencium tangannya. Terharu aku melihatnya. Rasa kagumku semakin besar padamu.

Namun, satu kesalahan terbesarku saat itu, aku tidak tahu namamu.

Hari-hari terus berganti, aku tetap tidak tahu siapa namamu. Kucoba untuk bertanya pada ibuku karena aku malu rasanya bertanya pada ayahku. Ternyata ibuku pun tidak menghetahui namamu, yang ibuku tahu adalah nama ayahmu. Pupus sekali rasanya aku saat itu. Nama saja aku tidak tahu apalagi media sosialmu. Bagaimana bisa aku mencarinya jika nama saja tidak tahu?

Lalu aku terus menyibukan diri untuk melupakanmu, meskipun tentangmu sering mengisi buku harianku setiap malam. Betapa aku mengagumi dan merindukanmu di malam-malam sepiku.

Hingga pada suatu hari, aku iseng membuka media sosial yang sudah lama sekali aku tidak buka. Tersadar, karena begitu sibuk mengurus sidang kelulusanku kemarin, aku melupakan semuanya sampai dunia maya. Dan begitu aku membuka media sosial, ada permintaan pertemanan dari sesorang yang sudah tidak asing lagi. Itu kamu, yang selalu menyita hati dan fikiranku.

Betapa gembiranya hatiku saat itu, akhirnya aku menemukan cara untuk berkomunikasi denganmu. Tapi yang paling terpenting adalah, aku tahu namamu. Sempat terfikir bagaimana bisa kamu menemukan media sosialku. Lalu aku mengirimkan pesan di media sosialmu. Mulailah komunikasi terjalin di antara kita. Kita bertukar cerita sehari-hari, hingga akhirnya nomor hp.

Bahagia rasanya kau tahu namaku, hingga bisa menemukan akun media sosialku sehingga komunikasi bisa terjalin dengan indahnya. Berkali-kali aku bertanya padamu bagaimana kau bisa tahu dan jawabmu selalu, “intuisi” hingga akupun lelah untuk bertanya lagi.

Dan sampailah kita pada pertemuan kedua, di situ kita bertemu hanya sebentar dan tanpa orang tua. Bahagia rasanya bisa berjalan di sampingmu dan berbicara lepas denganmu. Untuk pertama kalinya kau bercerita tentang kehidupan pribadimu. Tentang keluargamu, yang sebenarnya aku sudah tahu dari ibuku, tetapi aku berusaha menghormatimu dan aku terus mendengarmu bercerita. Sampailah kamu berbicara tentang kehidupan asmaramu. Di mana aku tahu bahwa kau baru saja sembuh dari patah hatimu, ya ketika kau ke rumahku dan kita berkenalan untuk pertama kalinya, saat itu kau baru saja sembuh dari ‘sakitmu’ itu.

Akupun berfikir, apakah ini rencana Tuhan mempertemukan kita? Karena memang detik-detik sebelum mengenalmu adalah detik-detik aku menyembuhkan hatiku dari rasa sakit karena cinta. Apakah ini cerita Tuhan? Mempertemukan dua manusia yang sama-sama baru sembuh dari sakit hati karena cinta, mempertemukan dua manusia yang sama-sama saling mencari jalan hidup? Aku tidak tahu, tapi aku tahu Tuhan selalu memberi cerita sendiri pada setiap orang yang kita temui. Entah itu sebagai sahabat ataupun pacar. Entahlah apa itu maksud Tuhan, tapi dari pertama aku mengenalmu aku merasa kau adalah kado dari Tuhan untukku.

Semakin aku dekat dan mengenalmu, semakin aku merasa cocok denganmu. Ternyata banyak persamaan dalam diri kita. Aku tidak menemukan sedikitpun kelemahanmu, dan aku berharap kau merasakan itu juga padaku. Yang aku temukan selalu kelebihanmu, bagiku kelemahan yang baik adalah kelemahan yang kita buat menjadi kelebihan kita. Dan aku menemukan itu padamu. Semoga kau juga menemukan yang sama dalam diriku.

Dan tibalah saat itu, saat di mana kau harus pindah dan merantau lagi dikarenakan pekerjaanmu. Berat rasanya aku melepasmu ke pulau seberang. Dua hari sebelum kepergianmu, kau menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dan pamit kepada orang tuaku. Sedih sekali melihatmu berpamitan dengan kedua orang tuaku. Rasa sakit mencekam dalam dada. Namun, aku tetap tersenyum padamu.

Setelah bersilaturahmi dengan keluargaku, kau masih menyempatkan diri menemaniku berjalan-jalan. Padahal saat itu kau belum mengepak logistik sama sekali. Belum mempersiapkan pembekalanmu untuk merantau lagi. Kau memaksakan diri untuk menemaniku.

Aku tahu aku egois, bukannya aku menolakmu menemaniku malah aku mengiyakan ajakanmu untuk menemaniku. Aku tahu, rasanya akan sulit sekali melepasmu esok hari. Akan sulit rasanya melihat senyum dan tawamu dari jauh. Maka dari itu aku egois, membiarkanmu menemaniku hingga larut.

Ketika magrib tiba, kita masih sibuk dengan aku yang masih mencari sendal untuk hari wisudaku. Kau memaksaku untuk memilih cepat, karena kau belum melaksanakan sholat maghrib. Terharu rasanya aku, biasanya aku yang memaksa pria yang bersamaku untuk sholat, kini aku dipaksa pria untuk sholat. Semakin besar cintaku padamu, karena akhlakmu.

Aku sempat menyuruhmu untuk menggabungkan saja sholat maghribmu dengan isya, kau melarang dengan keras. Lalu kau bertanya padaku apakah aku sering seperti itu. Kujawab iya bila aku sedang tidak di rumah. Kemudian kau menasehatiku bahwa itu tidak boleh, sempatkanlah kita untuk beribadah di tengah kesibukan atau perjalanan kita dan itu adalah wajib. Tidak boleh menggabungkan bila jarak perjalanan masih sedikit. Maka dari itu aku menuruti saja perintahmu untuk melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu.

Tahukah kamu di sela sholat maghribku aku menangis? Ya aku menangis. Karena sosok ini esok lusa sudah akan meninggalkanku dan hidup merantau di pulau seberang. Aku menangis sosok ini yang biasa menolongku saat tersesat, esok lusa sudah berada di pulau seberang. Aku menangis sosok ini yang selalu menyempatkan diri untuk menemaniku walaupun sepele, esok lusa sudah berada di pulau seberang. Aku menangis sosok ini yang selalu memberikan pengetahuan agamanya ini walaupun dia merasa masih sedikit, esok lusa sudah berada di pulau seberang. Tersadar bahwa kau sedang menungguku selesai sholat, aku mengusap air mataku dan menghampirimu. Kuberikan senyum termanisku padamu dan meminta maaf bahwa aku lama. Kuberikan alasan sholatku memang agak lama, dan buka karena air mata.

Ya dan akhirnya malam pun tiba. Sudah waktunya kita berpisah. Hatiku menjerit tak ingin rasanya aku ditinggal olehmu. Namun bila ku utarakan, itu berarti aku egois. Sudah cukup ke egoisanku hari itu. Aku tak ingin lagi menjadi beban fikiranmu. Kulepas kau dengan senyum, dan berkata semua akan baik-baik saja. Ya, sudah waktunya aku mandiri dan tak lagi merepotkanmu dengan rengakan dan sikap anak kecilku.

Kau sempat memintaku untuk melepasku esok lusa sebelum pergi, kubilang aku tak bisa. Sebenarnya, aku hanya tak bisa melepasmu. Aku tahu, bila aku mengantarmu makan aku akan menangis di hadapanmu dan malah menjadi beban fikiranmu. Aku tak mau itu. Maka kubilang padamu bahwa aku ada urusan yang tak bisa ditinggalkan dan meminta maaf padamu.

Ya, malam itu adalah malam terakhir kau di sini. Tetapi menjadi sebuah awal yang baru untuk kita. Kau berpesan padaku untuk selalu menjaga sholat lima waktuku dan tidak seenaknya menggabungkan sholatku. Aku hanya mengangguk saja karena mulutku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kuberi senyum termanisku sebagai tanda perpisahan dan pengingat bahwa di sini selalu ada aku yang menunggumu. Ya, aku tak mau kamu mengantarku ke rumah karena aku sudah tak bisa lagi menahan tangis. Berat rasanya melihatmu berjalan membelakangiku. Kutatap terus tubuhmu dari belakang sampai tak lagi terlihat.

Dan kini, kita masih terus bersama walau kita tak lagi berdiri di atas tanah yang sama, tetapi kita masih ada di bawah langit yang sama.

Terkadang, aku sangat merindukanmu. Dan rasa rindu itu semakin besar. Tahukah kamu aku menuliskan kata-kata ini dengan air mata berlinang karena begitu merindukanmu?

Tahukah kamu bahwa aku sudah jatuh cinta dari pertama kita berkenalan?

Tahukah kamu bahwa aku sudah cinta sejak pertama melihatmu mengambil hati ayahku?

Tahukah kamu bahwa cinta itu semakin besar ketika mendengar cerita tentangmu dari ibuku?

Tahukah kamu bahwa cinta itu semakin besar setiap kau berusaha menyempatkan waktumu untukku di tengah kesibukanmu?

Tahukah kamu bahwa cinta itu semakin besar setiap kau menasehatiku tentang dunia dan akhirat?

Tahukah kamu bahwa cinta itu semakin besar begitu aku tahu bahwa kau selalu mendahulukan Allah daripada yang lainnya?

Tahukah kamu bahwa cinta itu semakin besar setiap hari, setiap saat?

Bukan karena wajahmu, bukan karena kemapananmu, bukan karena orang tua, tetapi karena akhlakmu. Kau selalu bilang padaku bahwa aku adalah bidadari dunia akhirat yang selalu kau cari.

Semoga cinta ini memang karena Allah dan akan terus karena Allah.

Terima kasih atas semua pengertianmu atas sikapku yang seperti anak kecil ini.

Terima kasih atas semua waktumu di tengah kesibukanmu.

Terima kasih atas semua nasehatmu di kala aku merasa bingung.

Terima kasih atas semua semangatmu di kala aku goyah.

Terima kasih untuk hadirmu di sela jarak yang begitu jauhnya.

Dan, terima kasih untuk segala cintamu yang semakin besar sampai hari ini.

Semoga dan selalu akan seperti ini.

Dan aku percaya, hari itu akan segera tiba. Hari di mana ayahku melepaskanku dan memberikan hak diriku padamu. Semoga saat itu segera tiba dan kita sudah sama-sama jauh lebih baik dari sekarang. Entah itu dalam hal agama ataupun pengembangan diri.

Dan aku percaya, hari itu akan segera tiba. Hari di mana kita saling bergenggaman erat dan melihat dunia dengan mata kita berdua. Tanpa ada lagi jarak di antara kita. Tanpa ada lagi laut dan gunung sebagai pemisah kita berdua.

Dan aku percaya, hari itu akan segera tiba. Hari di mana kau menjemputku untuk ikut masuk kedalam kehidupanmu. Di mana aku menjadi penghias pagi, siang, dan malammu.

Dan aku percaya, hari itu akan segera tiba. Hari di mana kau menjadi imam di setiap lima waktuku, hari di mana kau akan menjadi imam dunia dan akhiratku.

Karena bila Allah sudah berkehendak, sesuatu yang diragukan bisa menjadi pasti.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pipi bolong, penikmat buku, penyuka hujan, pemuja rahasianya kamu.

One Comments

  1. Ariwidi berkata:

    Cie LDR si pipi dekik