Suatu Hari di Tahun 2020

Hari ini seharusnya memori itu tak perlu menyeruak lagi. Tak seharusnya kita bersua kembali. Sunguh sangat susah sekali mengubur tiap memori tentang dirimu. Sungguh sulit melawan arus untuk tidak mengingatkanku pada dirimu lagi.

Sekali lagi kukatakan, tak seharusnya kita bertemu lagi.

Langkah kaki yang kuayunkan sudah terlalu jauh, aku terus berjalan agar tak mengenang setiap inci memori tentangmu lagi. Dan kini sepertinya waktu mengulang segalanya.

Pertemuan denganmu kali ini ternyata tak memudarkan memori tentangmu yang telah ku kubur bersama arus angin empat tahun yang lalu. Kisah yang kita rajut dari sebuah hubungan persahabatan lantas berakhir menyedihkan dengan sebuah perpisahan.

Pertemuanku denganmu sekarang sepertinya sudah takdir Tuhan. Niatku dan langkah kaki yang kuayunkan ke kota ini membawaku kembali bertemu denganmu.

Aku diam mematung, ketika mendapati dirimu menjadi salah satu dosen pengampu di matakuliah yang kuambil pada program pascasarjanaku. Sungguh aku tak mengerti, takdir kadang selucu ini. Aku berusaha menghindar jauh dari kotamu agar tak kita tak bertemu lagi. Malah keputusan langkah kaki yang ku ayunkan ke kota ini membawaku kembali bertemu denganmu tepat dihadapanku.

Aku hanya ingin membawa diriku jauh, sejauh mungkin. Rasanya ingin langkah kaki ku menjauh dari kota ini, meninggalkan impianku.

Hari pertama perkuliahanku di program pascasarjana, kelas yang aku ikuti adalah matakuliah yang dirimu ampu yakni, pengantar ilmu filsafat. Jujur aku sangat menyukai matakuliah ini. Tapi kini apakah aku akan sesuka itu juga ketika tahu kau yang mengambil alih matakuliah tersebut.

Ketika jam perkuliahan berakhir, kau memanggilku. Lagi-lagi memori empat tahun silam tentang dirimu kembali hadir. Tentu saja aku langsung menepisnya dalam pikiranku, karena aku tak ingin berharap banyak. Kau memanggilku untuk meminta nomor ponselku. Alasanmu ingin meminta bantuanku, barangkali saja kau berhalangan hadir tidak bisa mengajar dikelasku. Dan aku bisa memberitahu teman-teman yang ada dikelasku perihal kau berhalangan hadir nanti. Awalnya aku keberatan memberikan nomor ponsel-ku. Namun, aku harus menghormatimu sebagai dosen pengampu matakuliah yang kuambil. Jujur saja aku tak ingin gagal disetiap matakuliah semester gasal ini. Ini adalah semester perdanaku.

Teman terbaikku pernah menasehatiku,

“Jika orang yang kau cinta mengabaikanmu, bahkan mempermainkanmu. Sungguh dia tak layak kau sedihkan dan dia tak layak menghancurkan hatimu. Sebab dirimu jauh lebih berarti. Hargailah dirimu lebih dari apapun”.

Itulah awal mula aku mempunyai tekad yang baru, aku mencoba menghargai dan memahami diriku. Aku menyibukkan diri. Empat tahun berlalu, aku mencoba menata hidupku lagi dengan kembali menempuh studi di kota lain dengan salah satu alasan, untuk benar-benar melupakanmu dari setiap inci memori yang ada di otakku.

Kini kau kembali tepat dihadapanku lagi.

Jujur ini sungguh teramat susah bagiku, seperti susahnya melawan arus sungai yang deras. Namun, aku mencoba untuk tak membencimu dan membenci pertemuan ini. Biarlah kala itu kau yang mematahkan hatiku, aku tak akan melakukan kejahatan yang sama dengan membalas dendam terhadapmu.

Diperpustakaan kampus aku sedang mencari bahan untuk membuat tugas jurnal ilmu pemerintahan. Tiba-tiba saja ada yang mengagetkanku dengan duduk tepat disampingku.

“Apa kabar, Raya?”

“Alhamdulillah Baik” (Aku berusaha tersenyum)

“Ternyata kau masih seperti Raya Kana Sabila yang kukenal dulu, hanya menjawab pertanyaan yang aku ajukan secara padat, singkat, dan jelas”. (Kau sembari tertawa kecil).

Aku hanya berusaha membalas seadanya. Raya Kana Sabila yang kukenal dulu, hanya menjawab pertanyaan yang aku ajukan secara padat, singkat, dan jelas. Kalimat itu mengingatku terhadap sesuatu. Namun, aku berusaha mengurainya seketika. Aku tak ingin mengingatnya. Bagaimana bisa kau mengatakan, Raya Kana Sabila seperti yang kau kenal dulu. Sementara harusnya kau tahu. Aku empat tahun yang lalu bukan aku yang sekarang.

“Bagaimana bisa dosen menghampiri mahasiswanya? Apa ada sesuatu yang perlu dikatakan atau aku bantu barangkali?” tanyaku. (Aku ingin segera mengakhiri pertemuan ini).

Sepertinya kau seolah tahu akan maksud kalimatku. Kau langsung menyebutkan bahwa besok kau tak bisa mengajar dikelasku dikarenakan kau harus mengisi seminar di Universitas lain. Kau meminta alamat e-mailku untuk mengirim beberapa soal yang harus kami kerjakan sepeninggal kau mengisi seminar esok. Hatiku gembira bahwa esok kau tak hadir mengajar dikelasku. Tentu saja aku gembira. Empat tahun sudah kulalui dan aku sudah terbiasa tanpa kehadiranmu.

Semenjak pertemuan kita di perpustakaan, kita mulai sering bertemu. Kau sesekali datang ke perpustakaan dimana tempat aku menghabiskan waktu senggang di kampus. Karena mulai sering bertemu, waktu jua pula lah yang menghadirkan hal lain diantara kita. Kebersamaan yang akhir-akhir ini setia bersama kita. Tak sadar kau mengulirkan perhatian-perhatian kecilmu seperti yang kau lakukan empat tahun lalu.

Namun, maaf aku kali ini tak akan tergoda lagi.

Aku takkan membiarkan diriku merasa kembali nyaman denganmu walau kini kembali bersama denganmu dalam satu kota. Aku hanya menjanjikan kita sebatas teman biasa. Ingatkah dirimu tentang memori kita empat tahun yang lalu. Aku sudah memberimu percaya, tapi kau balas dusta. Aku menjaga janji kita sepenuh hati, tapi kau ingkari dengan menggores luka dihati. Empat tahun yang lalu kau buat semua yang aku perjuangkan sia-sia. Porak-poranda hatiku kala itu. Tertatih aku bangkit dari rasa sedihku.

Sudahlah aku tak ingin mengingat kembali masa-masa sulit itu. Oleh karena itu, aku takkan membiarkanmu menyusup masuk kedalam hatiku lagi. Biarlah kenangan empat tahun lalu terbenam bersama bergantinya detik, bulan, dan tahun.

Pada akhirnya kita adalah dua orang baru yang kembali bertemu. Memori masa lalu yang menyakitiku sudah terbenam bersama berlalunya waktu. Sungguh aku sudah memaafkan segala kesalahanmu di masalalu. Namun, bukan berarti dirimu masih layak menjadi masa depanku. Karena memaafkan adalah cara menjadikan hubungan baik kembali setelah tersakiti.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ordinary Girl. Seorang Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang menyukai menulis. Membagi cerita berdasarkan pengalaman sendiri dan orang lain.

6 Comments

  1. Moch Farid Azis berkata:

    Yakin dia gak bakal jadi masa depanmu ? #thinkagain

  2. Tiara Utami berkata:

    Yakin..Karena aku gak akan biarkan hatiku terluka oleh org yg sama