Untuk Hati yang Bertahun-tahun Kujaga tapi Memilih Pergi

Hai, kamu.

Advertisement

Apa kabar? Aku bahkan tak tahu haruskah mengharapkan kau agar baik-baik saja, setelah luka mendalam yang telah kamu ciptakan. Sebut saja ini surat terbuka dariku, catatan hati yang mencoba meluapkan rasa sakit dan tidak percaya. Sebab jika tak begini, kamu takkan pernah tahu yang sebenarnya kurasa.

Kita mulai dari mana?

Masih ingatkah masa itu, ketika kita berdua masih berseragam abu-abu? Sekian lama kita dekat, meraba tatap, menerka sikap, hingga akhirnya sepakat untuk saling bersama.

Advertisement


Kita pernah menghadapi dunia berdua, mengisinya dengan mimpi-mimpi indah untuk masa depan yang juga akan dihadapi bersama.


Lalu kita melewati hari-hari dengan bahagia, sambil sesekali mendengar ocehan dari teman sebaya. Mereka bilang kita cocok, mereka bilang aku dan kau seperti sosok yang memang diciptakan untuk saling bersama. Tahukah kamu, di balik tawa aku mengamini setiap perkataan baik yang mereka sampaikan. Apakah kamu juga begitu?

Advertisement

Waktu berganti, kehidupan terus berlanjut. Tiba masanya kita harus menanggalkan seragam abu-abu kebanggaan. Kau memutuskan melanjutkan studi ke kota lain, dan aku tetap tinggal. Kau bilang kita akan baik-baik saja dan kau akan tetap mencintaiku sebagaimana awalnya.Dan odohnya, aku begitu percaya.

Masa-masa awal perkuliahanmu, komunikasi di antara kita masih terjalin mesra. Aku masih tahu kondisi dan perkembanganmu, kuusahakan menghubungi dan memedulikanmu, sesibuk apapun aku. Aku hanya ingin kau yakin, aku tak pernah pergi walaupun jarak menghalangi.

Hari berganti, pembicaraan kita semakin terbatasi. Mungkin kamu sibuk, aku mencoba berpikir positif. Kuputuskan untuk menyibukkan diri kendati terus menerus cemas dan malah mengganggu hari yang kamu lewati.

Empat tahun masa studimu, aku masih menanti. Aku tak pernah pergi walau hati semakin sulit berkompromi. Aku masih membalas dengan senyum setiap kali mendengar mereka yang dahulu memuji hubungan kita, kini mempertanyakan.

Empat tahun masa studimu dan pertemuan kita bisa dihitung dengan sebelah jari. Tapi aku tak pernah pergi, sayang. Aku selalu di sisimu walau tak kamu sadari. Selalu kusisipkan doa di akhir sujud, memohonkan kebaikanmu pada Yang Maha Menjaga.

Apa yang kualami bukannya tak sulit. Entah sudah berapa kali sajadahku basah oleh air mata yang diam-diam meluncur, mendoakan keselamatanmu, sementara komunikasi kita bukan lagi dalam hitungan hari. Aku rindu, tapi setiap pesan yang kukirim bahkan tak pernah kamu baca. Saat itu, komunikasi yang bisa kuandalkan hanya doa.

Aku mulai goyah, benarkah cinta itu masih ada? Atau hanya sebatas kisah semu kita di masa sekolah dulu?

Tapi lagi-lagi, aku memilih percaya.


Atas nama mimpi-mimpi yang pernah kita rangkai, aku memilih untuk tak pergi.


Kuamati dirimu dari jauh. Melihatmu begitu aktif di organisasi dan kegiatan kampus, ikut cemas saat kau kabarkan akan menjalani sidang, hingga ikut bersyukur saat tahu kau di wisuda, walaupun aku tidak diundang untuk datang, tak mengapa.

Hingga akhirnya pesan itu tiba. Empat tahun di perantauan, baru sekarang kau kirimkan aku pesan yang begitu dalam.


"Aku tak bisa menjanjikanmu masa depan, pergilah dan cari sosok lain yang lebih pantas."


Tahukah kamu, detik pertama kubaca, saat itu juga mataku panas? Aku hanya tak percaya.


Sekian tahun kau kutemani, di atas tumpukan ragu aku tetap tegak berdiri, menutup mata atas segala asumsi, lalu ujungnya kamu pergi?


Sebab, sungguh aku tak pernah meminta kamu untuk menyiapkan masa depanku. Aku hanya ingin kau menemaniku menyusun masa depan bersama, bagaimanapun bentuknya.

Tuan, sungguh, ini jauh dari adil. Aku mencoba mempercayaimu di atas semua tanya, lalu kau melenggang pergi begitu saja. Bertahun-tahun aku tak sekalipun pergi, tapi ujungnya malah kau yang melangkahkan kaki. Tetapi, bagaimanapun hidup takkan pernah mau menunggu.

Aku putuskan mengobati hati sendiri. Merekatkan kembali hati yang patah dengan sisa-sisa kekuatan. Aku hanya sudah tak ingin mempertanyakan, cukup untukku tahu bahwa kau hanya ingin pergi. Itu saja.

Selamat menjalani hidupmu sendiri, tuan. Hidupmu yang tanpa aku. Semoga kelak akan kau temukan perempuan yang sesuai inginmu.


Walau aku ragu, adakah yang mencintaimu sesabar aku?


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

penikmat senja, hujan, pantai dan kamu.

4 Comments

  1. pada akhirnya, yang pernah ada itu akan saling menghapus atau akan begitu saja terhapus (?) hahahhha

CLOSE