Usai yang Belum Tuntas

Kinanti terus bergegas melajukan mobilnya. Kinan, panggilannya, terlihat terburu-buru. Ada kegusaran yang menyeruak dari wajahnya yang bersapu bedak tipis. Bibirnya yang berpoles lipstik merah muda terus bergumam tanpa terdengar riuh suaranya. Prameswari yang duduk di kursi sebelahnya hanya bisa diam mematung. Prames takut menganggu konsentrasi Kinan, ia tahu sahabatnya tengah dirundung kekesalan yang memuncak.

Setengah jam mengemudikan mobil, kekecewaan Kinan tak dapat dibendung lagi. “Mes, aku benci dengan orang-orang yang sok tahu tadi,” gerutu Kinan. Prames masih terdiam, ia sedang menyusun jawaban apa yang pantas dilontarkan agar tidak semakin menyakiti sahabatnya. “Sudahlah, orang-orang seperti mereka dibiarkan saja,” saran Prames. Kinan sepertinya tidak puas dengan jawaban yang disampaikan Prames. Sambil terus menyetir, ia meluapkan kejengkelannya.

“Ya tidak boleh seperti itu. Coba kalau mereka diposisiku! Pasti mereka akan mengambil keputusan yang sama denganku”. Kinan terus bersikukuh. Prames membiarkan saja Kinan yang berargumen. Prames justru memutar lagu milik Banda Neira yang berjudul Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti. Sontak saja Kinan seolah merasa disindir. Racauannya terhenti. Ia kini berbalik memarahi Prames.

“Kenapa kamu justru sekarang memihak ke orang-orang bodoh itu?” Emosi Kinan kian tak tertahan. Prames sedikit naik pitam karena dituding berkawan dengan orang-orang yang menyudutkan Kinan. Prames ingin marah namun ia urungkan. Ia tak ingin memperkeruh kondisi. “Nan, aku sangat paham posisimu saat ini. Aku tak bermaksud membuatmu tersinggung. Sebagai sahabat, aku justru ingin membantumu menyelesaikan semua ini,” ucap Prames. Kinan tampak ingin menarik perkataannya. Penyesalan tergambar jelas dari gestur tubuhnya.

Perjalanan menuju Caffeine Coffe dihiasi keheningan tanpa adanya obrolan. Keduanya berusaha menenangkan diri dengan cara masing-masing. Bila di antara kepala keduanya dihubungkan dengan kabel imajinasi, kabel tersebut pasti bermuatan tegangan yang tinggi. Kepelikan nyaris membungkam jalanan yang mereka lalui. Sorot lampu yang menyilaukan tak mampu menggantikan kegusaran Kinan dan Prames. Kehidupan kota lambat berjalan pada malam hari, ibarat kebuntuan yang tak mencair di mobil ini.

***

Keresahan Kinan di mobil pada malam itu disulut oleh pertanyaan-pertanyaan para rekan kerja saat rapat. Kinan dan Prames merupakan dua orang perempuan yang ada di kantor tersebut. Keduanya menjabat posisi lumayan tinggi di perusahan ini. Perbedaan Kinan dan Prames ada pada keputusan mereka untuk berkomitmen. Prames sudah berkeluarga dan memiliki satu buah hati. Sedangkan, Kinan masih betah menyendiri. Inilah yang kerap membuat orang-orang mengejek Kinan.

“Nan, cantik-cantik kok melajang. Keburu tidak laku, loh,” ujar Giri, sohib Kinan.

“Kamu lagi menunggu siapa sih, Nan? Kok tidak kunjung menikah?” Pertanyaan yang berkali-kali dilempar Pratama kepada Kinan.

“Itu banyak lelaki yang mengejarmu. Ibaratnya kamu tinggal comot mana saja yang cocok. Cari yang tipe macam apalagi sih?” Keingintahuan semacam ini selalu saja menguntit Kinan.

“Bapak atau Ibumu memangnya tidak memberikan batas waktu buatmu, Nan?”

“Apa kamu tidak malu sudah dilangkahi dua adikmu?”

“Pencapaianmu sebagai perempuan di ranah karir sudah lebih dari bagus, Nan. Sudah saatnya kamu memikirkan berumah tangga”.

“Apa yang membuatmu tak siap mengiyakan ajakan nikah dari para lelaki?”

“Menjadi istri tak akan mengungkung kegemaranmu. Kamu masih tetap Kinan yang hobi berpetualang”.

“Umurmu sudah hampir 33 tahun, loh. Kalau terlalu tua menikah, organ reproduksimu berkurang kemampuannya,” kelakar Didi.

Semua orang selalu menyalahkan langkah yang diambil Kinan. Masyarakat telanjur menghakimi perempuan yang tidak kunjung menerima pinangan lelaki. Tuduhan-tuduhan buruk kerap diluncurkan kepada para perempuan, tanpa mendengar kisah dibaliknya terlebih dahulu.

“Lagi-lagi saya harus mengawali rapat dengan mengatakan, saya tidak memberi ruang untuk pertanyaan-pertanyaan yang berkutat tentang kehidupan pribadi,” tutur Kinan. Peserta rapat tertawa. Mereka menganggap Kinan hanya bercanda. “Ah, Bu Kinan bisa saja bikin lawakannya,” celetuk salah satu peserta rapat. Kinan hanya tesenyum kecut. Tangannya mengkerut lalu mencengkeram kencang mikrofon yang ia pegang.

***

Haruskah aku membuka alasanku tentang keterlambatan menikah kepada umum? Apakah benar-benar pertanyaan mereka dilandasi rasa kepedulian? Atau justru keingintahuan belaka? Bisa jadi, mereka semakin mencelaku jika kelak mereka tahu penyebabnya. Banyak kekhawatiran yang melingkupi benakku. Bukan aku tak mendengar saran dan nasihat yang dikirimkan padaku, tapi aku memang belum tahu cara menjalankannya.

Kalimat tersebut Kinan tulis sebagai pembuka di buku hariannya. Kinan terbiasa merekam kejadian yang ia alami lewat tulisan. Menurutnya, hanya bukulah yang setia mendengarkan keluh-kesahnya. Kinan pun melanjutkan menggoreskan pena.

Berat dan tragis rasanya jika aku diminta mengingat-ingat kembali keindahan yang sempat aku reguk semasa kuliah. Aku yang masih bocah ingusan harus berganti identitas. Dari anak seragam putih abu-abu beralih ke mahasiswa perempuan yang doyan berorasi. Kematanganku berbicara adalah bekal saat berkuliah. Aku ditunjuk mengikuti acara kesana-sini. Lambat-laun, namaku terkenal. Orang-orang berlomba-lomba mendapat perhatianku, salah satunya Nata.

Kinan menaruh kepalanya di meja. Kesedihan tak kuasa ia bendung. Ingatannya berpusar pada masa silam. Memori yangseakan tak mau lepas dari batinnya. Gejolak itu terus menendangnya, mengoyak raung tangisnya. Kinan, perempuan yang harus berpura-pura tegar itu mengumpulkan sejuta nyali untuk merampungkan curahan hatinya.

Nata, aktivis mahasiswa berambut gondrong. Sepatu kesukaan yang selalu dikenakannya berwarna hitam berpadu putih. Celana jins belel dengan lubang di bagian lutut, dengan bangga ia pakai. Kemeja flanel bermotif kotak-kotak adalah baju kebesarannya. Sebungkus rokok tak lupa ia selipkan di saku celananya. Dosen kerap menegur penampilan Nata yang tidak rapi. Nata hanya mengangguk, tanpa sekalipun pernah menggubrisnya.

***

“Nat, akhir-akhir ini kok kamu menjauh dariku?” ujar Kinan kepada Nata yang tengah sibuk membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. “Kenapa kamu sekarang berubah seperti cewek-cewek kebanyakan?” Nata balik bertanya. “Aku malah heran dengan kamu yang sering menyamakanku dengan perempuan di luar sana. Jangan-jangan kamu menginginkan mereka?” Kinan terpancing curiga.

Nata tetap asyik menata buku-buku yang telah habis dia lahap. Sedangkan Kinan menekuk muka sembari memeluk bantal. “Aku harus bisa mencipta buku karangan sendiri, nih. Dari dulu aku mendamba bukuku diulas orang lain,” ucap Nata membuka pembicaraan. Kinan masih belum beranjak. Ia belum menunjukkan ketertarikan untuk menimpali. Nata pun bertingkah lucu sebagai permohonan maafnya kepada Kinan.

“Nan, aku harus lakukan apalagi supaya kamu ketawa? Jangan cemberut dong! Nanti cantiknya luntur”. Nata merayu Kinan. Tak ada senyum yang tersungging di bibir Kinan. Remote televisi sibuk dimainkannya.

“Ya sudah. Ayo kita pergi ke Pembacaan Puisi nanti malam!” Ajakan itu rupanya manjur membikin Kinan tak lagi marah. “Mau-mau,” Kinan mengiyakan dengan nada manjanya. “Dasar pacarku ini mudah sekali dibujuk,” ucap Nata sambil mengelus rambut Kinan yang hitam.

“Marah-marah itu tidak enak, Nan. Lebih baik kita saling berbalas puisi”. Kinan dan Nata lempar-lemparan senyum. Keduanya larut dalam manisnya lengkung kebahagiaan.

Kinan memulai membacakan puisi untuk Nata.

Terang Redupku

Aku mengeja nama

Di waktu aku sedang berdoa

Bergumam memuja

Berharap doa menjadi nyata

Tentang suka cita dan gembira

Dengan mereka semua

Melambai bahagia

Mengudara di angkasa raya

Menggantung nestapa

Berharap mengudara sirna

Kan terpatri pusaka

Sebongkah permata tak terduga

Berkibar semangat bendera

Mengingat zaman dahulu kala

Suara lantang pecah membahana

Derap jiwa menggelora di dada

Mengemban di antara lara dan suka

Buih gelombang mimpi akan segera menjadi fakta

Di akhir pembacaan puisi, darah tiba-tiba menetes dari hidung Nata. Nata jatuh tersungkur. Kinan membekap kuat-kuat tubuh kekasihnya. Kekasih yang menawarkan ceria tanpa putus.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

hanyut dalam tulisan