Pentingnya Tetap Bersikap Realistis, Meski Hatimu Sering Terasa Teriris

Belajar menyeimbangkan logika dengan pikiran

Teruntuk kamu yang pernah singgah. Bagaimana kabarmu sekarang?

Advertisement

Sudah lama sejak komunikasi kita terputus. Selama itu pula aku berusaha mencari kabarmu. Kamu pasti tahu akun tanpa foto profil, bio, dan tak ada satupun postingan itu adalah akun yang kubuat demi bisa leluasa menyaksikan sepak terjangmu di dunia maya.

Tak banyak ternyata yang bisa aku lihat. Kamu menghapus beberapa foto, aku yakini itu pengingat kenangan saat kita masih saling berkabar. Pada hari yang mulanya kita berjanji untuk berjumpa ternyata keluargamu yang datang berkunjung, tak apa, aku malah turut bahagia menyaksikannya karena aku juga anak perantauan.

Tapi kenapa itu kamu posting? Apa kamu ingin memberikan konfirmasi? Atau memang itu adalah moment terbaikmu? Ah sudahlah aku hanya menjebak diri sendiri dengan berbagai spekulasi. Ada kalanya aku merasa lelah, bisakah aku menanti sesuatu yang akupun tak tahu sampai kapan. Kepergianmu yang tiba-tiba tanpa ucapan selamat tinggal begitu menyesakkan dada. Meskipun itu adalah hal yang benar oleh nalar tapi terlalu nanar dirasakan oleh hati.

Advertisement

Aku sudah tahu bahwa tak bisa aku terus mengharapkan seseorang yang telah aku lepaskan. Aku tahu akulah yang sebenar-benarnya memanjatkan doa agar kau bersanding dengan yang lebih pantas, jauh lebih pantas, dengan seorang wanita tanpa cela apalagi noda masa lalu yang tak bisa juga ia hapuskan dari lembar kenangan. Di saat aku beranjak meninggalkan tempat yang membuatku bahagia sekaligus sakit karena dipenuhi kenangan indah yang tak kan terulang, aku berjumpa sesosok yang telah lama memperhatikanku.

Selama ini aku hanya fokus kepadamu hingga tak menyadari sekelilingku. Aku hendak mengemis agar dicintai olehmu, ternyata ada lelaki yang mau menerima diri ini apa adanya. Dia bahkan tak menyadari penolakan halus yang aku lontarkan. Alasan yang membuatmu mundur (menurutku) ternyata tak membuatnya bergeming sedikitpun. Benarkah dia seikhlas itu? Beranikah aku benar-benar melepaskan kenangan dirimu yang begitu aku kagumi?

Advertisement

Cukupkah alasan niat baik untuk menjalani semuanya ke depan? Tepat di hari aku memulai kisahku denganya, kamu membuka jalan salah satu media komunikasi. Bahkan kita saling memperhatikan, meski tidak lagi. Hanya aku sendiri yang terus mengintip update statusmu. Mudahnya aku goyah. Aku belum move on.

Aku semakin rajin memposting hal-hal berkenaan dengan perasaan berharap kamu mau menyaksikannya sebentar karena keberanianku yang tak cukup besar untuk memohon kamu kembali. Sudah terlampau malu diri ini menyebut namamu dalam rentetan doa. Karena aku beranggapan kamu sudah tak lagi mau melihatku.

Ataukah sebenarnya kamu masih mencintaiku dalam diam dan kelak akan kembali pada saat yang kau yakini tepat? Ah sudah cukup, tak perlu lagi berandai-andai. Satu hal yang pasti, dirimu belum bisa memberi kepastian.

Ku usaikan kisah kita, ku uapkan semua rasa. Ku panjtakan doa selayaknya. Karena aku memilih untuk hidup bahagia menurut versiku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

4 Comments

  1. Wahyudi Nur berkata:

    You really never know what’s gonna happen in the future, what a fate what a destiny. Just be your self. Selamat menempuh hidup baru. Ingin rasanya minta maaf. Tapi tak ada media apapun untuk bisa berucap.

CLOSE