Aku Ingin Bahagia dengan Keputusanku

Untuk mama tersayang.

Usiaku sudah dikatakan dewasa. Banyak sekali bekal yang ku jadikan dalam hidup. Aku suka mengamati diam-diam, aku suka menganalisis dalam-dalam, aku suka menilai baik buruk apa yang aku lihat, apa yang terjadi di sekitarku, atau apa yang aku dengar. Ma, aku tidaklah lebih baik darimu. Mama akan selalu lebih baik dariku. Aku pun tidak lebih pintar darimu, Ma, karena kau lebih banyak pengalaman dari aku. Tapi aku memiliki pandangan sendiri tentang kebahagiaan, tentang hidup, dan tentang pendamping.

Mamaku sayang, bukankah aku anakmu? Seharusnya kau kenal bagaimana aku tanpa mendengarkan penilaian orang lain tentang aku. Begini, Ma, aku hanyalah perempuan akhir zaman, di mana pada zamanku banyak sekalian kejahiliyaan yang berjaya. Materi menjadi segalanya, hingga keimanan menjadi nomor kesekian. Dan semua itu berujung ketidakbahagiaan. Aku tidak ingin seperti itu, Ma. Aku ingin hidup dalam kesederhanaan, tapi dari hari-kehari iman dan takwaku bertambah, pengetahuanku semakin luas, hati aman, nyaman, dan tentram. Hanya itu yang aku damba dalam hidup, Ma.

Sudahlah, Ma. Berdebat panjang pun kita tidak ada guna. Biarkan saja aku memilih pendamping sesuai kriteriaku. Kalaupun ada yang sedang mendekatiku, aku selalu bercerita kepada mama, bukan? Aku selalu minta masukan mama. Aku memang begitu, Ma, sulit untuk menampung utuh masukan-masukan yang aku dapat. Karena penilaianku atas apa yang aku nilai. Jika masukan itu sesuai dengan penilaianku, maka akan aku konsumsi, jika tidak sesuai maka aku akan tetap pada pendirianku.

Sama halnya ketika aku dihadapkan pada pilihan laki-laki kaya raya yang usianya terpaut 11 tahun dengan laki-laki disabilitas yang sederhana, bersahaja, pun bertanggung jawab. Aku akan memilih yang mampu selalu ada untukku dalam kesederhanaan. Aku akan memilih yang dengan lembut mengajarkanku kebaikan-kebaikan hidup. Aku akan memilih yang bersedia memupuk cinta untuk sang khalik. Dan aku akan memilih yang mampu menciptakan rasa aman, nyaman dan damai lahir bathin ku. Aku tidak peduli dia kaya atau tidak.


Prinsipku, ketika kita berusaha bertahan hidup, kita tidak pernah menjadi lapar.


Jauh aku melangkah meninggalkan kampung halaman, teman bermain, bahkan cinta waktu SMA sebagian besar adalah untukmu, Ma. Tak usahlah aku ceritakan bagaimana aku berjuang di kota orang, yang terpenting bagiku kau bahagia. Dengan melepas diri untuk meringankan bebanmu, dan menanggung sebagian bebanmu, aku tidak pernah merasa itu berat. Buktinya aku tidak mengeluh kan, Ma? Buktinya mama tidak tahu kapan aku benar-benar tertawa. Selama kau baik-baik saja, Ma, aku pun akan baik-baik saja.

Ma, aku tahu kau ingin aku bahagia, aku tahu kau ingin aku tercukupi, aku tahu kau ingin aku memiliki segalanya, dan aku tahu kau ingin masa depanku ada yang jamin, pun aku tahu kau merasa aku pantas mendapatkannya. Tapi kau lupa, Ma, aku tidak mencari kebahagiaan itu sebatas materi. Berapa lama aku hidup tak bisa aku pastikan. Aku takut, Ma, ketika tanpa proses aku jadi kaya raya, aku diperbudak materi, aku tidak ingin suamiku kelak bebas memperlakukan aku karena merasa sudah memberiku materi.

Mamaku yang baik hati, sudah ya. Urusan pendamping serahkan padaku. Aku mencari yang soleh bukan yang kaya. Aku mencari yang bisa menerima kekuranganku bukan banyak menuntut aku. Aku mencari yang bisa membawaku ke surga bukan membawaku shopping branded. Insya Allah, Ma, siapapun nanti pendampingku, aku akan mendapinginya untuk meraih dunia beserta isinya dan surga Illahi.

Aku dan dia akan memiliki apa-apa yang mama harap termiliki olehku. Percayakan saja padaku, Ma. Aku hati-hati sekali dalam memilih pendamping hidup.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat huruf demi huruf di antara sepi dan gelap. Selalu jatuh cinta dengan warna biru. Dan kalau kata orang-orang, si Ratu Badmood.