Ironi Praktik Bullying di Lingkungan Pendidikan, Apalagi yang Jadi Sasaran Adalah Mereka yang Berkebutuhan. Di Mana Hati Nurani Kalian?

Akhir-akir ini kasus akibat kekerasan di sekolah makin sering ditemui baik melalui informasi di media cetak, media sosial, maupun yang dapat kita saksikan di layar televisi. Selain tawuran antar pelajar sebenarnya ada bentuk-bentuk perilaku agresif atau kekerasan yang mungkin sudah lama terjadi di lingkungan pendidikan, namun tidak mendapat perhatian, bahkan mungkin tidak dianggap sesuatu hal yang serius. Misalnya bentuk intimidasi, pemalakan, pengucilan diri dari temanya, sehingga anak jadi malas pergi ke sekolah karena merasa terancam dan takut, bahkan bisa menjadi depresi tahap ringan yang dapat memengaruhi semangat belajar anak di ruang kelas

Advertisement

Sebagaimana yang kita ketahui, baru-baru ini dunia pendidikan kita digemparkan dengan dua video singkat yang viral di dunia maya. Video pertama soal aksi bully seorang mahasiswa terhadap rekannya yang menderita kebutuhan khusus (autis). Aksi yang terjadi di dalam kampus Universitas Gunadarma Depok ini sontak membuat geram para netizen.

Dalam video berdurasi 15 detik yang diunggah oleh akun instagram @thenewbikingregetan, terlihat bagaimana seorang mahasiswa ditarik-tarik tasnya oleh temannya hingga ia tidak bisa berjalan. Sementara banyak mahasiswa yang menyaksikannya pun menertawai tidak ada yang berani menolong. Apalagi, korban dalam aksi bully itu adalah mahasiswa berkebutuhan khusus dan dilakukan di hadapan mahasiswa lain tanpa ada satu pun yang membela.

Belum selesai kasus di Universitas Gunadarma, video bullying kembali beredar. Kali ini menimpa seorang pelajar perempuan di pusat perbelanjaan Thamrin City. Sebagaimana ditampilkan dalam video berdurasi satu menit 25 detik yang diunggah Facebook dengan nama akun Mak Lambe Turah. Dalam video tersebut tampak seorang remaja perempuan dijambak ram­butnya secara keji berulang kali oleh beberapa pelaku seusianya. Sementara korban tak berdaya dan hanya pasrah. Dia juga disu­ruh menyalami dan mencium kaki pelaku. Lalu aksi itu dipotret dan divideokan.

Advertisement

Berkembangnya isu mengenai disabilitas di dalam masyarakat akhir-akhir ini semakin membuka mata kita akan betapa masih dianggap tabunya disabilitas itu sendiri. Disabilitas yang dalam pehamaman masyarakat awam adalah suatu bentuk ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan dikarenakan keterbatasan fisik, mental maupun keduanya telah menimbulkan berbagai pemahaman yang tak lagi bisa dirasakan relevan. Pemahaman bahwa setiap orang dengan suatu keadaan disabilitas hanya membutuhkan adanya sarana prasana guna menunjang kebutuhan fisik secara khusus tanpa dibarengi dengan adanya pengertian bahwa justru yang dibutuhkan dalam keadaan tersebut adalah adanya penyetaraan sosial serta “perlakuan” yang sama.

Penyandang Disabilitas Belum Mendapatkan Perlakukan Secara Layak

Advertisement

Jika kita amati lebih lanjut, adanya isu mengenai keadilan bagi penyandang disabilitas di zaman kemajuan teknologi dan pemikiran individu-individu yang semakin berkembang ini, telah memasuki suatu fase yang ironisnya justru semakin menggerus ke dalam suatu bentuk dimensi kedisabilitasan secara sosial. Kedisabilitasan sosial yang dimaksudkan di sini bukan menyorot mengenai semakin berkurangnya tingkat kepekaan masyarakat terhadap isu sosial di sekitar mereka, namun justru mengenai pemahaman terhadap kepedulian akan disabilitas yang telah didasari dengan konsep serta pemikiran yang salah yang akan mengarah kepada jurang pembeda yang justru nantinya muncul diantara kepedulian tersebut.

Konsep serta pemahaman dasar inilah yang selayaknya perlu diubah untuk memperbarui sistem yang telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah tak lain untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang berbasis keadilan, kesetaraan, dan tidak lagi memandang adanya pengucilan “perlakuan” dalam suatu taraf pengertian dan pemahaman sosial. Hal ini juga sepatutnya dilihat pada segi atau bagian di mana seorang penyandang disabilitas memang perlu diberikan bantuan atau sarana prasarana khusus guna menunjang kemandirian, efektifitas, peningkatan kepercayaan diri serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan penyataraan sebagai seorang warga negara dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam kehidupan masyarakat luas, dunia pendidikan bagi masyarakat disabilitas baru sebatas SLB (Sekolah Luar Biasa) yang selama ini pun telah dikategorikan menurut kemampuan mereka. Tiap-tiap dari mereka sebenarnya menempuh pendidikan tersebut sebagaimana orang-orang non-difabel pada umunya, hanya saja yang menjadi masalah adalah jika orang-orang non-difabel setelah menamatkan pendidikan mereka di tahap SMA banyak tingkat pendidikan tinggi yang mau dan bisa mereka pilih untuk meneruskan pembelajaran untuk bekal kehidupan mereka, namun untuk para penyandang disabilitas masih kesulitan apabila mereka ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi lagi.

Hal ini dikarenakan, masih banyaknya perguruan tinggi meskipun tidak semua selalu berpikir ulang untuk mengambil tanggung jawab sebagai institusi pendidikan yang bersedia menyediakan tempat bagi para difabel dengan dalih tidak adanya sarana prasana yang mampu untuk menunjang kebutuhan para difabel. Padahal kalau kita melihat Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Bab 3 Pasal 10 bagian a) dijelaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus. Bahkan lebih luas lagi dalam Pasal 17 ditegaskan bahwa setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas.

Pendidikan Inklusif harus di Laksanakan

Fenomena perilaku bullying yang banyak terjadi dalam lingkungan pendidikan ibarat gunung es yang tampak kecil di permukaan namun menyimpan banyak macam masalah. Bahkan hal ini tidak mudah untuk diketahui atau disadari oleh pendidik, orang tua, masyarakat, ataupun pemerintah. Padahal dampak dari perilaku bullying baik sebagai korban maupun pelaku dapat mempengaruhi perkembangan anak ataupun remaja dalam jangka pendek dan jangka panjang bahkan bisa berlanjut sampai dewasa.

Namun faktanya, pengubahan suatu pemahaman yang sudah mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat tidak lah semudah membalikan telapak tangan. Seperti yang telah kita ketahui bersama, sebenarnya sudah lama pemerintah mengupayakan dan membantu penyandang disabilitas dalam kaitannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka seperti halnya yang diatur dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Dalam undang-undang tersebut, diatur secara terprinci mengenai hak-hak apa saja yang seharusnya penyandang disabilitas terima, kebijakan serta usaha apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup mereka hingga menyangkut tindak pidana apa saja yang akan dijatuhkan bagi mereka yang melanggar dan tidak memperlakukan penyandang disabilitas dengan layak. Bahkan dalam undang-undang tersebut juga telah diatur bagaimana semua instansi atau lembaga-lembaga harus mempekerjakan para penyandang disabilitas secara adil dan setara dengan pekerja non-difabel lainnya.

Itu artinya dalam undang-undang sebenarnya aturan mengenai “Penghormatan, pemajuan, Perlindungan, dan Pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar Penyandang Disabilitas secara penuh dan setara” sudah diatur secara terperinci dan lengkap, namun permasalahannya adalah pasal-pasal dalam undang-undang ini belum dilaksanakan secara benar dan tegas oleh seluruh elemen masyarakat khususnya lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan.

Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat luas khususnya orang tua seyogyanya haruslah mampu bergotong royong membentuk suatu sinergitas untuk merubah secara perlahan-lahan paradigma negatif mengenai penyandang disabilitas yang selama ini telah tercipta. Pendekatan tidak lagi dilakukan hanya satu arah yakni hanya dengan mengarahkan, melatih seta memberi semangat kepada para penyandang disabilitas semata yang bersifat teoritis dan hanya menjadi peraturan yang tercantum dalam undang-undang. Namun lebih dari pada itu, pemerintah dan lembaga pendidikan harus mampu memaksimalkan perannya untuk menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan nyata melalui pembentukan unit layanan disabilitas serta melaksanaan kurikulum pendidikan inklusif disemua tingkat pendidikan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE