Kontras: Potret Hidup di Jakarta sebagai kaum menengah

Hidup di Jakarta, dengan lingkungan pergaulan yang rata-rata menengah ke atas adalah salah satu tantangan tersendiri. Saya bekerja sebagai guru TK yang berpenghasilan sedikit di atas UMR, dan saya merasakan bagaimana sulitnya bertahan sampai hari gajian tiba. Apabila dihabiskan hanya untuk makan dan transportasi mungkin semuanya akan menjadi lebih mudah, tapi terkadang kehidupan sosial mengharuskan kita untuk membuat pengeluaran-pengeluaran ekstra.

Meskipun demikian, pekerjaan ini bisa membuat saya menikmati kehidupan yang sebenarnya. Menikmati pagi hari dan sore hari, dan saya masih bisa berkumpul dengan teman-teman dan keluarga saya. Membuat saya update dengan berita-berita terkini. Menikmati hal-hal sederhana seperti sejuknya udara di sore hari, dan saya juga memiliki waktu istirahat yang cukup dan tingkat stres yang rendah.

Saya bekerja di salah satu law firm terbesar di Jakarta, bergaji lebih dari cukup dan memiliki leingkaran pergaulan yang standar kehidupannya di atas saya, membuat saya mau tidak mau harus beradaptasi dan mengikuti gaya hidup mereka untuk tetap merasa nyaman di profesi ini. Apabila dihabiskan, maka kebanyakan uang saya habis untuk membeli makanan dan minuman yang fancy atau pergi ke kelab-kelab malam yang gemerlap dan melek di malam hari, dan membuat saya terkadang menikmati namun menderita dengan gaya hidup seperti ini.

Meskipun demikian, profesi sebagai lawyer sangat menyenangkan bagi saya. Saya bisa setiap hari belajar hal baru di bidang hukum dan banyak kesempatan untuk menjadi selangkah lebih maju dari teman-teman yang bekerja di non-law firm karena saya mengurus banyak sekali bidang hukum, tidak saja satu.

Namun seperti yang sudah saya sebutkan, penghasilan yang tidak terlalu tinggi juga memiliki beberapa kerugian sebagai berikut:

1. Bokek, bahkan di awal bulan vs Banyak uang di setiap bulan

Berapapun penghasilan kita perbulan, pasti ada keinginan kita untuk menabung beberapa untuk kepentingan di masa depan. Kita akan merasa sangat senang ketika hari menerima gaji tersebut tiba, namun ketika hari itu tiba, sebagian dari jumlah tersebut akan langsung kita pangkas. Lalu jumlah yang tersisa akan membuat kita menjadi ahli matematika, mencoba berbagai kemungkinan untuk tetap bisa bertahan sampai akhirnya hari gajian berikutnya tiba.

Gaji dua digit pastinya selalu membahagiakan kita para generasi muda yang masih (mungkin) single dan menikmati masa-masa karir yang menanjak dan penuh dengan kesempatan dan tantangan. Ketika pekerjaan sudah selesai di larut malam, kita menghabiskannya ke tempat-tempat yang “hidup” di malam hari. Tempat itu bisa kelab, kafe, atau tempat-tempat yang kadang menguras uang kita. Perlahan namun pasti, gaji kita akan habis dan datanglah pertanyaan “duit gue ke mana aja?”

2. Pilihan yang terbatas vs Bisa melakukannya apa saja tapi tidak ada waktu

Sebagai orang yang memiliki banyak waktu luang, tidak ada alasan untuk kita tidak mengikuti pertemuan dengan teman-teman lama yang mungkin hanyalah sebulan sekali. Terkadang ketika tempat bertemu sudah ditentukan, kita akan langsung mengecek berapa harga makanan dan minuman disana, dan jarak untuk menuju tempat tersebut. Teman-teman mungkin akan memesan spagheti dan soda, tapi kita tetap setia pada kentang goreng dan aqua. Syukur-syukur ada teman seperjuangan yang mau berbagi makanan, atau ada teman yang berbaik hati mau menraktir. Bagaimana cara pergi ke tempat tersebut? Kalau angkot lebih murah dari transportasi online, mengapa tidak? Begitu pula dalam hal ngedate. Meskipun bioskop tujuan sangat jauh dari rumah, apabila harganya lebih murah dari yang lain maka itulah tempat tujuan kita.

Punya banyak uang membuat kita seperti raja. Mau melakukan apapun terserah kita. Mau bertemu teman-teman di fine dining di lantai teratas gedung pencakar langit hanyalah seringan kata “ayuk”. Mau memesan makanan apapun, seenak apapun, tanpa melihat kolom kanan menu (haragnya) adalah hak-hak yang dijamin pasti untuk kita yang memiliki uang yang banyak……namun uang tidak bisa membeli waktu. Waktu diciptakan secara pasti dan sekali, dan sayangnya kita tidak bisa memanfaatkannya untuk hal-hal seperti itu. Kita terlalu sibuk dengan pekerjaan dan target-target karir kita.

3. Perbandingan: musuh terbesar VS Pujian: Racun yang manis

Apabila kita memiliki saudara atau teman dekat yang gajinya lebih tinggi dari kita, maka kita harus siap apabila dibanding-bandingkan dengan mereka. Gaji mereka yang lebih tinggi, perusahaan mereka yang lebih besar namanya, dan lain-lain. Bahkan ada saat di mana kita hafal dengan kata-kata yang akan mereka ucapkan mengenai pekerjaan kita. Ada pula saat dimana rasanya lebih baik kita memasang headset dan mendengarkan lagu daripada terlibat di pembicaraan seputar gaji dan pekerjaan. Kuping panas sudah menjadi biasa bagi kita.

Ketika sebuah pencapaian besar berhasil kita raih, aliran pujian datang mendatangi kami seperti aliran air sungai deras yang menghujam rumah kita. Terkadang pujian adalah bentuk penghargaan yang kita juga harus bersyukur bahwa diri kita sudah berhasil naik tingkat, namun di sisi lain pujian bisa menjadi alat memanjakan kita yang mejadikan kita tidak melakukan evaluasi diri atas pencapaian kita. Karena setiap milestone hidup kita, selalu ada kekurangan yang akan menyadarkan kita akan pentingnya terus meningkatkan diri menjadi lebih baik lagi. Nha, bayangkan apabila kita tidak sadar akan kekurangan kita karena banyaknya pujian yang kita cerna dan percayai?

4. Iri VS Tidak Pernah Puas

Sebenarnya ketiga poin di atas tidak akan terlalu bermasalah untuk kita, apabila kita tidak memiliki rasa iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Kita akan tetap merasa bahagia, meskipun penghasilan kita cuma-cuma, apabila kita tidak memiliki rasa iri. Perasaan ini akan selalu membuat kita fokus pada hal-hal negatif di sekitar kita ketimbang mensyukuri apa yang kita dapatkan. Padahal kita tahu, di luar sana ada banyak orang yang rela mengorbankan apa pun untuk merasakan hidup seperti yang kita rasakan. Namun kita selalu melihat penghasilan orang lain, tanpa mempertimbangkan bahwa mungkin orang tersebut juga berjuang, hanya saja perjuangannya berbeda dengan kita. Meskipun kita harus ekstra berhemat, makan makanan yang itu-itu saja, atau harus sabar dengan orang lain, apabila kita bersyukur, maka hal-hal tersebut tidak akan menjadi signifikan untuk kita, melainkan menjadi motivasi untuk kita bekerja lebih baik lagi.

Tidak pernah puas adalah sifat natural bagi semua lawyer. Seperti kata Harvey Specter “I don’t have dreams, i have goals,” lawyer harus terus belajar dan tidak pernah puas terhadap pencapaian dia. Dari segi pendapatan, lawyer tidak akan pernah puas dengan pendapatannya, dia akan terus menghabiskan jam-jamnya untuk menambah billable hours (jam-jam kerja yang dibayar dengan hitungan per jam) untuk menambah bous atau pembagian keuntungan. Dari segi kesempatan kerja, tantangan untuk menyelesaikan transaksi atau kasus yang akan terus menambah kapasitas dirinya. Membuat diri tidak pernah puas akan terus membuat kita akan selalu melangkah maju karena tanpa itu, kita akan terlena dengan gaji besar namun tidak ada pertumbuhan diri yang memantaskan kita sampai di puncak karir kita.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

A teacher. A movie enthusiast. A mediocre citizen with unlimited imagination.