Makna Tangisan Hewan Kurban? Sedih Ataukah Bahagia?

Di hari Raya Idul Adha banyak sekali hewan ternak yang dikurbankan. Umat Islam meyakininya sebagai anggota dari warisan Nabi Ibrahim alaihissalaam. Kepada Ibrahim Tuhan mengajarkan kesediaan untuk berkorban. Kemudian ajaran itu diabadikan oleh Tuhan lewat Nabi-Nabi yang datang kemudian.

Advertisement

Setiap mahluk yang tunduk kepada Tuhannya tentu bakal bersama suka hati menjalani perintah-Nya. Termasuk hewan-hewan ternak itu. Tetapi, apakah setiap hewan kurban bersuka cita kala mereka beri tambahan pengorbanan itu?

Di masa kecil, hati aku sering dipenuhi oleh kisah-kisah indah yang menceritakan berkenaan hewan-hewan yang suka jikalau dipilih untuk menjadi kurban. Meskipun mereka mati, tetapi kematiannya memicu Tuhan senang. Sehingga, hewan-hewan itu sanggup menjadi mahluk yang disayang oleh Tuhannya.

Setelah dewasa, sudut pandang aku menjadi berubah. Bahkan, panca indera aku merasakan tersedia hewan yang meneteskan air mata kala terpilih menjadi kurban. Semakin aku tua, makin banyak cerita berkenaan hewan-hewan yang menangis itu. Lalu aku bertanya di dalam hati; ”Apakah hewan-hewan di zaman ini telah enggan untuk diajak lebih dekat bersama Tuhan?”

Advertisement

Lama aku membayangkan sebuah jawaban. Hingga aku lagi teringat berkenaan apa yang pernah aku alami dulu. Sewaktu tetap kecil, aku adalah penggembala domba. Dan aku biasa berbicara bersama domba-domba saya. Kali ini pun aku menjadi seolah tengah berdiskusi bersama mereka.”Wahai domba-dombaku,” Saya bertanya; ”mengapa saat ini kalian enggan menjadi hewan kurban?”

Domba-domba itu terperanjat, selanjutnya menjawab;”Embeee…k” katanya.

Advertisement

”Kenapa begitu?” balas saya. Lalu mereka berkata:”Bekmbek, eeeeeembeeeeek….”

Anda yang tidak jelas bhs para domba tidak bakal jelas mengisi dialog kami. Tapi, saat ini aku faham mengapa banyak hewan kurban yang menangis di hari raya Idul Adha. Para domba bilang, mereka menangis karena banyak sekali orang yang berkurban bukan untuk melacak karunia Tuhan. Melainkan hanyalah idamkan beroleh pujian.

Para domba dan teman-temannya sesama hewan kurban sedih sekali lihat tingkah laku para manusia. Mereka mengira bahwa kurbannya itu bakal hingga kepada Tuhan sebagai suatu amalan. Padahal bersama niatnya yang tidak lurus lagi, tidak bisa saja Tuhan menilainya sebagai suatu kebaikan.

Diantara manusia tersedia yang berkurban karena menjadi ’tidak enak’ oleh tetangganya. ”Orang sanggup kok tidak berkurban, apa kata dunia?” Padahal cuma soal membayar pajak yang boleh sambil bilang begitu.

Diantara mereka juga tersedia yang berkurban untuk hanyalah pameran. ”Lihat nih, hewan kurban gue yang paling gede!”

Ada pula yang berkurban untuk beragam alasan lainnya tak hanya mendekatkan diri kepada Tuhan.


Ibadah telah beralih menjadi hanyalah ritual yang hampa bakal makna.


Maka lumrah jikalau para hewan yang dikurbankan itu menjadi pengorbanannya tidak lagi punya nilai spiritual seperti halnya yang diajarkan Tuhan kepada Ibrahim.

Domba-domba aku bercerita berkenaan betapa banyaknya manusia yang mengira bahwa kurbannya bakal diterima oleh Tuhan. Padahal, Tuhan telah berfirman bahwa tidak sedikitpun anggota dari hewan kurban itu bakal hingga kepada-Nya. Tidak dagingnya. Tidak darahnya. Bahkan tidak sama sekali cuma sehelai bulunya.

Domba-domba aku bercerita berkenaan betapa sedihnya mereka lihat tingkah polah manusia yang telah kehilangan esensi dari kurbannya. Mereka cuma lihat jasad kasar hewan-hewan yang dikurbankan.

Padahal hakekat dari kurban melampaui batasan-batasan kasat mata belaka. Karena hakekat kurban adalah prinsip untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang tetap berkeliaran di dalam diri kita.

Binatang tidak malu membuka-buka aurat didepan umum. Kita berkurban, tetapi senantiasa berbangga hati bersama aurat-aurat yang kita perlihatkan. Binatang tidak segan untuk merebut makanan milik teman. Kita berkurban, tetapi tetap berani merampas harta benda yang bukan hak kita.

Binatang tidak sungkan untuk mengumbar syahwat di mana saja dan bersama siapa saja. Kita berkurban, tetapi tidak lagi menghiraukan siapa yang muhrim dan siapa yang haram untuk terjalin intim.

Binatang juga berprinsip siapa yang paling kuat fisiknya, dialah yang menjadi rajanya. Kita berkurban, tetapi tetap gemar menerapkan hukum Hutan agar akal dan nurani kita tidak lagi bermanfaat sebagaimana mestinya.

Domba-domba aku bercerita, betapa sedihnya mereka lihat tingkah polah manusia yang berkurban tetapi senantiasa melepaskan hidup sifat-sifat kebinatangan di dalam dirinya.

Sehingga di hari raya Idul Adha, banyak orang yang kehilangan arti dari kurban yang dilakukannya. Diakhir pertemuan itu, domba-domba aku berpesan


”Jika engkau berkurban, maka luruskanlah niatmu cuma untuk Tuhanmu. Dan sembelihlah nafsu-nafsu kebinatangan di dalam dirimu. Maka aku bakal bersuka cita untuk menjadi simbol kurbanmu….”


Ketika domba aku hendak dikurbankan, dia nampak meneteskan air mata. Lalu aku bertanya;”Mengapa engkau menangis? Apakah aku belum meluruskan niatku?”

Domba aku berkata;”Sekarang aku menangis oleh rasa syukurku, karena Tuhan telah memilihku menjadi hewan kurbanmu….”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE