Mari Mengangkat Pena, Bukan Senjata

Belum juga tuntas isu terorisme Santoso CS di daerah Poso, beberapa bulan yang lalu kita pernah dikejutkan dengan penyanderaan beberapa warna negara Indonesia oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan Abu Sayyaf CS. Usut diusut, saat ini kelompok teroris ini berada di sekitar kawasan negara Filipina yang cukup dekat dengan negara Indonesia dan juga dikabarkan sudah melakukan gencatan senjata dengan militer negara Filipina yang menewaskan sekiatar 20 orang dari pihak militer dan juga 5 orang dari pihak teroris. Peristiwa ini lebih memiliki motif untuk tujuan finansial bagi kelancaran organisasi. Dan kita ketahui bersama, untuk 10 orang WNI, mereka meminta tebusan sekitar 15 milyar. Sebuah negara tidak boleh begitu saja memberikan apa yang mereka minta yang bisa menjadi kesimpulan bahwa kedaulatan sebuah negara bisa di ombang ambingkan oleh mereka. Namun apapun motif dan latar belakanganya, tindakan seperti ini tidak dapat diterima.

Advertisement

Isu teroris memang menjadi problem bagi setiap negara dimanapun. Ancaman kedaulatan sebuah negara, itulah yang menjadi perhatian besar dari adanya tindakan terorisme. Di Indonesia sendiri, isu ini seketika seolah lenyap namun juga seketika muncul. Beberapa waktu terhenti, kemudian gencar kembali. Hal ini juga tidak terlepas dari kuatnya jaringan terorisme yang ada, yang mungkin jika kita dapat menelusurinya akan menjadi sebuah jaringan yang saling mempertemukan serta berhubungan satu dengan yang lainnya. Kita mengetahui bersama dari beberapa media ditelevisi bahwa dari penyanderaan kali ini yang dilakukan oleh teroris, ada yang memiliki alternatif untuk dinegosiasi oleh salah seorang tersangka peristiwa bom yang ada di Bali. Dari sini saja kita dapat melihat bagaimana hubungan yang tentunya sudah ada dari pelaku teroris beberapa tahun silang dengan teroris yang muncul saat ini.Namun hal ini jelas bukanlah hal yang bagus juga jika negara harus “mengalah” kepada mereka.

Salah satu motif dari terorisme adalah mengatas namakan jihad atau agama, yang banyak ditujukan pada Islam. Stigma ini muncul dari pengakuan sang teroris sendiri yang banyak mengatasnamakan jihad dalam Islam yang diklaim sedari dulu dilakukan oleh para pejuang Islam dimasa awal. Landasan yang banyak muncul dari para teroris ini muncul atau sering diinspirasi dari kekeliruan pemahaman terhadap teks keagamaan Islam, khususnya dari al-Qur’an. Salah satu ayat yang sering digunakan sebagai klaim jihad adalah surat at-Taubah ayat 73 yang memerintahkan Nabi untuk bertindak tegas kepada orang kafir dan munafiq. Namun dalam konteks saat itu, Nabi pada posisi membela diri dari serangan dan juga ancaman orang-oranng kafir dan munafiq dan oleh karenanya lah ayat ini turun.

Apa yang kita lihat dari peristiwa dan juga turunnya teks ayat at-Taubah 73 ini seperti seorang dokter yang hendak mengamputasi pasiennya setelah penyakit yang ada dikhawatirkan justru akan merusak seluruh tubuh pasien. Amputasi adalah langkah terakhir untuk mencegah lebih banyak lagi kemudharatan yang timbul bagi si pasien. Dari sini kita bisa ambil persamaan dengan tindakan jihad yang Allah perbolehkan kepada Nabi sebagai bentuk pembelaan atas ancaman bukan atas dasar kekuasaan dan juga klaim kebenaran. Dari kehidupan keseharian beliaupun kita pasti sudah sama-sama setuju bahwa Nabi adalah sosok yang bijaksana dan santun kepada setiap orang tidak hanya yang baik padanya bahkan orang yang jahat sekalipun. Beliau selalu mengedepankan aspek ukhuwwah dalam setiap kehidupan tanpa membedakan agama. Jikalau berdakwahpun, beliau selalu memberi kesan ramah dan juga santun tanpa adanya unsur paksaan.

Advertisement

Dalam era saat ini, spirit jihadlah yang perlu kita ambil, bukan bingkainya yang berupa perang seperti masa awal Islam yang penuh dengan pertumpahan darah. Dalam salah satu karya mengenai Ijtihad, Syaikh Yusuf al-Qardlawi mengatakan bahwa kata jihad dan juga ijtihad memilki akar kata yang sama yaitu jim-ha-dal. Dalam mengeksplore mengenai makna/istilah jihad dan juga ijtihad , beliau mengatakan perbedaan antara keduanya adalah jika jihad dahulu adalah mengangkat pedang untuk perang, maka ijtihad adalah mengangkat pena untuk membuat pembaharuan. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jihad dalam konteks sekarang adalah lebih baik dilakukan dalam bentuk tulisan atau karya. Tentunya bukan hanya sekedar karya, tetapi karya yang harus mampu membuat perubahan atau mengandung unsur kebaruan. Karya-karya atau tulisan ini dilakukan dengan sepenuh hati, jiwa dan raga layaknya ketika masa Nabi yang berperang dengan seluruh hati, jiwa dan juga raganya demi perubahan Islam yang lebih baik.

Para ulama Islam sebenarnya sudah banyak yang mempraktikkan hal ini ketika membuat karya. Kita tahu bagaimana karya hadis seperti Imam Bukhari yang membutuhkan rihlah keberbagai daerah bahkan negara hanya untuk menemukan sebuah hadis, Mazahib al-Arba’ah yang harus membuat sampling ketika semisal menentukan masa sedikit, umum dan lamanya seorang perempuan yang haid, al-Ghazali yang mencoba mengawinkan tradisi filsafat dengan keagamaan dalam karyanya al-Mushtashfa. hingga Muhammad Abduh yang dikenal sebagai tokoh pembaharu yang populer dengan konsep adabi ijtima’i dalam tafsirnya. Tentu banyak sekali karya-karya yang sudah melegenda dalam berbagai bidang atau fan keilmuan. Apakah semua ini hanya kebetulan ? tentunya tidak. Beliau-beliau adalah sosok-sosok yang harus menjadi teladan bagi pemaknaan dan pemahan jihad untuk masa saat ini, dimana perang ideologi lah yang akan menetukan.

Arus globalisasi yang tak dapat dibendung seakan membuat batas teritorial setiap negara menjadi tidak terlihat. Informasi dari siapapun, dimanapun dan kapanpun dapat secara mudah didapatkan tanpa mengenal ruang dan waktu. Saat ini, jika kita tidak mampu untuk membuat filter dari ini semua maka kita hanya akan mengikuti arus tanpa bisa tegak berdiri. Sudah banyak bukti bahwa sebuah kebudayaan bisa bergeser atau berubah dengan budaya yang datang. Namun, kita bisa memilih mana yang bisa kita ambil baiknya, dan kita buang yang tidak baiknya. Hanya dengan karya, gagasan, ide serta tindakan yang baiklah kita bisa menjadi manusia yang lebih baik dimanapun kita berada. Semoga kita selalu mendapat bimbingan dari Allah swt.dalam setiap langkah dan tindakan kita. Wallahu a’lamu bi ash-shawab…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sekaligus Nyantri PP. Aji Mahasiswa al-Muhsin Krapyak

CLOSE