“Perang di Ranjang”: Tidur dan Kekalahan Tempur

Pada tanggal 29 Desember kemarin, isu keamanan dalam negeri Indonesia mendapat berita hangat. Sebuah kelompok bersenjata yang bergerilya di hutan-hutan Aceh telah “kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi” kelompok ini dipimpin oleh mantan pejuang GAM yang social-media literate bernama Din Minimi.

Keputusan kelompok Din untuk mengakhiri perlawanannya difasilitasi oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang secara simbolik dipimpin langsung oleh sang kepala: Sutiyoso. Kepala lembaga Bandung Kalibata ini menunjukkan bahasa tubuh yang bersahabat kepada Din, bahkan memberi jaminan kepada Din untuk mengabulkan permintaan-permintaannya. Untuk memberi gambaran lebih jelas mengenai keberhasilan dari pendekatan Sutiyoso, ia bahkan menyatakan bahwa dalam menyelesaikan persoalan ini, Sutiyoso harus menginap di rumah keluarga Din.

Apa yang sangat spesial dari keberhasilan Sutiyoso menginap di kediaman Din ?

Tidur: Privasi dan Kelengahan

Ruang tidur di dalam tata ruang rumah masyarakat pada umumnya adalah ruang yang tak begitu saja bisa dimasuki oleh “orang asing”. Di dalam ruang tidur, ada banyak privasi yang tidak bisa diusik oleh orang sembarangan. Betapapun sederhananya sebuah rumah, sang pemilik pasti mengusahakan untuk membangun sekat antara ruang tidur dengan ruangan lainnya. Selain untuk alasan kenyamanan dan kepatutan, pilihan menyekat tersebut dapat dilihat sebagai proteksi pemilik rumah terhadap hal-hal privat di dalam kamar tidur.

Pada kebudayaan patriarkis Jawa, terdapat generalisasi bahwa tugas perempuan hanya ada di tiga area rumah “kasur, dapur, dan sumur”. Kasur di dalam konteks ini merepresentasikan kewajiban perempuan melayani suaminya pada persoalan privat yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun.

Jika tidur adalah hal privat, maka bagaimana kita membaca “tidur bersama” ? Sederhana saja, tidur bersama dapat diterjemahkan sebagai keinginan seseorang untuk berbagi privasi. Seperti halnya ketika antar teman saling menginap atau ketika perempuan dalam imajinasi patriarkis menjalankan kewajibannya di kasur, mereka sedang membiarkan orang lain memasuki wilayah privatnya.

Pada konteks yang berbeda, pada kesiapsiagaan dalam militer, tidur dianggap sebagai bentuk kelalaian. Jatuh ke alam mimpi sama saja menyerahkan diri untuk dihukum. Tidur adalah pelanggaran yang dapat memberi dampak membahayakan pada kamerad dan keselamatan pasukan, juga kepada keamanan persenjataan serta aset. Tentu ini tak berlebihan karena pada kondisi tidur, secara fisik manusia memang lalai dan lengah. Bunga tidur dan mimpi dianggap tidak bisa memberikan argumen sehat, sehingga meskipun otak tetap bekerja ketika tertidur, tidur tetap ditandai sebagai ketidaksiapan.

Kelengahan berujung Kekalahan

Pada buku Operasi Sandi Yudha, A.M. Hendropriyono menyebutkan bahwa dalam mendekati seorang pemimpin perlawanan di Kalimantan, ia sampai-sampai harus tidur bersamanya di kamar tidur utama. Hendro bahkan menambahkan bahwa ia tidur di kasur bersama sepasang suami istri.

Cara Hendro melihat keberhasilan “tidur bersama” dapat disandingkan dengan cara Sutiyoso melihat hal yang sama pada kasus Din Minimi. Keberhasilan Hendro dan Sutiyoso untuk tidur bersama para pemimpin perlawanan tentu hanya bisa terjadi ketika para resisten itu menyerahkan diri kepada mereka. Sebagaimana ide tidur dalam kesiapsiagaan yang dianggap sebagai kelalaian, kedua purnawirawan ini menganggap bahwa keputusan para pemimpin itu untuk tidur bersama mereka adalah bentuk kelengahan yang berujung pada kekalahan. Tak ubahnya dalam film-film spionase dan agen rahasia, tidur bersama target selalu dinarasikan sebagai peluang untuk menggali sebanyak mungkin informasi dalam kelengahan. Berpindahnya seluruh informasi dari tangan lawan ke tangan “kita” dapat dianggap sebagai kemenangan mutlak dalam perang akal.

Sejalan dengan ide perang, pada pemikiran tertua mengenai strategi, Clausewitz mengatakan bahwa pada intinya perang adalah usaha dengan kekerasan melemahkan lawan dan membuat lawan sadar bahwa kepentingannya tidak lagi bisa dicapai. Hanya saja sepertinya ide Clausewitz dapat direvisi bahwa melemahkan lawan tidak harus dengan gelar kekerasan besar-besaran, tetapi dapat melalui kesempatan tidur bersama. Sepakat ?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini