Tax Amnesty, Bank Syariah dan Keadilan

Sejak indonesia menganut rezim devisa bebas, masyarakat mulai melirik negara-negara dengan pajak rendah (tax haven) sebagai destinasi penyimpan kekayaannya baik yang berbentuk asset atau uang, seperti Singapura, Swiss, dan Hongkong. Tarif pajak yang tinggi menyebabkan wajib pajak enggan menyimpan kekayaannya di bank domestik, karena tarif pajak akan konvergen atau berbanding lurus dengan nilai asset atau kekayaan.

Rezim ini memberikan celah kepada warga negara indonesia (WNI) mentransfer kekayaannya ke negara manapun. Berbeda dengan Malaysia dan Thailand. Di Malaysia, devisa hasil ekspor harus di simpan terlebih dahulu di perbankan malaysia. Di Thailand, devisa tidak hanya harus disimpan di perbankan domestik, tetapi harus dikonversi kedalam valuta domestik terlebih dahulu.

Di Indonesia, pajak merupakan item pendapatan yang dominan dalam APBN. Dengan prosentase pendapatan dalam APBN mencapai sekitar 85%. Sehingga keberadaanya sangat vital dalam mempengaruhi belanja pemerintah.

Tahun 2015 lalu, realisasi pajak yang dipatok dari anggaran meleset sebesar 85%. Defisit yang dipatok 2,1% bertambah menjadi 2,6% dari PDB. Pembengkakan tersebut otomatis membuat pembiayaan dalam bentuk utang naik dari Rp 222 triliun menjadi Rp 318 triliun.

Kondisi ini menjadikan pemerintah indonesia melirik kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) untuk menarik kembali devisa yang ada di luar negeri. Tax amnesty sendiri merupakan kebijakan penghapusan pajak kepada wajib pajak yang selama ini belum pernah atau atau tidak sepenuhnya membayar pajak atas harta mereka baik berupa pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dalam jangka yang ditetapkan Undang-Undang.

Kebijakan ini diprediksi cukup potensial dalam mangatasi defisit anggaran. Diperkirakan pendapatan yang akan diperoleh pemerintah sekitar Rp165 trilyun. Dan dana repratiasi yang masuk diprediksi mencapai kurang lebih Rp1000 trilyun. Di satu sisi penerimaan pajak yang diperoleh juga akan meningkatkan tax ratio indonesia. Untuk menampung aliran dana ini, pemerintah telah menunjuk setidaknya 18 bank persepsi.

Sekilas kebijakan ini benar-benar tepat. Tetapi apakah demikian? Jika para pembangkang pajak yang menyimpan kekayaannya di luar negeri mendapat pengampunan pajak, bagaimana posisi jutaan rakyat lainnya yang taat membayar pajak selama ini? Pemerintah terkesan “kejar setoran” ?

Kebijakan tax amnesty sangat abai terhadap keadilan. Semua warga negara seharusnya mendapat kedudukan yang sama di depan hukum. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 mengenai hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Kenyataan yang juga sangat disayangkan adalah terlibatnya bank syariah dalam menampung dana repatriasi. Dari 18 bank yang ditunjuk pemerintah sebagai bank persepsi, salah satu diantaranya adalah Bank Syariah Mandiri (BSM).

BSM telah menyiapkan instrumen mudharabah muqayyadah on balance sheet dan juga private placement pada surat berharga syariah Negara. BSM menyatakan siap menampung dana sebanyak Rp.10 trilyun. BSM juga diharuskan untuk merahasiakan identitas partisipan tax amnesty.

Kita sadar bank syariah bukanlah entitas sosial yang non profit oriented, tetapi entitas bisni yang profit oriented. Meskipun selama ini mereka selalu mengaku falah oriented (yang berarti kemeangan dunia akhirat). Namun kenyataan yang ada justru sebaliknya (contradicto in terminis). Maka wajar saja jika bank syariah bersedia menampung dana repatriasi dari para pembangkang pajak.

Ini bukan soal halal atau haramnya bank syariah dalam partisipasinya sebagai bank persepsi. Karena hanya DSN-MUI yang berhak membuat justifikasi halal/haram lembaga keuangan syariah (LKS) Ini hanya soal moralitas bank syariah. Jangan sampai stigma masyarakat bahwa bank syariah sama dengan bank konvensional semakin melekat.

Menerima untuk menampung dana repatriasi memang sangat bonafid dari segi bisnis. Namun jika kebijakan ini sudah menciderai keadilan, apakah bank syariah masih pantas untuk terlibat? Bagaimana dengan prinsip bank syariah yang selalu mengagungkan prinsip al-adalah (keadilan)? Bukankah selama ini kita mengutuk kapitalisme karena ketidakadilannya? Mungkin semua pertanyaan ini secara metaforis hanya bisa dijawab oleh Gus Mus, “Janganlah setan terang-terangan engkau laknati dan diam-diam engkau ikuti.”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini