Tentang Sebuah Kemutlakan Tuhan Bernama ‘Perpisahan’

Perpisahan. Pernah membuatku perlahan berbisik kepada Tuhan selepas solat dhuhur di belakangmu. Untuk lebih lama memberhentikan matahari, meski hanya beberapa detik. Doa dengan ketidakmungkinan yang dilontarkan dengan ketidakwarasan. Karena ketidaksanggupanku menerima kenyataan mengapa pertemuan kita terasa begitu singkat.

Advertisement

Ah! Perpisahan. Pernah membuatku diam-diam berdoa di boncenganmu. Meminta kepada Dzat Yang Maha Berhak untuk mengulur-ulur waktu. Memohon kepadaNya agar ada pertemuan-pertemuan berikutnya. Hingga akhirnya sampai pada titik pertemuan tanpa perpisahan apapun selain permintaan pulang dariNya.

Perpisahan. Pernah membuatku menyuruhmu lekas-lekas pergi dari hadapanku. Karena sejenak logikaku tidak siap dengan perpisahan yang sebentar lagi mengakhiri pertemuan kita. Aku malu jika kau harus melihatku menangis. Aku tidak ingin kerapuhanku terbongkar olehmu. Aku sungguh, tidak sanggup menahan apapun yang ingin tumpah saat itu. Maka, aku menyuruhmu segera meninggalkanku sebelum pertahananku runtuh untuk tidak menyesali apapun.

Perpisahan.Pernah membuatku menangis sejadi-jadinya di stasiun. Bahkan, dalam gerbong kereta api yang membawa tubuhku semakin menjauhimu kala itu. Sepanjang sang ular besi melaju, menyelesaikan jarak tempuhnya dari Stasiun Tugu Yogyakarta hingga Stasiun Gubeng Surabaya, selama itu aku tak berhasil memberhentikan air mataku.

Advertisement

Perpisahan. Sejak saat itu, hingga saat ini, selalu, menyemai tunas-tunas rindu yang makin hari makin bertumbuh. Semakin merimbun ketika perpisahan yang tak kunjung disambut lagi dengan pertemuan. Seseorang di Yogyakarta, aku teramat kangen. Harus bagaimana ini? Bahkan pengalihan apapun tak sanggup meredakan ini semua. Tidak ada yang lain, yang bisa kulakukan.

Selain menangis, merengek sebuah pertemuan lewat doa, juga meruntuki perpisahan, dan memakinya habis-habisan. saat ini, selalu, menyemai tunas-tunas rindu yang makin hari makin bertumbuh. Semakin merimbun ketika perpisahan yang tak kunjung disambut lagi dengan pertemuan. Seseorang di Yogyakarta, aku teramat kangen. Harus bagaimana ini? Bahkan pengalihan apapun tak sanggup meredakan ini semua. Tidak ada yang lain, yang bisa kulakukan. Selain menangis, merengek sebuah pertemuan lewat doa, juga meruntuki perpisahan, dan memakinya habis-habisan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ajak saya menelusuri kedalaman kata, kemudian ajari saya tentang kepekaan rasa. :)

CLOSE