Teruntuk “Kakakku”: Kuharap Kamu Dapat Memahami Perasaanku yang Lama Terpendam Padamu

“Persahabatan kita sudah menginjak tahun ketiga, Kak”

Advertisement

Sejarah persahabatan kita memang kompleks. Banyak hal kita lalui bersama, baik itu hal-hal yang menyenangkan hingga sesuatu yang tidak mengenakkan. Kita melaluinya dengan canda tawa. Terkadang kita saling ngambek satu sama lain dan tak ayal hal menyedihkan pun kita masih saling menguatkan juga.

Mungkin Kakak masih berpikir bahwa itulah gunanya teman. Selalu ada saat suka maupun duka. Namun tahukah Kakak, sebenarnya aku mengharapkan lebih dari teman?

Sebenarnya aku tak percaya akan cinta pada pandangan pertama. Namun lima detik melihatmu itu, sungguh mempesona sehingga aku lupa daratan.

Aku dapat mengingat dengan jelas, bagaimana kita saling mengenal satu sama lain kala itu. Tiga tahun yang lalu, aku hanya junior internasional dari Indonesia di fakultas kita, yang masih tak tahu apa-apa soal negaramu. Saat itu, aku tak paham mengapa ada boks drinking water yang mempunyai tiga shaf dan satu gelas di masing-masing shaf dengan sejumlah anak manusia berbaris di depannya dan mengantri gilirannya untuk minum.

Advertisement

Mungkin aku yang terlalu bodoh saat bergumam pada teman sekelasku yang orang lokal, bahwa hal itu tidak higienis. Sebab gelas itu digunakan ratusan air liur dari ratusan mahasiswa kampus kita, sehingga kamu dapat mendengarkan ocehanku yang tak penting itu.

Saat itulah mata kami bertemu.

Advertisement

Momen itu membuatku menahan nafasku sekian detik. Telah berdiri di hadapanku, sesosok pria yang bertubuh tinggi dengan badan yang berisi, sorot mata tajam, dan bulat walaupun harus berbingkai kacamata. Garis kontur wajah yang tegas serta tulang hidung yang tinggi dan mancung seperti halnya orang India kebanyakan, telah menghipnotisku dan membuat lupa daratan.

Kakak pun kurasa sama terpananya kala melihatku yang berwajah oriental ini. Namun aku tak tahu apa yang kamu pikirkan saat itu. Hingga akhirnya, dengan sabar dan dengan bahasa Inggrismu yang terbata-bata menjelaskan padaku bahwa kita tidak “mengecup” bibir gelasnya kala kita menggunakan drinking water box itu. Sehingga tidak terjadi resiko penularan penyakit melalui air liur dari ratusan mulut para mahasiswa di kampus ini.

Lalu Kakak bertanya pada temanku mengenai aku. Aku tak tahu apa yang kalian bicarakan saat itu.

Hingga pada suatu kesempatan, kamu menghubungiku lebih dulu! Entah bagaimana caranya kamu bisa dapat nomor WhatsApp-ku.

Kak, apakah kamu menyadari bahwa momen itu adalah momen terindah dalam hidupku? Ketika untuk pertama kalinya, kamu menyapaku dan berbicara denganku. Ketika kamu menjelaskan bahwa itu adalah Kakak yang berbicara denganku, aku senang bukan main hingga membuatku turun dari kasur dan menjerit kegirangan dan merapikan tatanan rambutku, agar aku tampak cantik walaupun aku tahu Kakak bahan tak dapat melihatku.

Walaupun kita berbicara hal yang sepele, namun cukuplah untuk membuatku lupa waktu. Entah bagaimana kamu bisa mendapatkan nomor WhatsApp-ku. Kamu membuatku menjelaskan tentang Indonesia padamu dan kamu juga menceritakan India dan masyarakatnya dari sisi yang lain.

Walaupun kita hanya berbincang-bincang melalui aplikasi chatting dan tidak berbicara di dunia nyata (aku tak pernah tahu ke mana dirimu ketika waktu istirahat siang tiba), hal itu cukup membuatku senang.

Hingga aku tak melihat ada yang aneh denganmu dan pola komunikasi kita.

Saat itu, aku hanya berpikir bahwa mungkin kamu malu untuk melakukannya di depan teman-temanmu. Namun aku tak menghiraukan itu sebab saat itu cinta mulai menutup logikaku dan meniupkan sukmanya ke dalam hatiku. Sehingga apapun yang kamu lakukan adalah sempurna bagiku, sampai aku tidak menemukan keganjilan dalam dirimu.

Ya! Kini aku yakin bahwa aku telah jatuh cinta padamu.

Semua begitu indah. Hingga akhirnya, aku mengetahui sesuatu yang berusaha kamu tutupi dariku, yang membuat sayap cintaku patah.

Ya! Aku memang telah kalah sebelum berperang. Kini terjawab sudah di mana kamu selalu bersembunyi ketika bel istirahat tiba.

Kamu telah memiliki kekasih. Maka tak heran batang hidungmu tak nampak ketika bel istirahat tiba.

Terus terang saja, mengapa tak kamu ungkapkan padaku lebih awal? Mengapa kamu tak pernah bercerita tentangnya kepadaku? Sehingga aku tak harus mengharapkanmu seperti ini. Aku sempat mengira bahwa kamu juga seperti aku adanya: single. Di hadapanku, kamu berusaha tampak seperti single. Tetapi ternyata tidak. Aku semakin kecewa karena statusmu kudengar dari kawanmu, bukan dari mulutmu sendiri.

Kini aku semakin mengerti apa yang kamu pikirkan tentangku. Kepada temanmu, kamu berkata bahwa aku hanyalah “adik”mu. Tidak lebih dan tidak kurang. Kak, ini menyakitkanku! Mengapa tak kamu tegaskan saja dari awal bahwa kita adalah kakak-adik?

Kamu anggap apa aku ini sehingga kamu membuatku terlena dengan kata manismu, perhatianmu, dan segala yang kamu lakukan (yang katanya) hanya untukku? Ternyata aku tak pernah menghiasi hatimu. Bahkan tak pernah membuat jantungmu menari poco-poco seperti yang telah kamu lakukan padaku. Aku patah hati, Kak! Sakit sesakit-sakitnya.

Sebaiknya aku mundur saja. Karena aku tak mau merusak kebahagiaan kalian. Aku juga wanita biasa yang menginginkan cinta. Tetapi tidak dengan merebut apel yang sudah digigit.

Ternyata kisah kita tak hanya sampai di situ. Kamu pun masih getol mendekatiku. Mungkin, kini saatnya aku yang mengurangi ekspektasiku padamu dan perlahan membunuh cinta yang mulai tumbuh subur karenamu.

Sangat sulit menjauh darimu, Kak. Pertama, karena kita berada satu fakultas. Itu artinya, aku harus melihatmu setiap hari, di gedung yang sama fakultas kita. Kelas kita pun berdampingan. Kedua, bagaimana aku dapat move on darimu kalau kamu saja masih mengontakku seperti dulu, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa di antara kita?

Kak, lebih baik lepaskan aku. Aku tak ingin membuat pacarmu yang cantik itu, salah paham terhadap kita sehingga aku pula yang kena getahnya. Aku akan baik-baik saja tanpamu. Sungguh!”

Bersikap biasa padamu pun adalah hal tersulit bagiku, saat menghadapi orang yang baru saja menolakku. Bahkan sebelum sempat aku mengajukan proposal. Namun aku berhasil walaupun gelenyar nyeri itu masih terasa kala kamu masih menyapaku, ketika kita berpapasan di suatu tempat. Tetapi bedanya, kini kamu mulai menceritakan satu demi satu tentangnya.

Tentang bagaimana kamu berjumpa dengannya pertama kali di kelas Literatur. Hubungan kalian yang telah menginjak hampir dua tahun, yang kamu sukai tentangnya, serta terkadang konflik di antara kalian.

Mungkin seharusnya akulah yang mengurangi harapanku dan mulai melihatmu sebagai teman dekatku.

Walaupun kita tak bisa lebih dekat lagi sebagai seseorang yang lebih dari sekadar teman, aku cukup senang karena kamu mulai mempercayaiku dan berusaha selalu ada untukku. Walaupun waktumu harus kamu bagi empat. Antara skripsi, keluarga, pacarmu yang cantik, dan aku. Terima kasih kamu sudah mempercayaiku.

Terima kasih atas traktiranmu ketika kamu tahu aku sedang menderita sindrom akhir bulan atau mau mengajariku mata kuliah yang aku tak mengerti.

Kamu sangat serasi bila disandingkan dengan pacarmu yang cantik itu. Kalian berbagi budaya yang sama, bahasa yang sama, agama yang sama, dan pemikiran yang sama.

Kini aku mulai berusaha ikhlas dan lebih menerima kenyataan. Mungkin kamu tidak akan siap bila kita bersama. Kita memiliki banyak perbedaan. Perbedaan kewarganegaraan, perbedaan budaya, bahasa, agama, tingkah laku, serta jalan pikiran. Nampaknya kamu tidak siap menghadapi perbedaan yang kita punya. Sekalipun cinta dapat menerima perbedaan, ada kalanya ia akan berhenti pada batasnya ketika kita sudah tak sanggup lagi menghadapi perbedaan.

Selamanya Kak, kamu akan terus menjadi sahabat terbaikku di negeri ini. Kamulah alasan yang akan membuatku selalu merindukan India. Kamu adalah salah satu cerita menarik dari negeri Gandhi yang dapat kuceritakan pada anak cucuku nanti. Kuharap selamanya takkan berubah. Kuharap kakak bahagia dengannya hingga kalian melangkah bersama-sama di depan altar gereja nanti untuk mengesahkan status kalian sebagai suami-istri.

Bila saat itu tiba, kamu harus mengundangku. Harus. Tidak boleh tidak.

Meskipun aku telah merelakan semuanya demi kebahagiaanmu, apakah kamu pernah menyadari perasaan sukaku padamu ini?

Biarpun aku telah ikhlaskan semuanya. Namun ada satu pertanyaan yang sangat ingin aku ketahui darimu.

Apakah kakak pernah mengerti akan cinta yang dulu kamu semai di hatiku?

Aku tidak ingin kamu merasa pertanyaanku ini seolah-olah aku memintamu untuk mencintaiku. Tidak! Aku tidak berniat begitu. Namun aku hanya ingin kamu sadari, bahwa ketika kamu pergi ke flatku di tengah malam, siapa yang membuatmu tertawa ketika aku tahu kamu hampir menangis? Lalu, siapa yang membuatmu mengirimkan setangkai bunga mawar untuk pacarmu ketika kalian bertengkar?

Siapa yang secara sukarela membantumu melakukan persebaran data yang kamu perlukan untuk skripsimu? Siapa yang kamu hubungi di tengah malam ketika kamu tak bisa tidur? Yang paham akan selera humormu? Yang paham lagu kesukaanmu? Yang tahu akan mimpi-mimpi dan ambisimu di masa depan?

Tidak usah dijawab, Kak. Kita toh sama-sama tahu jawabannya. Aku toh juga tidak membutuhkan pengakuan darimu. Namun satu yang harus kakak tahu, bahwa aku akan tetap menyukaimu dan akan selalu mengusahakan apapun untuk kebahagiaanmu. Aku akan selalu ada untukmu, kapanpun kamu membutuhkanku.

Dariku,

Adik ketemu gede yang akan selalu menyayangimu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Act like a politician, think like a journalist

CLOSE