Tinggalkan Fanatisme dan Hargai Pluralisme

Tinggal beberapa hari, kita semua akan menyambut datangnya pergantian tahun. Begitu banyak fenomena yang sudah terjadi di tahun 2016. Salah satu fenomena yang menjadi penutup di ujung tahun ini adalah kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubenur non-aktif Basuki Tjahaja Purnama, atau kerap disapa Ahok. Kejadian bermula, ketika Pak Ahok dalam suatu kesempatan pidatonya di pulau seribu, menyinggung salah satu surat dalam kitab suci Al-Qur’an yang digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan dirinya. Beragam tanggapan hadir dari masyarakat. Di satu pihak ada yang mengatakan Pak Ahok telah menistakan agama, namun di lain pihak ada yang menganggap Pak Ahok tidak secara harfiah menistakan agama.

Tanggapan-tanggapan itu hampir semuanya di sampaikan melalui dunia maya. Tidak heran, bila akhir-akhir ini beranda akun media sosial kita –twitter, facebook, dan lainya– dipenuhi dengan berbagai postingan terkait dengan kasus itu. Ada yang hanya sekedar men-share berita dari laman daring dan ada juga yang membuat artikel mengenai kasus itu. Semua tanggapan itu (menurut penulis) memiliki satu semangat yang sama yaitu semangat untuk mengungkapkan pendapat. Semua polemik perbedaan itu jangan disikapi sebagai kemunduran suatu bangsa, tapi hal itu harus dipandang sebagai pencerdasan dalam demokrasi kita.

Selain tanggapan-tanggapan yang beredar luas di dunia maya, tidak sedikit masyarakat yang memutuskan terjun langsung ke jalan untuk mengungkapkan pendapatnya perihal kasus penistaan agama ini. Aksi turun ke jalan ini dinamai dengan aksi 212. Tuntutan dari aksi tersebut yaitu segera usut kasus Pak Ahok. Berbekal semangat untuk membela agama, hampir semua masyarakat kita –dari jawa sampai luar Jawa– berkumpul di Ibu kota Jakarta. Selain menyampaiakan tuntutanya, aksi 212 itu juga diisi dengan acara kerohanian: sholat jum’at berjamaah, ceramah agama dan bersholawat bersama. Oleh sebab itu, selain disebut sebagai aksi 212, aksi itu juga disebut sebagai aksi super damai.

Seolah tidak mau melewatkan kesempatan, tetap saja ada beberapa pihak yang menggunakan aksi itu sebagai sarana untuk mencapai kepentinganya. Lihat saja di media sosial, banyak berita-berita simpang siur yang tidak jelas sumbernya yang mengatakan bahwa aksi itu sebagai bentuk pengingkaran kemajemukan. Pihak-pihak yang kontra seolah menjadi seorang pluralis dadakan yang justru membunuh pluralisme itu sendiri. Bahkan dengan sarkastiknya (kasar), para pengagung pluralis ini dengan tega menuduh gerakan aksi masa itu hanya dilandasi dengan uang 50 ribu dan nasi bungkus. Mari kita berfikir dengan akal sehat, jika tuduhan itu benar betapa ruginya orang-orang yang mengikuti aksi itu. Bayangkan ongkos transportasi, konsumsi dan lain-lain, yang dihabiskan oleh para penuntut itu (khususnya yang berasal dari luar Jakarta), saya yakin lebih besar dari uang 50 ribu dan nasi bungkus yang diterima (jika tuduhan itu benar).

Dalam tulisan ini, penulis bukan bermaksud membela dengan pihak yang pro terhadap aksi itu. Penulis sebisa mungkin netral (meskipun itu sulit). Beberapa hari yang lalu penulis sempat membaca berita yang menyebutkan bahwa ada salah satu Ormas yang melakukan razia di beberapa pusat perbelanjaan di Surabaya (Tempo, 22/12/2016). Aksi razia itu merupakan buntut dari fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pelarangan bagi umat muslim menggunakan atribut-atribut keagamaan non-muslim. Para anggota Ormas yang dikawal pihak kepolisian memasuki pusat perbelanjaan dengan tujuan untuk mensosialisasikan agar pegawai yang beragama muslim tidak menggunakan atribut-atribut agama lain.

Maaf sebelumnya, menurut penulis, hal tersebut terlalu berlebihan. Jika proses penegakan Aqidah itu memang sudah sangat urgent, maka sosialisasi melalui media –cetak, audio, dan visual– sudah cukup, tidak perlu, lah, melakukan tindakan tindakan razia, apalagi melibatkan aparatur Negara dalam prosesnya. “Kalau masih ada pemilik toko yang membandel, bagaimana?” Mungkin, akan muncul pertanyaan seperti itu. Disinilah pentingnya pendidikan politik, seharusnya, sejak jauh-jauh hari masyarakat sudah diberi bekal tentang pentingnya kesadaran politik. Jika masyarakat tercerahkan dan paham soal politik, maka penulis yakin, masyarakat bisa menolak dan bersikap kritis.

Dari dua fenomena yang sudah dijabarkan diatas, bagaimana kita harus bersikap? Salah satu sikap yang bisa kita ambil dan bisa kita jadikan bahan renungan adalah bersikap moderat. Bersikap moderat bukan berarti a-politis atau bersikap cuek-masa bodoh. Bersikap moderat bisa kita wujudkan dengan menumbuhkan sikap kritis dan tidak mudah percaya dengan fenomena yang ada. Dengan bersikap kritis, kita tidak akan jatuh dalam salah salah satu kutub yang justru membuat masyarakat semakin terpecah. Jika kita memang pro atau kontra terhadap tentang fenomena tertentu, jadilah pemihak yang tidak fanatik. Sikap fanatisme justru membuat kita buta terhadap realitas dan menganggap kepentingan golongan kita yang paling benar.

Sikap moderat bisa kita tauladani dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau kerap disapa Buya Hamka. Sikap moderat yang pernah ditunjukan Hamka bisa dilihat dalam biografinya yang berjudul Ayah. Dalam biografinya, Hamka Pernah menegur pengurus masjid di dekat rumahnya, karena menyetel sholawat melalui pengeras suara masjid pada pukul 3 pagi. Menurut Beliau, tindakan tersebut sangat mengganggu umat-umat lain yang sedang tertidur. Dari penulis roman Di Bawah Lindungan Ka’bah ini, kita bisa belajar, bahwa, Meskipun beliau tegas dalam Aqidah, tapi Beliau tetap menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme. Penulis ingin mengajak pembaca sekalian, mari kita tinggalakan fanatisme buta dan hargai pluralisme, karena Indonesia ada bukan untuk satu golongan, tapi untuk banyak golongan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Alumnus Universitas Negeri Surabaya | Akun Facebook: Achmad Soefandi