Untukmu, yang Pernah Ikut Memperjuangkan Kata ‘Kita’

Dulu kita selalu berpikir, kalau kebersamaan kita akan berlangsung selamanya. Berpikir ini semua akan mudah sampai seterusnya, kalau kita akan menjadi sepasang pada akhirnya. Tapi hei, lihatlah kita yang sekarang. Aku lebih ingin menyebutnya masing-masing dari kita.

Ketika kita dulu adalah dua sisi mata uang koin yang selalu bersebelahan, tiba-tiba kita menjadi dua arah mata angin bersebrangan yang sulit disatukan.

Ini sudah sangat lama, sejak hari-hari hangat kebersamaan kita berubah menjadi musim dingin yang tak berkesudahan. Sejak pertemuan dengan letupan-letupan degup jantung yang kencang dan teriakan kegirangan, berubah menjadi perdebatan panjang yang tak memiliki ujung. Kamu yang tetap bertahan dengan segala keegoisanmu, dan aku yang tetap bersikukuh dengan segala tuduhan tak beralasanku.

Kita pernah melewati hari terberat karena tak bisa lagi menyatukan hati dan pikiran, tapi kali itu “dua tahun” kita terpaksa harus berhenti di tengah jalan.

Tak sedikit waktu yang pernah kita habiskan bersama, tak banyak pula waktu yang kita punya pasca perang dingin sedikit mereda. Malam itu, dengan segenap keberanian, aku mengusulkan untuk benar-benar menyudahi saja. Kamu lihat ada kata “benar-benar” di sana kan? Hanya saja, berantem-baikan yang berulang-ulang adalah sebuah hubungan yang begitu melelahkan.

Tapi pada kenyataannya, seingin apapun seseorang untuk berpisah, akan tetap ada fase menyakitkan setelahnya.

Aku memang ingin mengakhiri semuanya, dan yang paling menyedihkan bukan pada saat kita saling meninggalkan dan berjalan bersebrangan. Yang paling menyakitkan adalah pada bagian ketika kamu menyetujuinya saja, ketika dengan mudahnya kamu bilang “ya, baiklah kalau itu yang kamu inginkan”.

Padahal, kalau saja kamu mau, kita bisa sedikit lebih lama bertahan, bukankah sesuatu tak akan pernah menjadi sebuah keputusan ketika kamu tak bisa mengiyakan?

Yang ini sedikit lucu. Sebelumnya, ada sedikit rasa tersesal yang menyelinap ketika aku mulai mengingat malam itu. Aku terus saja berpikir, kalau seandainya aku tak pernah bilang ingin menyudahi saja, akankah keadaan masih akan menjadi sama? Masihkah kita tetap bersama meski dengan luka yang kita punya? Apakah kita akan berpisah dengan cara yang berbeda, atau mungkin akan kembali memaafkan dan bertengkar lagi pada hari berikutnya?

Tapi kini, pikiran yang aku punya menjadi semakin terang terbuka. Karena yang terpenting, bukan ada atau tidaknya kita. Tetapi, bahagia atau tidaknya masing-masing dari kita.

Pada akhirnya, aku harus tau kenapa harus seperti ini jalannya, kenapa harus begini caranya. Jika seseorang bertanya bagaimana aku bisa sembuh seperti semula, jawabannya bukan karena kehadiran seseorang, bukan juga karena hebatnya seseorang yang turut berjuang.

Time heals what reason can not."

Itu benar, karena waktu adalah penyembuh segala macam luka. Lewat bergulirnya waktu, aku semakin memahami kenapa keputusan kita pada malam itu adalah sama. Kenapa kamu hanya ingin berjalan begitu saja, tanpa ada sedikitpun melakukan perlawanan apa-apa. Bagian yang terpenting adalah kebahagiaan aku dan kamu, bukan eksistensi kata kita.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Cuma penulis amatir tanpa dasar-dasar kepenulisan yang mahir.