5 Alasan Kenapa Orang Asia Kayak Indonesia, Demen Pakai Jasa ART. Beda dari Amrik atau Eropa

Budaya self service di Indonesia masih sulit dilakukan

Kehangatan hubungan Ashanty dengan mbak-mbak Asisten Rumah Tangga (ART)-nya, seringkali jadi objek kekaguman warganet Indonesia. Dari makan bareng-bareng hingga diajak pergi liburan ke luar negeri, sikap Ashanty yang memperlakukan para ART dan nanny-nya bak keluarga sendiri, selalu dipuji banyak orang. Bahkan akhirnya banyak juga yang serius ingin melamar jadi ART artis. Cuma itu jelas bukan gambaran umum dari nasib ART, nanny, pekerja domestik, atau ‘pembantu‘ (sebutan yang maknanya merendahkan tapi masih sering dipakai) di negeri ini.

Advertisement

Banyak ART yang diperlakukan semena-mena dan benar-benar hidup layaknya babu. Tanpa kontrak, jam kerja, atau sistem yang jelas. Hubungan ‘majikan’ dan ‘pembantu’ seperti inilah yang sering dikritik sebagai bentuk perbudakan modern. Meskipun problematis, nyatanya banyak orang Indonesia yang bergantung banget dengan tenaga ART. Uniknya, tahukah kamu kalau kultur seperti ini — memiliki ART atau nanny untuk membantu urusan rumah tangga, tampaknya cuma banyak ditemui di negara-negara Asia seperti Indonesia.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang jadi pekerja domestik dikirim ke negara-negara Asia atau Timur Tengah via daerah.sindonews.com

Di negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat, orang sekaya apapun biasa mengerjakan semua hal sendiri. Paling hanya kalangan bangsawan seperti keluarga Kerajaan Inggris yang punya staf rumah tangga atau nanny. Justru beda banget dengan realita di Indonesia atau negara-negara berkembang di Asia seperti Malaysia, Taiwan, atau negara Timur Tengah. Kenapa ya kira-kira bisa beda begitu? Yuk cari tahu jawabannya bareng Hipwee News & Feature.

Biaya buruh yang murah. Di negara maju, semua orang minta bayaran tinggi, akhirnya yang kaya sekalipun tidak kuat mengeluarkan duit untuk jasa asisten rumah tangga

Budget hire ART tidak terpikirkan oleh orang Barat, bersih-bersih rumah dan buang sampah sendiri~ via www.justjared.com

Alasan pertama yang sangat jelas adalah murahnya harga tenaga buruh. Masih ada orang yang mau dibayar rendah atau hanya sebatas UMR untuk melakukan pekerjaan domestik atau rumah tangga orang lain. Kualifikasinya juga tidak menuntut banyak, bahkan tidak perlu ijazah lulus sekolah. Di negara yang masih banyak warganya hanya lulus SD atau SMP seperti Indonesia, pekerjaan domestik seperti menjadi ART mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Advertisement

Bayangkan di negara-negara maju yang warganya bisa dibilang punya kualifikasi berimbang, semua orang bakal minta bayaran tinggi. Kalaupun ada jasa profesional yang membersihkan rumah atau mungkin spesialis penjaga anak, harga jasa mereka juga dihargai dengan sangat tinggi. Tidak ada juga yang bisa menyewa ART full time dan tinggal bersama.

Jurang lebar antara orang kaya dan miskin di negara-negara berkembang Asia, seringkali buat warganya putus asa. Warga kelas bawah akhirnya rela kerja apa aja

Ada yang ‘berlomba’ menghabiskan uang di mall, ada yang harus kerja serabutan untuk bertahan hidup via mysharing.co

Orang kaya terus tambah kaya, sedangkan orang miskin semakin miskin. Realita itu banyak ditemui di negara-negara berkembang seperti Indonesia karena tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih sangat tidak merata. Himpitan ekonomi yang seakan-akan tidak pernah berakhir, mendorong banyak rakyat miskin untuk melakukan pekerjaan apa pun demi sesuap nasi. Dari pekerjaan kasar sampai mengerjakan hal-hal kecil untuk orang lain, yang penting halal. 

Apalagi di era globalisasi, lingkupnya bukan cuma di dalam satu negara aja. Melimpahnya orang Indonesia yang mau bekerja seperti itu, membuat negara kita menjadi salah satu pemasok utama pekerja domestik di seluruh dunia. Contohnya di negara tetangga sendiri, Malaysia. Karena mungkin warganya sendiri tidak ada lagi yang mau jadi buruh domestik, Malaysia tiap tahunnya membutuhkan banyak jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk jadi ART di sana.

Advertisement

Minimnya sistem keamanan sosial juga jadi masalah. Bayangkan jika fasilitas seperti day care profesional bisa terjangkau di mana-mana, keluarga muda mungkin tak harus bergantung pada bantuan nanny 

Selain day care murah atau gratis di mana, bawa bayi ke kantor juga oke-oke aja. via id.pinterest.com

Di sisi lain, ketergantungan banyak warga Indonesia terhadap tenaga ART sebenarnya juga bisa sangat dipahami. Jika tidak ada jasa ART atau tenaga pengasuh yang terjangkau, pasti banyak ibu muda yang tidak bisa menyeimbangkan kehidupan berkeluarga dan karier profesionalnya. Beda ceritanya dengan situasi di negara maju dengan program jaminan sosial yang oke. Untuk menunjang kesejahteraan keluarga, pemerintah atau institusi di negara-negara tersebut biasanya punya fasilitas day care profesional sehingga kedua orangtua bisa tetap bekerja.

Belum lagi dengan adanya kultur ‘nanny‘ yang berbeda di sana. Di Amerika atau negara-negara Eropa, ‘nanny‘, ‘baby sitting‘, atau tugas mengasuh anak justru populer menjadi lowongan part time bagi remaja di sana. Jadi, remaja seusia SMA biasanya akan menawarkan jasa mereka untuk mengasuh anak tetangga atau kerabatnya. Selain meringankan beban orangtua si anak, baby sitter remaja ini juga bisa mendapatkan pelajaran penting tentang tanggung jawab.

Tapi bisa jadi fenomena terjadi karena perbedaan kultur negara-negara Barat dan Timur. Orang-orang Barat ‘kan terkenal individualismenya kuat, apa-apa sendiri~

Pasca lulus SMA, orang-orang Barat diharapkan untuk segera keluar rumah dan tinggal sendiri via www.hirerush.com

Mungkin juga ini masalah perbedaan kultur, bukan kesenjangan ekonomi atau kesempatan kerja. Memiliki ART atau nanny yang tinggal bersama di bawah satu atap, kayaknya memang tidak cocok dengan budaya Barat yang individualistik dan sangat menjaga privasi. Bahkan tinggal dengan orangtua sendiri pun, termasuk hal yang tidak pantas dilakukan jika sudah beranjak dewasa. Kecuali punya mansion atau kastil dengan banyak ruangan terpisah seperti keluarga Kerajaan Inggris, baru mereka mungkin bakal oke-oke aja punya pekerja full time yang tinggal bareng untuk waktu yang lama.

Penjelasan kultur lainnya mungkin terletak di sejarah kolonialisme yang berbeda. Jangan-jangan mental harus ‘dilayani’ dan ‘melayani’ itu justru mengakar kuat di negara-negara Asia karena pengalamannya sebagai kaum terjajah

Hierarki tuan dan majikan terus dilestarikan meski sudah merdeka~ via www.pinterest.com.au

Fakta yang lebih unik adalah ketika kita menyadari bahwa negara yang punya kultur ‘pembantu’ ini justru negara-negara yang dulunya terjajah. Sedangkan negara-negara penjajah seperti Belanda atau Inggris yang dulunya selalu dilayani ‘dayang-dayang’ pribumi, kini warganya malah lebih suka hidup mandiri. Bisa jadi, mental untuk selalu punya bawahan itu memang warisan zaman penjajahan. Meski telah merdeka, hubungan yang hierarkis tetap dipertahankan oleh kaum elit yang mungkin secara sengaja atau tidak sengaja justru ‘menjajah’ bangsa sendiri.

Kalau memang begitu adanya, semoga ke depan kita benar-benar bisa jadi bangsa yang lebih merdeka ya. Bukan cuma satu kelompok saja yang merdeka, sejahtera, dan mampu berkarya, tapi maju bersama-sama sebagai sebuah kesatuan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

An amateur writer.

CLOSE