Aksi Kartu Kuning Ketua BEM UI Terus Diperdebatkan. Lah, Terus Ngobrolin Masalah Asmatnya Kapan?

Kartu Kuning BEM UI

Minggu lalu, tepatnya hari Jumat (2/2), publik dikagetkan dengan aksi seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang mengacungkan ‘kartu kuning’ kepada Jokowi saat acara Dies Natalis ke-68 di Balairung UI. Zaadit Taqwa, yang juga Ketua BEM UI itu sampai diamankan dan digiring keluar ruangan oleh Paspampres. Sebelum mengacungkan kartu yang sebenarnya buku warna kuning itu, Zaadit juga meniup peluit.

Usai melakukan aksinya, Zaadit dan beberapa temannya menggelar jumpa pers. Dalam pertemuan itu ia menegaskan bahwa aksinya bukan tanpa alasan. Ia sebagai perwakilan BEM UI, ingin memperingatkan Presiden Joko Widodo bahwa masih banyak tugas-tugas yang belum terselesaikan. Tiga yang jadi sorotan mereka adalah wabah penyakit dan gizi buruk di Asmat Papua, rencana pemerintah mengangkat TNI/Polri menjadi gubernur, dan draft peraturan baru organisasi mahasiswa.

Aksi ini langsung mengundang berbagai reaksi. Dari yang menganggapnya nggak pantas, curiga ini ‘pesanan’ oknum tertentu, sampai memujinya sebagai bentuk kritik yang kreatif

Beragam komentar muncul terkait aksi Zaadit tersebut. Dari yang menganggap itu ditunggangi oknum tertentu, sampai memujinya dengan mengatakan itu bentuk kritik yang kreatif. Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi Saptopribowo, seperti dilansir Kompas , Jokowi sendiri mengatakan tak tersinggung dengan aksi Zaadit.

Mereka yang mengecam, menilai aksi Zaadit kurang sopan dan seharusnya juga dibarengi aksi langsung terjun ke Papua

“Kalian kan calon pemimpin, pemimpin siapa? Pemimpin rakyat. Lalu siapa yang harus kalian kenali? Ya rakyat itu. Cium aroma tubuhnya, cium keringatnya. Pahami penderitaan mereka, makan bersama mereka.” – Adian Napitulu, anggota DPR F-PDIP, dalam acara Mata Najwa di Youtube .

Banyak orang yang kemudian beramai-ramai melontarkan komentar mereka di berbagai lini media sosial tentang aksi Zaadit itu. Sebagian menganggap apa yang dilakukan Zaadit telah melanggar etika. Sedangkan sebagian yang lain menganggap Zaadit hanya bicara secara simbolis aja, tanpa mendatangi langsung lokasi tempat masalah terjadi, dalam hal ini Asmat, Papua. Senada dengan pendapat Adian Napitupulu. Menurutnya Zaadit seharusnya datang lebih dulu ke Papua, baru bicara. Ada juga yang mengatakan kalau memang mau mengkritik seharusnya bisa dilakukan di lain kesempatan, bukan saat Jokowi usai berpidato di hadapan banyak orang.

Tapi bagi sebagian orang, aksi Zaadit justru mencerminkan sikap mahasiswa yang seharusnya memang punya hak mengkritisi pemerintah

Mahasiswa memang dididik buat kritis via metro.tempo.co

Namun di sisi lain, banyak juga yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Zaadit sebenarnya bentuk aksi protes mahasiswa sewajarnya dan tidak seharusnya justru dihujat. Mahasiswa memang seharusnya berani menyampaikan aspirasi seperti yang dilakukan Zaadit. Bahkan banyak peristiwa dan revolusi penting di dunia sebenarnya dimulai dari pergerakkan mahasiswa. Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais pun berpikiran hal yang sama, malah menurutnya aksi Zaadit patut dipuji. Ia juga berharap, aksi Zaadit itu harusnya bisa jadi pemicu mahasiswa dan aktivis lain untuk bersikap kritis pada pemerintah.

Meski cara Zaadit mengutarakan protesnya yaitu ‘kartu kuning’ disebut kurang sopan atau tidak pantas, namun pada saat bersamaan banyak juga yang berpendapat teknik protes tersebut justru kreatif dan efektif. Apalagi jika melihat bagaimana demonstrasi pada umumnya berakhir tanpa hasil dan tidak didengar pemerintah. Tampaknya bangsa ini mungkin memang membutuhkan cara-cara inovatif lain untuk mengutarakan pendapat. Tetapi tentu saja harus tetap dalam batasan hukum dan ketertiban yang berlaku.

Namun bukannya susah ya jika memang kita semua baru berhak ‘berbicara’ atau protes jika telah terjun ke lapangan? Nanti jadi banyak yang diam dong, nyatanya tidak banyak juga yang bisa punya akses langsung ke lapangan

Keren sih orang-orang yang bisa langsung membantu di lapangan via kumparan.com

Perdebatan seolah makin berbuntut panjang dengan adanya surat terbuka seorang dokter bernama Yafet Yanri Sirupang yang sedang bertugas menangani campak dan gizi buruk di di Kabupaten Asmat. Inti dari surat yang memang ditujukan langsung untuk Zaadit itu berisi komentarnya tentang aksi Zaadit sebelumnya. Menurut Yafet, Zaadit tidak seharusnya berkoar-koar tanpa tahu gimana kondisi sebenarnya di sana.Sebenarnya ya bagus-bagus aja kalau kita bisa merasakan dulu gimana kondisi atau masalah di suatu wilayah sebelum melontarkan kritik tentang isu di sana. Tapi ‘kan kenyataannya nggak semua orang punya kesempatan yang sama buat bisa ke lokasi tersebut, dalam hal ini Asmat di Papua.

Mungkin logikanya juga sama dengan tragedi-tragedi lain yang terjadi di belahan dunia lain. Kita hanya bisa memantaunya dari media atau laporan orang-orang yang ada di sana. Namun itu bukan berarti kita sama sekali tidak berhak bersuara dan menuntut pemerintah atau pihak terkait untuk segera membantu meyelesaikan permasalahannya. Semakin banyak dan keras gaung ‘suara’-nya, bukannya justru lebih bagus? Artinya semakin banyak juga orang yang akhirnya mengetahui masalah yang harus segera diselesaikan.

Sayangnya banyak orang Indonesia yang salah fokus dan terjebak dalam perdebatan ‘kartu kuning’-nya, dibanding masalah sebenarnya. Daripada lama-lama ribut dan saling bully, lebih baik fokus ke pokok masalahnya langsung: KLB di Asmat, Papua

Lah, masalah utamanya malah dilupakan..?! via regional.liputan6.com

Meski sudah berlangsung 1 minggu yang lalu, aksi Zaadit kemarin ini malah makin banyak dibahas. Kayaknya semua orang sibuk berkomentar soal wajar nggaknya apa yang dilakukan Zaadit pada presiden. Namun terlepas dari pro atau kontra, justru apa yang sibuk mereka perdebatkan itu seakan-akan ‘mengubur’ pokok permasalahan yang sebenarnya berusaha diangkat; KLB Asmat Papua.

Ya daripada sibuk debat tiada ujung, mbok ya langsung aja saling bantu buat menangani masalah tersebut. Ini ‘kan masalah besar, yang nggak bisa ditangani satu-dua pihak aja. Butuh kerjasama dari banyak pihak, termasuk mahasiswa seperti Zaadit yang berusaha menyampaikan aspirasi, dokter yang langsung diterjunkan ke sana, dan tentu saja pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di negara ini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

An amateur writer.