Dinkes: 20% Warga Jakarta Alami Gangguan Jiwa. Kesehatan Mental Jadi Barang Mahal di Kota Besar

Gemerlapnya kehidupan di kota-kota besar sepertinya masih jadi ukuran sukses bagi banyak orang, termasuk di Indonesia. Jika belum berhasil ‘menaklukkan’ ibukota, seringkali orang hanya dipandang mata dan bahkan mungkin dianggap takut berkompetisi. Meskipun standar kesuksesan tersebut tidak seharusnya dipatok untuk semua, nyatanya memang tidak sembarangan orang bisa berhasil di kota besar. Salah satu tantangan terbesar yang sekarang mengintai penghuni kota besar dan sayangnya masih kurang disadari adalah pentingnya untuk menjaga kesehatan mental. 

Advertisement

Depresi atau gangguan jiwa nggak bisa dipandang sebelah mata lho guys. Bahkan menurut data terbaru Dinas Kesehatan, 20% warga ibu kota sebenarnya mengalami gangguan jiwa. Itu jelas bukan jumlah yang sedikit. Kota-kota besar yang kelihatannya maju, jadi pusat industri, dan punya sumber kehidupan melimpah, nyatanya malah jadi lokasi yang sering terjadi bunuh diri. Banyak faktor yang kemungkinan besar jadi alasan di baliknya. Hipwee News & Feature udah merangkumnya buat kamu nih. Simak yuk!

Berdasarkan data Dinas Kesehatan, ternyata sebanyak 20% warga Jakarta dilaporkan mengalami gangguan kejiwaan lho

Orang dengan gangguan kejiwaan via www.sciencedaily.com

Belum lama ini Wakil Gubernur DKI, Sandiaga Uno, seperti dilansir CNN , menyatakan fakta miris bahwa ternyata 20% warga Jakarta dilaporkan mengalami gangguan kejiwaan. Itu artinya 2 dari tiap 10 orang yang tinggal di sana sebenarnya menderita gangguan mental. Data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta tersebut baru saja dibahas dalam rapat soal pembangunan Pusat Kajian Masalah Kejiwaan, Selasa (23/1) kemarin di Balai Kota. Dari data yang disebutkan, Sandi mengatakan kalau penting kiranya membuat pusat kajian yang membahas isu itu di Jakarta.

Pernyataan Sandi itu ternyata juga selaras dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi. Seorang lelaki terekam kamera sedang melakukan aksi bunuh diri dengan lompat dari flyover atau jalan layang di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Meski warga sudah berteriak supaya ia tidak melompat, pria 25 tahun itu tetap terjun ke bawah. Beruntungnya, dia tidak meninggal. Dilansir Detik , pria itu menderita depresi karena tak punya pekerjaan dan ongkos buat pulang kampung.

Advertisement

Sebenarnya bukan cuma Jakarta, tingginya tingkat stres dan depresi tampaknya makin mendominasi kehidupan kota-kota besar

Ketimpangan sosial jadi salah satu faktor pendorong via blog.unnes.ac.id

Ketimpangan sosial bisa jadi alasan terbesar kenapa depresi banyak terjadi di kota-kota besar. Bayangkan aja kalau tuntutan kehidupan makin tinggi, harga kebutuhan pokok makin mahal, gaya hidup juga makin modern, tapi di sisi lain lapangan kerja sempit, ekonomi nggak merata, upah masih kecil, yang ada jelas bikin stres, depresi, dan parahnya sampai bunuh diri. Ibaratnya nih, kamu hidup di lingkungan yang sulit, mau apa-apa sulit, makan sulit, tidur sulit, bersosialisasi juga sulit.

Tanpa sadar, tekanan dari berbagai lini kehidupan itu juga bisa mendorong terjadinya tindak kriminal, KDRT, hingga pelecehan seksual. Duh, ya wajar aja kalau orang jadi nggak betah. Maka dari itu, masalah kesehatan mental sudah seharusnya mendapat perhatian yang lebih serius dari semua kalangan. Baik pemerintah yang harus memiliki program pencegahan maupun rehabilitasi, hingga meningkatkan kesadaran umum di kalangan masyarakat. Jadi mereka yang memang ingin ‘mengejar’ mimpi di kota besar seperti Jakarta juga mengerti risiko kesehatan mental ini.

Nah istilah stres dan depresi sering banget ditukar-tukar, padahal makna sebenarnya berbeda. Kamu perlu tahu nih!

Advertisement

Kondisi otak orang yang depresi dan tidak via www.onhealth.com

Sebelum lebih jauh membahas, tahukah kamu kalau stres dan depresi itu beda? Padahal dua istilah ini sering banget ditukar-tukar. Sebagaimana dilansir dari National Geographic , stres itu sebenarnya sangat wajar dialami manusia, karena termasuk bentuk mekanisme diri menghadapi tekanan dari luar dan dalam. Stres terjadi saat kita panik, cemas, frustasi, dan kewalahan dengan kehidupan sehari-hari. Namun stres bisa jadi positif lho, karena ketika banyak tekanan, secara otomatis tubuh bisa makin bersemangat dan fokus. Stres juga bisa berbahaya kalau otak dibanjiri hormon adrenalin, kortisol, dan norepinefrin yang bikin kita terus-terusan merasa cemas dan gelisah. Otak jadi nggak bisa berpikir jernih.

Lain halnya dengan depresi. Ibaratnya level depresi ini ada di atas stres. Penyebabnya juga nggak begitu jelas. Depresi termasuk penyakit mental yang bisa berdampak buruk pada mood, stamina, selera makan, pola tidur, dan konsentrasi. Orang depresi akan terus menerus merasa gagal, sedih, dan jadi mudah lelah. Kondisi ini akan mengganggu aktivitasnya sehari-hari, kayak bersosialisasi, bekerja, makan, belajar, bahkan berkendara. Depresi juga bisa berlangsung selama bertahun-tahun kalau nggak diatasi. Selain berdampak pada mental, depresi juga bisa memengaruhi fisik, misal bisa kena sakit jantung atau hati.

Jadi apa yang harus dilakukan ya kalau kita atau orang di sekitar terindikasi depresi? Yang jelas sih treatment-nya bakal beda-beda karena tingkatannya juga nggak sama

Orang depresi butuh bantuan orang lain via food.ndtv.com

Karena gejalanya berbeda, ternyata penanganan stres dan depresi juga beda lho. Orang stres kalau udah menemukan “pola” atau manajemen waktunya, akan bisa kembali normal lagi, tapi orang depresi justru butuh orang lain buat membantunya keluar dari pikiran-pikiran negatifnya. Menemui psikiater atau psikolog bisa jadi cara pertama untuk menanggulangi masalah tersebut.

Intinya, jangan tinggal diam kalau kamu atau orang di sekitarmu terindikasi depresi. Penanganan yang cepat dan tepat bisa membantu depresi sembuh. Apalagi saat ini sudah banyak lembaga yang membantu penanganannya, yang penting jangan malu buat menceritakan semua problema hidup.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

An amateur writer.

CLOSE