KPI vs Deddy Corbuzier. Wajah Dunia TV di Indonesia: Pergulatan Sengit Program Televisi

KPI tegur acara Hitam Putih Deddy Corbuzier

Program TV di Indonesia saat ini lagi banyak disorot, terlebih setelah presenter Deddy Corbuzier mengkritik keras acara hiburan joget-joget yang dimiliki beberapa stasiun swasta. Deddy yang selama ini ada di barisan terdepan menolak keberadaan program semacam itu, belum lama ini malah ikut kena semprot Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lantaran acara ‘Hitam Putih’ yang dipandunya di Trans7 melanggar protokol penyiaran. Program itu tidak menyamarkan wajah orangtua anak pelaku pernikahan dini. Alih-alih minta maaf, Deddy malah sindir balik KPI soal program joget-joget vulgar di TV.

Advertisement

Terlepas dari itu, perdebatan soal bagaimana acara yang menarik, mendidik, dan bakal laku ini sendiri juga terus bergulir. Oke, kita mungkin benci sama acara macam Dahsyat atau Pesbukers. Tapi kenapa program macam itu masih aja rutin tayang? Padahal KPI juga sudah menegur berkali-kali. Inikah wajah pertelevisian Indonesia masa kini? Yang minim edukasi dan inspirasi? Hipwee News & Feature telah mengulas informasi ini buat kamu. Mari simak!

Bisa jadi karena memang masyarakat kita sukanya acara hiburan semacam itu, jadi mungkin ya TV cuma ngikut selera pasar aja~

Acara joget-joget vulgar via www.youtube.com

Selama ini kita mungkin terang-terangan menyalahkan stasiun TV swasta yang menayangkan program-program kurang bermutu; reality show settingan, acara joget vulgar, atau yang berbau gaib pura-pura kesurupan. Tapi yang perlu kita pahami juga, bukan tidak mungkin tim produksi stasiun TV itu punya alasan masuk akal kenapa tetap bertahan dengan tayangan tersebut di tengah cacian dan hinaan masyarakat. Jawaban paling rasional adalah rating. Ada penonton — ada rating — ada iklan — ada uang. Kalau ada uang, ya bisa hidup, bisa menggaji karyawan, bisa tetap aktif, dll.

Sebenarnya ya kita tidak bisa serta merta menyalahkan TV 100%. Mereka juga pasti punya departemen riset yang mumpuni. Kalau dari riset ternyata selera pasar memang begitu, masa iya mereka mau nekat bikin program berbeda?

Advertisement

Kalau boleh nebak, kayaknya sih penonton setia acara joget-joget atau reality show nirfaedah itu ya mereka yang masih setia sama TV dan belum betul-betul menguasai internet

Penikmat acara TV via www.fokusmetrosulbar.com

Yang satu ini mungkin perlu riset serius lebih lanjut. Tapi kalau boleh nebak, kayaknya pemirsa setia TV itu ya mereka yang masih awam sama internet; seperti masyarakat kelas ekonomi ke bawah. Bisa jadi udah kenal internet tapi masih belum tahu cara eksplorasi di sana. Jadinya tetap pilih yang instan tinggal colok: TV. Soalnya kalau boleh berasumsi, manusia modern yang dekat dengan internet, hampir pasti lebih pilih internet dibanding TV. Gimana nggak? Lha wong internet udah paket lengkap. Mau nonton video ada, kumpulan foto juga melimpah, berita-berita mulai nasional sampai internasional tinggal pilih, kurang apa? Ya nggak sih?

Selain acara hiburan kayak yang udah disebut di atas, format acara TV favorit sejuta umat lainnya adalah sinetron. Tapi kualitasnya pun tidak lebih baik dari acara joget-joget

Sinetron tetap jadi primadona via www.tribunnews.com

Sebenarnya kalau mau bicara data, peraih rating tertinggi menurut data Nielsen justru bukan program hiburan joget-joget, melainkan sinetron. Dari zaman baheula sinetron memang banyak dijadikan tonggak utama televisi. Sah-sah aja sih mau bikin sinetron biar TV bisa hidup. Tapi yang jadi masalah kalau cerita yang dibawa dalam sinetron justru tidak mendidik. Sejak kapan anak sekolahan harus pakai rok pendek baju ketat dan bawa mobil mewah ke sekolah? Atau, sejak kapan cowok hobi berantem itu jadi kriteria wajib buat cewek-cewek masa kini?

Menciptakan tayangan edukatif, inspiratif, dan konstruktif tidak semudah membalik telapak tangan. Ini karena di balik itu semua ada banyak elemen yang ikut andil. Sederhananya, TV itu sama dengan bisnis. Tidak ada iklan ya tidak bisa hidup. Tidak ada penonton ya tidak ada iklan. Sedikit “wajar” kalau jadinya pada ngikut selera pasar. Kalau mau mengubah mindset dan selera mayoritas orang, tentu sulit sekali. Mungkin perlu beberapa tahun buat mewujudkan cita-cita itu. Kalau TV nasional tidak siap bersakit-sakit dahulu, impian meningkatkan kualitas tayangan mungkin hanya jadi angan-angan~

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

An amateur writer.

CLOSE