Mempertanyakan Ketimuran Indonesia: Masih Timurkah Kita Sebagai Bangsa?

Indonesia sering dibilang lekat dengan budaya ketimurannya. Mulai dari sopan santun, cara berpakaian, hingga beragam hiburan kerap dibingkai dengan sudut pandang “Timur”. Tidak jarang dikotomi “Timur” dan “Barat/Tidak Timur” jadi masalah. Tentu kamu akrab ‘kan dengan perdebatan kostum renang Putri Indonesia di ajang Miss Universe yang terjadi hampir setiap tahun?

Advertisement

Pembedaan “Timur” dan “Barat” amat sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan utamanya, “Mengapa harus ada garis tegas yang memisahkan Timur dan Barat? Apakah kita yakin bahwa Indonesia memang se-Timur itu?”

Perjalanan Panjang Dikotomi Timur dan Barat

Perbedaan antara "Timur" dan "Barat" kerap membingungkan

Perbedaan antara “Timur” dan “Barat” kerap membingungkan via urbanpeek.com

Pembedaan antara Timur dan Barat sebenarnya sudah ada sejak zaman Romawi Kuno, namun semakin berkembang di masa modern setelah adanya studi postkolonialisme dan Orientalisme di abad ke-20. Dikotomi “Barat” dan “Timur” bukan hanya diartikan sebagai letak geografis semata, melainkan lebih kepada persaingan kekuatan besar dunia saat itu. Di tengah perang yang makin memanas, Jepang dan Cina berusaha membentuk kekuatan yang sanggup menandingi negara-negara Barat.

Sejak tahun 1920-an, Tachibana Sirakai, seorang sinologis dari Jepang, menulis tentang pentingnya negara-negara Asia bergabung untuk membentuk kekuatan “Timur Baru”. Kekuatan ini menyertakan seluruh negara di Asia kecuali negara-negara di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah.

Advertisement

Di tahun 1957, pemimpin Tiongkok Mao Zedong kembali menegaskan bahwa perang yang terjadi saat itu adalah perang antara dua kekuatan besar dunia, dan kali ini Timur akan mengalahkan Barat.

“This is a war between two worlds. The West Wind cannot prevail over The East Wind; The East Wind is bound to prevail The West Wind.”

Advertisement
Edward Said, orientalis yang membedakan peradaban Timur dan Barat

Edward Said, orientalis yang membedakan peradaban Timur dan Barat via rationalist.org.uk

Sejak tahun 1940-an, kembalinya tren untuk membedakan yang Timur dan yang Barat juga terjadi di negara-negara Barat. Paham Orientalisme jadi pintu masuk bagi diterimanya dikotomi Timur-Barat di masyarakat Barat. Edward Said dalam bukunya Orientalism menegaskan bahwa ada perbedaan di masyarakat Timur dan Barat.

Masyarakat Timur dijelaskan dengan masyarakat memegang nilai yang menjunjung tinggi perasaan (sensibilitas), mengedepankan nilai kekeluargaan, dan mengutamakan nilai tradisi. Sementara “Barat” digambarkan sebagai masyarakat yang memegang nilai-nilai rasional, materialistis, dinamis, dan individualis.

Perkembangan selanjutnya dari diskursi akademik ini bahkan menggabungkan unsur religius. Dalam The Clash of Civilizations , Samuel Huntington berargumen bahwa benturan antara peradaban dunia bukan hanya akan ada di antara masyarakat Timur dan Barat, namun juga Muslim dan Non-Muslim.

Menilik Ulang Nilai-Nilai Ketimuran

Dikotomi Timur-Barat kini makin kabur

Dikotomi Timur-Barat kini makin kabur via marschristie.blogspot.com

Ketika kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa Indonesia memegang erat adat ketimuran, sebenarnya apakah kita sudah cukup memahami makna dari “adat ketimuran” tersebut? Mendefinisikan “adat ketimuran” tentu tidak bisa dilepaskan dari Cina dan Jepang, dua negara yang dikenal sebagai peletak dasar nilai-nilai ketimuran.

Marilah di kesempatan ini kita secara spesifik mengacu pada Jepang. Bukan karena nilainya paling baik atau paling benar, melainkan karena Jepang dengan rigid memberikan nama pada nilai-nilai yang dianutnya. Dengan cara ini akan lebih mudah bagi kita melakukan perbandingan.

Di bawah ini adalah beberapa nilai-nilai Timur yang kuat dipegang dalam masyarakat Jepang:

1. Uchi (in group) – Soto (outgrup) 

Lantai yang ada sepatunya adalah soto (dunia publik), lantai yang lebih tinggi adalah uchi (ruang privat)

Lantai yang ada sepatunya adalah soto (dunia publik), lantai yang lebih tinggi adalah uchi (ruang privat) via keristenerson.blogspot.com

Bydaya Jepang dengan tegas membedakan jenis hubungan antar individu. Ikatan darah, kedekatan personal dan situasi hubungan menentukan bagaimana seseorang akan bersikap pada orang lain. Pembedaan ini berpengaruh pada penggunaan gaya bahasa yang dipakai dan cara penyelesaian konflik yang akan dipilih.

Jika konflik terjadi didalam uchi, konsesi akan dibuat secara eksplisit. Permasalahan bisa dibicarakan dan dicari jalan keluarnya secara terbuka. Namun jika konflik terjadi di luar lingkaran terdekat, konflik akan diselesaikan secara implisit. Masalah tidak akan dibicarakan dengan sangat terbuka.

Kesepakatan yang tercapai dalam konflik diluar lingkaran terdekat akan dicapai dan dijalankan dalam diam.

2. Honne (keinginan pribadi seseorang) – Tatemae (perilaku yang ditampilkan di depan publik)

Tidak semua ekspresi layak diungkapkan ke publik

Tidak semua ekspresi layak diungkapkan ke publik via japanimatka.blogspot.com

Perilaku dan ekspresi juga secara tegas diatur oleh sistem nilai ketimuran. Tidak semua hal bisa dibagi ke semua orang, tidak semua perasaan layak ditampilkan dan diekspresikan. Perilaku di hadapan publik tidak serta merta harus menunjukkan perasaan yang dialami.

Kunci dari pembedaan antara honne dan tatemae adalah bagaimana perilaku selalu disesuaikan dengan ekspektasi yang dimiliki oleh masyarakat. Seseorang akan selalu berusaha mengikuti keinginan dan tuntutan yang diarahkan lingkungan sekitar padanya. Hanya pada orang-orang terdekatlah keinginan dan hasrat diri layak dibagi.

Semisal, seorang pelajar sebenarnya sedang malas sekali pergi ke sekolah. Di depan guru dan orang tua (yang tentu berharap dia tetap rajin belajar) anak ini akan tetap terlihat semangat dan rajin. Barulah saat bertemu teman baik dia bisa bercerita dan mengeluh kalau dia sedang bosan belajar terus.

3. Wa (menciptakan harmoni dan menghindari konflik)

Dalam berbagai kondisi konflik akan dihindari

Dalam berbagai kondisi konflik akan dihindari via www.covingtontravel.com

Dalam hubungan interpersonal dan di lingkungan kerja, sebuah masyarakat yang menganut nilai ketimuran menjunjung tinggi terciptanya harmoni. Sebisa mungkin konflik dan perbedaan pendapat akan dihindari. Nilai ketimuran akan selalu memberikan ruang bagi penciptaan konsensus.

Wa tidak hanya berarti absennya konflik. Nilai ini juga menggaris bawahi kepatuhan masing-masing individu dalam melaksanakan kewajiban sosialnya. Dalam masyarakat yang meyakini bahwa harmoni harus terus terpelihara, semua orang akan berusaha untuk terus menjalankan peran mereka masing-masing.

Selama masing-masing individu melakukan perannya dengan baik, maka konflik akan semakin mudah dihindari.

4. Omotte (wajah yang ditampilkan di depan publik) – Ura (wajah yang hanya ditampilkan pada orang-orang terdekat)

Wajah yang ditampilkan di depan publik tidak selalu sama dengan keinginan personal

Wajah yang ditampilkan di depan publik tidak selalu sama dengan keinginan personal via aikidonosekai.wordpress.com

Citra adalah hal yang penting dijaga dalam masyarakat yang erat memegang nilai ketimuran. Tidak semua orang layak mengetahui apa yang kamu rasakan dan kamu pikirkan. Citra didepan publik harus sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Sementara didepan orang-orang terdekat, barulah penjagaan citra boleh sedikit dilonggarkan.

Semisal, seseorang sebenarnya memiliki sifat dasar yang sangat heboh dan ekspresif. Tapi dia adalah seorang guru yang dituntut untuk tampil tenang dan bersahaja. Didepan orang tua murid, orang ini akan tetap berusaha tampil bijak dan tenang. Barulah dihadapan rekan-rekan terdekatnya ia bisa mengeluarkan kepribadian aslinya.

5. Giri (kewajiban sosial yang harus ditaati) – Ninjo (emosi pribadi)

Emosi pribadi harus dikalahkan atas kewajiban sosial

Emosi pribadi harus dikalahkan atas kewajiban sosial via www.wildgrounds.com

Dalam masyarakat yang menerapkan nilai ketimuran dengan kuat, perbedaan dalam perilaku sangat ditentukan oleh kepada siapa orang tersebut bertindak. Terdapat perjanjian tidak tertulis bahwa setiap orang memiliki kewajiban sosial kepada orang lain. Contohnya saja, seorang anak akan terus punya kewajiban sosial untuk merawat orang tuanya hingga tua nanti.

Contoh lainnya adalah wanita yang sudah menikah. Meski tidak ada aturan yang tertulis, akan wajar bagi seseorang untuk keluar dari pekerjaan purna waktunya agar bisa fokus merawat keluarga. Kewajiban sosial yang harus ditaati inilah yang disebut giri. Ketaatan terhadap giri akan menentukan penilaian masyarakat terhadap seseorang.

Sementara ninjo adalah emosi pribadi yang terpendam dalam hati setiap manusia. Seorang anak bisa saja sebenarnya tidak ingin merawat orang tuanya di rumah, jika boleh memilih, ia ingin memasukkan mereka ke panti jompo saja. Tapi di masyarakat dengan nilai-nilai ketimuran yang kuat, hal ini akan dianggap sangat kurang ajar. Giri akan tetap menjadi nilai yang lebih dijunjung dibandingkan ninjo. Seseorang dituntut mengalahkan emosi pribadi atau ninjo demi memenuhi kewajiban sosial yang disematkan padanya.

Meluapkan Emosi di Sosial Media, Pemimpin Bangsa Saling Melontarkan Cacian: Masih Timurkah Kita?

Saling lempar tuduhan secara terbuka di pilpres lalu pantas jadi titik untuk mulai mempertanyakan ketimuran kita

Saling lempar tuduhan secara terbuka di pilpres lalu pantas jadi titik untuk mulai mempertanyakan ketimuran kita via karikaturgambar.blogspot.com

Setelah mengetahui beberapa nilai dasar dari adat ketimuran diatas, sekarang mari kita coba bandingkan dengan kondisi Indonesia dewasa ini. Apakah kita masih layak disebut sebagai bangsa yang lekat dengan adat ketimurannya? Masih pantaskah kita berang jika terjadi sesuatu yang terlihat bertentangan dengan budaya kita, yang kerap kita labeli dengan “Barat“?

Tidak perlu jauh-jauh, mari kita coba amati dari hal yang paling mudah terjangkau oleh tangan: ponsel di genggaman. Perkembangan teknologi dan maraknya penggunaan sosial media membuat kita kehilangan nilai publik dan privat yang dijunjung tinggi dalam adat Timur.

Saat ini generasi muda sudah tidak lagi erat memegang nilai bahwa ada beberapa hal yang tidak layak dibagikan ke publik. Celotehan di sosial media semakin liar dan bebas. Berbagai masalah diungkapkan di ranah publik, tanpa mempedulikan citra diri yang akan didapatkan.

Asal bisa konvoi, jalan macet gak masalah

Asal bisa konvoi, jalan macet gak masalah via bonsaibiker.com

Kita sudah makin terbiasa mengikuti kata hati dan keinginan pribadi. Bukannya berusaha menaati kemauan dan harapan masyarakat yang dilekatkan pada kita. Selama bisa melakukan apa yang paling diinginkan maka kita cenderung tidak peduli terhadap kondisi sekitar.

Banyak dari kita berlindung dibalik dalih:

“Kita kan cuma meluapkan ekspresi saja, hanya ingin jadi diri sendiri.”

Dalam adat Timur, menjadi diri sendiri tidak serta merta membebaskan seseorang dari kewajiban sosial. Ada masanya seseorang bisa bebas jadi diri sendiri, ada masanya dia harus menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial di sekelilingnya.

Tidak hanya soal celoteh di sosial media dan ekspresi diri yang makin tidak mengenal batas privat-publik. Bahkan perilaku pemimpin bangsa kita dalam menghadapi konflik juga tidak lagi mencerminkan nilai-nilai Timur. Contohnya saja dalam perang panas pemilihan presiden pada Juli lalu. Baik masing-masing kandidat pun pendukungnya dengan enteng melontarkan cacian dan fitnah ke pihak lawan di ranah publik.

Penilaian masyarakat, citra buruk yang bisa didapatkan saat tuduhan yang ditujukan ternyata salah, hingga ekspektasi publik pada santunnya perilaku petinggi bangsa sudah tidak lagi diindahkan. Asal menang, asal bisa menjatuhkan — habis perkara. Padahal perebutan kursi tertinggi kekuasaan negeri ini bisa dilakukan dengan lebih elegan.

Menjadi “Timur” Jauh Lebih Dalam Maknanya Dari Sekedar Menutup Perut Dan Dada

Hal macam ini kerap kita cap dengan "Tidak Timur" atau "Barat"

Hal macam ini kerap kita cap dengan “Tidak Timur” atau “Barat” via www.lintas.me

Hampir setiap tahun kita ribut soal bikini Putri Indonesia di ajang Miss Universe. Setiap ada artis yang mengenakan pakaian terbuka di luar negeri, kita mengecamnya karena tidak sesuai dengan adat ke-Timur-an yang kita yakini. Sebagai bangsa, kita sering lupa bahwa menjadi Timur bukan hanya berarti menutup perut dan dada dari mata manusia lainnya.

Menjadi Timur adalah mengesampingkan keinginan pribadi demi memenuhi ekspektasi masyarakat. Menjadi Timur adalah ketika seseorang berusaha sebaik mungkin menjaga pembawaan diri agar tidak menjadi penyumbang bibit konflik di lingkungannya. Sebuah masyarakat yang Timur akan terus memenuhi kewajiban sosialnya. Bukannya saling acuh satu sama lain.

Apakah masyarakat kita yang kini sering menyelesaikan konflik dengan cacian dan parang, yang bahkan tidak saling kenal dengan tetangga sebelah, yang lebih memilih membayar tukang untuk bersih-bersih di acara kerja bakti komplek masih layak disebut Timur?

Budaya Timur terlalu indah dan kaya untuk diambil hanya sepotong-sepotong saja.

Sekarang mana yang lebih tidak Timur: gambar diatas, atau perilaku kita sehari-hari?

Semoga kita mau membuka mata dan memperluas sudut pandang kita.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat puisi dan penggemar bakwan kawi yang rasanya cuma kanji.

CLOSE