Duh Gusti! Tren One Finger Selfie dan T*tmas Membuat Badan Kita Jadi Komoditi

Heh ngapain lu?

Tanya saya pada seorang teman yang sedang melakukan gerakan maju-mundur-cantik di depan kaca kantor pada suatu sore. Setelah saya lihat-lihat lagi ada yang berbeda dari gerak-geriknya. Dia menempatkan satu jari tangannya di depan dada. Berusaha mencari posisi dan angle yang paling pas untuk difoto.

Belakangan baru saya tahu bahwa dia sedang mengikuti gerakan one finger selfie yang sedang hits itu. Menempatkan satu jari tangan di depan dada, kemudian berusaha menemukan posisi agar jari yang sama bisa menutupi daerah paling privatnya.

One finger selfie challenge

One finger selfie challenge via www.1dclik.fr

Selow banget lu!” jadi percakapan terakhir kami sore itu. Ada-ada saja, pikir saya. Saat banyak orang berusaha menghargai badannya dia malah ingin merayakannya dengan mengikuti tren paling baru yang sedang ada.

Tapi kegilaan tidak berhenti disitu…

Ding! Ditengah kegilaaan mengejar target akhir tahun ada 2 bubble chats masuk dari seorang teman yang terkenal dengan kemampuan investigasi konten level dewa. Dia adalah seseorang yang selalu bisa menemukan berita-berita unik yang membuat kita memutar mata.

Coba lihat artikel ini deh. Lagi tren nih!”

What? T*tmas?

What? T*tmas? via www.etsy.com

Setelah gempuran honey lemon shot dan Yoga nampaknya sekarang kita masuk ke era tren baru bernama pamer dada. Gadis-gadis di dalam challenge yang dinamai T*tmas ini membuka dadanya lalu menghiasnya dengan ornamen khas Natal. Belakangan bukan cuma gadis-gadis yang melakukannya. Pria-pria pun melakukan hal yang sama. Duh Gusti.

Selamat datang pada masa tagar dan like jadi pengukur eksistensi

Mannequin challenge

Mannequin challenge via www.whipclip.com

Sekarang bukan lagi merokok atau berani ikut tawuran yang membuatmu jadi punya status sosial yang bisa dibanggakan. Akun Instagrammu apa, berapa followermu dan apa saja yang kamu post di sana seakan lebih menunjukkan kepribadian.

Demi lebih mendapatkan eksposure di media sosial beberapa orang memilih menambahkan banyak tagar atau join ke challenge kekinian. Media sosial dianggap jadi exit plan dari pergaulan yang sesungguhnya. Dalam segala ketidakpastiannya kita merasa ada banyak kesempatan di sana. Akan ada orang yang tertarik dengan caption yang kita tulis lalu menawarkan posisi untuk jadi creative writer. Brand manager sebuah produk melihat feed kita, jatuh cinta pada gayanya lalu menawari kita jadi Key Opinion Leader untuk produknya.

Sebagai manusia kita memang sering berlindung dalam ketidakpastian untuk mencari ketenangan. Sosial media dengan segala tagar dan tantangannya seperti jadi jawaban.

Ada perbedaan tegas antara mengikuti arus dan tidak menghargai badan sendiri. Ayolah, kita mesti lebih waras lagi

Come on...

Come on… via www.xojane.com

Jelas tidak ada yang salah dengan berusaha catch up lewat berbagai tren yang beredar di dunia maya. Tapi membuat badan sendiri jadi komoditas jelas bukan pilihan bijaksana. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan orang lakukan saat memandang bagian atas tubuhmu yang tanpa busana. Saat fotomu dianggap sebagai sebuah file saja. Di repost, dibagikan ke mana-mana tanpa menganggap orang yang ada di foto itu punya perasaan dan nyawa.

Body shaming sekarang bisa datang lewat berbagai cara. Jangan sampai kita sendiri yang melakukannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat puisi dan penggemar bakwan kawi yang rasanya cuma kanji.