5 Film Indonesia Terbaik Tahun 2017 Versi Hipwee, Ada yang Belum Kamu Tonton? Ciyan :)

Di luar perkara nasionalisme dan tetek bengeknya, pada dasarnya kita harus menonton film-film Indonesia. Andai tidak salah memilih, menonton film-film dalam negeri sebenarnya tidak akan mengecewakan dibanding menonton film-film Hollywood.  Bahkan, kita sebaiknya memang lebih memprioritaskan untuk menonton film Indonesia dibanding film barat di bioskop. Pasalnya, sekali kita kelewatan film Indonesia yang bagus, akan lebih sulit untuk mendapatkan kesempatan menonton lagi, apalagi jika hanya mengandalkan bajakan atau streaming di internet.

Advertisement

Beruntung, Hipwee bisa cukup lengkap menonton film-film Indonesia yang diperhitungkan tahun ini. Lantas, di bawah ini kami membuat daftar lima film yang terbaik di antaranya. Selain sebagai bentuk apresiasi terhadap para pegiat di balik kelima film itu, artikel ini juga sekaligus mencoba memperkenalkannya ke kamu, siapa tahu yang belum menonton bisa punya kesempatan di lain waktu. Jangan lewatkan jika ada!

5. The Gift, sesuatu yang lain dari Hanung Bramantyo

The Gift via sidomi.com

Apa Ceritanya:

Seorang novelis perempuan menyepi di Yogyakarta demi menggarap novel baru. Rumah yang ditinggalinya ternyata satu pekarangan dengan kediaman seorang pria tunanetra. Lalu? Jatuh cinta dong.

Advertisement

Apa Bagusnya: 

“Saya ingin membuat film yang di depan saya tidak ada kata laris. Dan saya butuh melewati 23 film untuk melakukannya,” tukas Hanung Bramantyo pada pemutaran perdana film ini di Yogyakarta. Jangan bayangkan The Gift sebagaimana portofolio Hanung sebelumnya, terkemas rapi tapi cenderung formulaik. Film ini menawarkan gerak kamera yang lebih liar dan elemen cerita yang kontemplatif. Memang, masih ada rumus-rumus film jualan seperti set Yogyakarta, (lalu pindah ke) luar negeri, karakter tipikal yang diperankan Dion Wiyoko, dan…. Reza Rahadian. Eh, tapi yang disebut terakhir ini harus diakui memang jagoan, terlebih di film ini.

Advertisement

Kedua tokoh utamanya, Tiana (Ayushita Nugraha) dan Harun (Reza Rahadian) dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Harun jatuh hati dengan Tiana karena merasa mendapat penerang. Tiana justru sebaliknya, ia menikmati gelap dan sisi rumit dari kekurangan fisik yang dimiliki Harun. Kian jauh hubungan berjalan, batas-batas keintiman yang disimbolkan oleh pintu yang memisahkan rumah keduanya terlanggar, dan itu mengecewakan Tiana.

Konflik pun bermula.

Beda dengan empat film lain di daftar ini, The Gift baru akan diputar di bioskop kesayangan kalian pada tahun 2018. Masih belum terlambat 🙂

4. Night Bus, film thriller yang jadi kuda hitam di Festival Film Indonesia (FFI) 

Night Bus via www.youtube.com

Apa Ceritanya:

Perjalanan sebuah bus malam menuju kota Sampar yang dilanda konflik separatis selama bertahun-tahun.

Apa Bagusnya:

Film pemenang Piala Citra ini adalah film yang tergolong tidak laku, bisa jadi karena judulnya yang jelek (“Night Bus?” Huft, sangat tidak membangkitkan minat~). Padahal, ada banyak sisi cerita di film ini yang lebih ‘seksi’ diabadikan sebagai judul.

Sejak nuansa thriller-nya belum menyergap, kita bahkan sudah dihipnotis seakan benar-benar sedang berada di bus malam. Jenuhnya, pegalnya, sesaknya, sepinya, juga rasa cemas akan keselamatan perjalanan. Atmosfirnya terasa riil. Dibanding ketika menonton film-film yang menawarkan ancaman zombie atau mahkluk supranatural, kudunya kalian lebih ngeri dengan film ini. Apalagi jika kalian sadar betapa mungkin pengalaman itu dihadapkan pada kita yang notabene tinggal di negara dunia ketiga dan rentan konflik. Pada dasarnya film ini pun mengadaptasi konteks perang bersenjata di Aceh yang berlangsung 29 tahun (1976 – 2005). Untungnya, Night Bus mengambil posisi keberpihakan yang tidak sewenang-wenang. Konflik berkepanjangan yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu memang tidak sesederhana pemberontak versus tentara, melainkan disokong oleh banyak aksi adu domba. Karakter-karakter yang terbunuh di film ini juga cenderung tidak tertebak, sebab yang namanya konflik memang kadang kala tidak pilih-pilih korban.

3. Posesif, film cinta remaja yang lebih menguji kedewasaan kita dibanding film cinta dewasa

Posesif

Apa Ceritanya:

Lala dan Yudhis adalah sepasang anak SMU yang pacaran. Ini cinta pertama Lala, namun Yudhis ingin selamanya.

Apa Bagusnya:

Sekilas, mudah untuk memandang remeh film ini sebelumnya. Film cinta remaja + Adipati Dolken (versi usia 25 tahun berseragam SMU).

Tetapi dari adegan pertama, film ini sudah membebaskan diri dari prasangka akan menjadi film cinta SMU yang hanya bermaksud memenuhi fantasi-fantasi anak SMU. Kekuatan utama film ini adalah wacana kritis yang dibawa: segar, kuat, dan relevan. Tema ceritanya tegas sedari judul, perihal hubungan asmara yang posesif. Dituturkan dalam kisah problematika pacaran anak SMU, kita bisa melihat bagaimana fanatisme berlebih akhirnya bisa merusak, entah itu terhadap pacar, idola, negara, klub sepakbola, dan lain-lain. Seringkali juga melibatkan kekerasan.

Banyak sekali adegan atau dialog yang simbolis mewakili gagasan utama film ini. Secara mengalir, hampir semua relasi tokoh-tokoh film ini sejatinya posesif sesuai perannya masing-masing, mulai dari pacar yang represif, ibu yang galak, ayah yang memaksakan masa depan anaknya, hingga teman yang selalu merasa tahu apa yang terbaik.  Atas eksplorasinya yang menarik, film ini pun diganjar penghargaan film terbaik dari festival JAFF selaku festival film bergengsi.

Dan jika cowokmu berulang kali menertawakan adegan film ini seraya berbangga karena merasa lebih baik dari tokoh Yudhis (Adipati Dolken), pastikan sebelumnya bahwa saat remaja dulu ia tidak pernah pacaran sambil cemburu buta, gerebekan isi ponsel, menyamakan tempat kuliah agar tak LDR, atau bilang “aku yang paling peduli sama kamu”.

2.  Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, dari satay western hingga sistem patriarki yang kena batunya

Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak

Apa Ceritanya:

(Awalnya) Seorang janda melawan tujuh laki-laki yang merampok sekaligus hendak menggaulinya.

Apa Bagusnya:

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah film Indonesia yang secara sinematografi paling mencolok di tahun 2017. Lanskap sabana Sumba yang membentang berwarna coklat keemasan dikemas dengan penyutradaraan ala film koboi Amerika. Pola naratifnya juga khas western: pelanggaran hukum, balas dendam, dan dipungkasi dengan duel pamungkas. Saking menonjol gayanya, film ini kemudian disebut melahirkan nama genre sendiri, yakni satay western–logika penamaan yang sama dengan Spaghetti Western untuk film koboi buatan Italia

Pesona dari aspek sinematografi itu diimbangi dengan substansi cerita yang kuat. Film ini mengusung semangat feminis yang membahana, namun terarah. Frontal namun simbolik secara bersamaan. Bentuk perlawanan Marlina dalam film ini memang “membunuh”, namun itu hanya bagian dari metafora perjuangan kaum perempuan untuk bangkit dan menentang sistem patriarki. Jarang serampangan, melainkan biasa diawali dengan ketabahan. Dingin memendam luka, laiknya pembawaan Marlina (Marsha Timothy). Dan seperti yang tergambarkan di film ini juga, penegak hukum dan birokrasi tak bisa diandalkan, Yang harus dilakukan kemudian adalah membangun solidaritas dengan sesama perempuan, di sinilah tokoh Novi (Dea Penendra) hadir.

Mungkin belum ada film Indonesia dengan perspektif perempuan segagah ini.

1.  Turah, potret kaum papa yang ditayangkan sebagaimana adanya

Apa Ceritanya:

Kemiskinan.

Apa Bagusnya:

Sebuah film yang sangat realistis. Menceritakan kehidupan di kampung Tirang, Tegal, Jawa Tengah yang kumuh dan seakan terkucilkan karena warganya sudah tersibukkan dengan kemelaratannya masing-masing. Dalam film yang dipilih untuk mewakili Indonesia di ajang Oscar 2018 ini, kemiskinan tidak diromantisasi atau menjanjikan mimpi-mimpi muluk. Miskin ya miskin. Orang miskin menjadi kaya adalah kisah drama yang bisa jadi kenyataan bagi segelintir, namun kesenjangan sosial-ekonomi kian menegaskan bahwa yang paling mungkin adalah orang miskin berakhir tetap miskin, bahkan lebih buruk. Realitas apa adanya ini yang diangkat oleh Turah, membawa spirit aliran seni bernama realisme sosial.

Baik sutradara maupun aktor dalam Turah adalah nama-nama yang belum kondang. Ini makin memperkuat kesan bahwa ini adalah film tentang rakyat jelata. Apalagi melihat tokoh Jadag (Slamet Ambari), pemabuk dan tukang main togel yang sering bikin ulah. Ia sadar dirinya dan warga sekampungnya hanya menjadi sapi perah bagi juragannya. Apa daya, ia tak punya modal melawan. Pendidikan minim, uang atau alat produksi nihil, kawan-kawannya yang pasrah juga enggan diajak melawan. Serba salah. Akhirnya ia hanya bisa frustasi dan makin terasingkan.

Ciri lain dari Turah adalah penggunaan dialek Jawa Tegal yang khas itu. Mungkin awalnya kalian akan tertawa geli mendengar logat menyerupai ngapak (sedikit banyak berbeda) yang terus terlafal dalam dialog film ini, tapi perlahan kalian akan mulai merasa miris dan hanyut dalam konflik cerita. Yang harus dicamkan, segalanya itu bukan hanya ada di dalam film, tapi memang maujud di luar sana.

Kadang kita membutuhkan harapan, namun ada kala kita butuh sesuatu yang seperti Turah: riil, pedih bak sembilu, membuat kita marah hingga tergerak melakukan sesuatu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

ecrasez l'infame

CLOSE