Alarm yang menyala menyentakku, membuatku refleks melepaskan diri dari Thomas. Tanganku menggapai handphone yang terletak di balik bantal untuk mematikan alarm.
“Kita berangkat sekarang,” bisikku setelah mematikan alarm itu.
Thomas hanya mengurai pelukannya sedikit, tapi itu cukup bagiku untuk menciptakan jarak dengannya.
“Kamu ngerasain sendiri, kan, kalau kamu masih menginginkanku?” tanya Thomas. “Itu cukup jadi alasan kenapa kita enggak seharusnya putus.”
Aku menolehkan wajah untuk menatapnya. “Jadi, ini tujuanmu?”
“I want to make you fall for me once again, just like the old time.” Thomas bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya. “Kita berangkat sekarang?”
Bukannya menerima uluran tangan itu, aku malah terpaku di tempat. Rasanya ingin tetap berdiam di sini, tidak mengindahkan Thomas, apalagi mengikuti permainannya.
Sekaligus meyakinkan diriku bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Untukku. Untuk Thomas. Untuk kami berdua.
Thomas meraih tanganku dan menarikku hingga berdiri. “Pakai sepatu lari yang biru itu.”
Aku terpaku menatap sepatu lari yang dimaksud Thomas. Sepatu yang menjadi kado darinya, di hari ulang tahunku, dua tahun yang lalu.
***
“Seriously? Baru satu putaran.” Thomas berdiri sambil berkacak pinggang di depanku. Senyum geli terpasang di wajahnya ketika melihatku yang terengah-engah dan kesulitan menarik napas.
“Tunggu di sini. Aku beliin minum.”
Belum sempat aku menyahut, Thomas sudah berlari meninggalkanku.
Aku menjulurkan kaki agar tidak kram, sementara napasku perlahan mulai kembali teratur. Thomas benar, aku baru berlari satu putaran Gelora Bung Karno ketika meminta time out dan sekarang terkapar dengan napas satu-satu di pinggir arena.
Tidak lama, Thomas ikut duduk di sampingku. Dia menyodorkan sebotol air mineral dingin kepadaku, dengan tutup yang sudah dibuka. Aku menerima botol, meneliti tutup yang sudah terbuka itu, dengan semburan rasa aneh di dalam hatiku.
“Tumben,” bisikku pelan, dimaksudkan untuk diriku sendiri tapi Thomas telanjur mendengarnya.
Thomas terkekeh. “Kenapa?”
Aku mengangkat pundak, sengaja mengulur waktu dengan meneguk minum.
Thomas membukakan tutup botol untuk Sasha | ilutrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Kamu sendiri yang bilang, Sha. Cuma buka tutup botol, Mas. Anak kecil juga bisa, enggak perlu bukain botol minumku.” Thomas tertawa geli. “Di kencan kedua, dan aku putusin buat enggak bakal bukain tutup botol buatmu.”
Sekali lagi, aku mengulur waktu dengan menenggak minuman. Sisi kiri wajahku terasa panas, bukan karena matahari pagi, melainkan karena tatapan tajam Thomas.
“Kenapa sekarang jadi bukain?” tanyaku.
Thomas menggaruk rambutnya—kebiasaannya setiap kali butuh waktu untuk mencari jawaban yang tepat. Dia melirikku, dengan senyum lebar di wajahnya.
“Just because,” jawabnya.
Inisiatif, sesuatu yang sangat sulit ditemukan di diri Thomas. Bukan berarti aku ingin selalu dibukakan tutup botol minum. Thomas mengaku kalau dia mengagumi kemandirianku. Namun terkadang, aku juga ingin diperhatikan. Sayangnya, untuk hal tersebut, kami tidak pernah mencapai titik temu.
“Kamu bukan cewek manja, Sha. That’s why I like you.” Itu alasan Thomas.
“Kadang aku pengin dimanja.” Itu alasanku.
Dan, Thomas malah tertawa, lalu berkomentar ringan, “Apaan, deh, Sha. Itu enggak kamu banget, ya.”
Akhirnya aku jadi bertanya-tanya, setelah lima tahun bersama, apakah Thomas benar-benar mengenalku?
Aku menutup botol minuman itu ketika Thomas sudah berdiri.
“Mau lari lagi?” tanyanya.
Aku menengadah, menatapnya dengan mata menyipit karena menantang matahari. “Aku enggak suka lari.”
Thomas tersentak. Dia kembali duduk di sampingku, kini sambil menopang kepalanya di tangan yang ditumpukan di lutut.
“Kamu capek?”
Aku menggeleng. “Aku enggak pernah suka lari, Mas.”
Thomas memasang wajah geli. “Kenapa tiba-tiba jadi enggak suka lari? Kita selalu lari di GBK tiap CFD kalau aku lagi di Jakarta.”
Itu salah satu kebohonganku.
“Karena kamu suka lari, jadi aku dulu pura-pura suka lari biar ada kesempatan buat bareng kamu. Sebenarnya aku enggak suka lari.” Aku menunduk dan menatap sepatu lari yang membungkus kaki. “Aku bahkan enggak suka sepatu ini karena kegedean.”
Thomas tidak menyahut, dia hanya diam sambil menatapku lurus-lurus.
“Kenapa baru bilang sekarang?” tanyanya, setelah ada jeda yang cukup panjang di antara kami.
“Karena enggak pernah ada kesempatan.”
“Sha, kamu bisa ngomong kapan aja kalau memang ada yang kamu enggak suka,” timpal Thomas. Ada nada gusar di dalam suaranya.
Aku menghela napas panjang. “Apa kamu bakal dengerin?”
“Of course.”
Giliranku yang tertawa untuk melampiaskan rasa frustrasi yang kini memenuhi rongga dadaku. “Aku mencoba buat ngomong selama lima tahun ini, tapi sekalipun kamu enggak pernah dengar.”
Thomas menatapku dengan kening berkerut.
“Setelah kita pacaran beberapa bulan dan aku mulai ogah-ogahan setiap kali kamu ajak lari pagi. Aku pernah bilang kalau aku enggak suka lari, tapi kamu cuma ketawa. Aku juga bilang soal sepatu ini, tapi kamu enggak pernah dengar, kan?” Aku membalas tatapan matanya.
Thomas kembali menggaruk kepalanya, wajahnya tampak gusar setelah mendengarkan rentetan keluhanku barusan.
Bicara dengan Thomas bukanlah hal yang mudah. Baginya, dunia berputar di antara dirinya dan ambisinya. Sehingga sering kali, dia tidak mempedulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Thomas punya pandangan yang positif terhadap semua hal dan dia menghendaki semua orang juga punya pandangan yang sama. Sayangnya, Thomas menutup diri dari kemungkinan kalau hidup enggak selamanya berjalan sesuai dengan keinginan.
Aku pernah mengeluh ketika diajak lari pagi. Namun, Thomas tetap membujuk dengan alasan dia ingin ada quality time di antara kami, mengingat menjalani hubungan antara Jakarta dan Aceh bukanlah hal yang mudah.
Pada akhirnya, aku menyerah. Aku tidak tahu kapan aku menyerah untuk pertama kalinya. Mungkin ketika aku sadar kalau hubunganku dengan Thomas tidak akan beranjak lebih maju. Kami terbiasa bersama, dan bukan hal mudah untuk mengurai kebiasaan itu.
“Kamu tahu enggak kalau Mama mau nikah lagi?” tanyaku.
Thomas tergagap.
“I told you last week. Tapi kamu terlalu overwhelmed sama kemungkinan akan dipindah ke Jakarta, jadi kamu enggak sadar kan kalau aku cerita?”
Tudinganku membuat Thomas kembali tergagap. Dia mengaitkan jari-jarinya sembari menunduk. Dia tidak bicara, dan aku ikut terdiam. Hanya samar-samar suara orang bercakap-cakap di arena luar GBK yang terdengar.
“I’m sorry,” bisiknya pelan. “Bukannya membela diri, tapi aku pikir kadang kamu enggak butuh aku.”
Kapan terakhir kali kami saling bicara dan saling mendengarkan seperti ini?
“Kamu sangat mandiri dan aku mengagumimu karena kemandirianmu itu. Kamu bisa melakukan apa pun sendiri, enggak pernah minta tolong, sehingga aku merasa kadang enggak ada gunanya sebagai pacar.” Thomas melirikku dengan senyum tipis di wajahnya. “I know you had a rough childhood. Masa kecil itu yang membuatmu tumbuh jadi perempuan tangguh seperti sekarang. Aku mencintaimu karena itu, tapi kadang aku juga membenci kemandirianmu itu.”
“You never told me.”
Thomas mengangguk kecil. “Aku sengaja memendam sendiri karena kita berjauhan dan aku enggak mau nantinya jadi masalah.”
“Kayaknya kita sama-sama memilih untuk memendam biar enggak ada konflik.”
Sekali lagi, Thomas mengangguk.
“Sorry, kalau aku enggak pernah jadi pacar yang sempurna untukmu selama ini.”
“Aku juga bukan pacar yang sempurna, Mas,” bantahku.
“But you’re perfect for me. Pagi ini aku tahu kesalahanku, dan aku pengin ada kesempatan lagi.”
Aku menggeleng. “Mas, we’re over.”
“We’re not over yet.” Thomas bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya. “Kamu lapar, kan? Kita cari sarapan, ya.”
Sama seperti tadi, aku tidak langsung menerima uluran tangan itu. Aku hanya mendongak untuk menatap Thomas.
Perasaanku mungkin sudah berangsur menghilang, tapi satu hal yang pasti, aku akan selalu menyayangi sosok yang tengah mengulurkan tangannya kepadaku ini, sekalipun hubungan ini sudah berakhir.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: A Trip Down Memory Lane – Chapter 3: Back to the Place Where We First Met