“Mungkin karena sekarang kita sudah enggak punya hubungan apa-apa, jadi baik kamu ataupun aku, kita sama-sama bisa melihat hubungan ini dari perspektif berbeda. Aku mandi dulu.”
Aku bisa mendengar geraman pelan dari balik punggungku ketika meninggalkan Thomas menuju kamar mandi.
Lima tahun bukan waktu yang singkat. Bukan berarti dalam perjalanan lima tahun itu aku menyimpan semua yang aku enggak suka dari Thomas. Awalnya aku memang begitu. I was in love with him.
Menurutku, itu kompromi.
Aku sengaja bangun pagi-pagi buta demi ikut lari pagi di car free day, bagiku itu kompromi.
Aku menemani Thomas bertemu teman-temannya dan setiap kali itu terjadi, dia enggak pernah kenal waktu. Tahu-tahu sudah pagi. Bagiku itu kompromi.
Aku ikut berdesakan-desakan di tengah konser, atau menahan kantuk saat menunggu performance terakhir di Java Jazz. Bagiku itu kompromi.
Until I realize that it’s not healthy anymore. Itu bukan lagi kompromi. Itu hanya caraku menghindari konflik karena tidak ingin bertentangan dengan Thomas. I was in love with him. Selalu seiya sekata dengan Thomas adalah definisi cinta, itu yang kupahami saat itu.
But love is not about a compromise. Love is about how to respect each other. Cinta bukan sekadar memberi dan menerima, karena cinta yang seharusnya lebih dari sekadar hubungan transaksional seperti itu.
Detik ini, ketika aku membiarkan air dari shower membasuh tubuhku, aku menyadari yang membuatku bertahan dengan Thomas adalah karena hubungan transaksional yang memberikan rasa nyaman.
Rasa nyaman yang kian lama membuatku … standing at the edge. Rasa nyaman yang membuatku gelisah.
Juga, rasa nyaman yang mengusik karena rasanya Thomas mulai menguasai seluruh hidupku.
Aku membuka pintu kamar mandi dan mendapati Thomas tengah memainkan brosur Europe on Screen sambil duduk di lantai. Dia mendongak dan tersenyum begitu melihatku.
“Aku enggak sengaja nemu di meja belajarmu. Ada film yang bisa kita tonton di Goethe.”
“Aku mau lanjut packing.”
“Nanti aku bantu packing. Yuk, nonton.”
Tanganku yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk mendadak berhenti, aku memutar tubuh untuk menatapnya.
“Kamu tipe Terminator dan film-film Marvel. Kamu enggak pernah suka film festival. Menurutmu membosankan.”
Sebuah kekehan terlepas dari bibirnya. “It’s okay. Cuma dua jam, aku bisa nahan bosan selama itu.”
Kalau Java Jazz adalah kompromiku, Europe on Screen adalah kompromi Thomas. Bedanya, aku enggak menunjukkan keberatan dengan terang-terangan. Sementara Thomas enggak menutupi keengganannya terhadap film festival yang menurutnya membosankan.
Dan juga, aku tidak pernah memaksanya untuk ikut.
Thomas bersikeras membawaku untuk masuk ke dalam hidupnya, sekalipun caranya lama-lama membuatku tidak nyaman. Sementara aku tidak melakukan hal yang sama.
Detik ini, ketika aku membalas tatapan Thomas, aku menyadari alasan di balik rasa tidak nyaman itu.
Bukan Thomas yang membuatku tidak nyaman. Melainkan kemungkinan untuk berkomitmen lebih jauh membuat butir-butir ketakutan mulai tumbuh di hatiku.
Pacaran tidak harus berakhir pada komitmen jangka panjang. Di salah satu perdebatanku dengan Dinda, temanku, dia enggak setuju.
“Terus, apa tujuannya lo pacaran sama Thomas kalau enggak kepikiran buat nikah?” tanyanya.
Stigma umum yang menyebut pacaran adalah gerbang awal menuju pernikahan sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehatku.
Aku ingat kali pertama ketakutan itu muncul. Ketika Thomas mengajakku bertemu orang tuanya. Juga rencana pernikahan yang meluncur dari mulut ibunya.
Having a relationship is one thing. But getting married is another thing.
Kedua hal itu enggak selamanya harus sejalan.
“Numpang mandi ya, Sha. Setelah itu kita ke Goethe.”
***
“Ingat enggak kita pernah kejebak di sini karena Goethe dikepung ormas?”
Sebaris tawa meluncur dari bibirku. Waktu itu aku mendapat pekerjaan untuk meliput Q Film Festival.Thomas, yang kebetulan sedang berada di Jakarta, memutuskan untuk ikut. Kami dalam keadaan lapar tapi terpaksa bertahan lebih lama di dalam Goethe karena kondisi di luar sedang enggak kondusif. Sekelompok ormas melakukan aksi untuk menolak festival film ini. Kami terpaksa menahan lapar sampai malam karena baru bisa pulang setelah massa tersebut meninggalkan tempat ini.
“Makanya tadi aku mampir Indomaret dulu. Jaga-jaga, kali aja kita terkurung lagi di sini dan kelaparan.” Thomas menyerahkan sekaleng kopi instan kepadaku.
“Thanks,” sahutku. “Kita masih bisa pergi sekarang daripada kamu ketiduran pas nonton.”
Sasha dan Thomas bersiap menonton Europe on Screen | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Thomas terkekeh kecil. “Sorry, ya, selama ini aku bikin kamu kesel. Kamu enggak protes nemenin aku sampai tengah malam di Java Jazz, tapi aku protes mulu setiap kali nonton film festival.”
“Karena …”
“I know, karena aku terlalu … pushy?” Thomas tertawa lagi.
“But it was in the past. We’re not an item anymore. Kamu bisa ajak siapa aja buat nemenin ke Java Jazz, tapi pastiin dia juga enjoy nonton konser,” timpalku.
Aku tengah meneguk kopi kalengan itu ketika ucapan Thomas setelahnya membuatku terpaku.
“It seems like we have so many good memories. We were together for five fucking years. It’s not easy to let go of someone who was with you for so many years.” Thomas membuatku terpaku di tempat lewat tatapannya. “We were good together. Where did it go wrong?”
Jika mencari kapan hubungan ini terasa salah, aku bisa menyimpulkan dua hal.
Pertama, ketika rencana pernikahan muncul dari bibir ibunya. Kedua, ketika aku membaca aplikasiku diterima dan aku akan pindah ke Edinburgh.
Di atas semuanya, satu-satunya yang bisa disalahkan di sini adalah diriku sendiri.
Edinburgh rasanya seperti mendapat jalan keluar dari semua rasa tidak nyaman yang mengikat kakiku belakangan ini.
Seperti seorang pengecut, aku memutuskan hubungan ini dan kabur seperti seorang pengecut ketimbang menghadapi apa yang sebenarnya kutakutkan.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: A Trip Down Memory Lane – Chapter 6: To All The Lonely Nights We Spent Together