Polemik Angel Pieters Makin Menegaskan Bahwa Ajang Penghargaan Di Indonesia Belum Layak Untuk Dinikmati

It’s a waste of time.

Advertisement

Bila kamu adalah penunggu dunia maya dan sosial media, sudah pasti belakangan ini kamu mendengar topik terpopuler mengenai Indonesia Movie Award (IMA). Ya, IMA belakangan ini jadi heboh dibicarakan banyak orang. Bukan karena berhasil memenangkan aktor dan aktris terbaik yang kini tengah jadi favorit banyak orang, melainkan kemenangan penyanyi Angel Pieters dalam kategori Soundtrack Terfavorit.

Angel menerima piala

Angel menerima piala via img1.beritasatu.com

Iya, Angel. Kami juga gak nyangka lagu kamu yang jarang terdengar itu bisa mengalahkan lagu milik Anggun dan Pongki. Tapi selamat, ya.

Advertisement

Sejumlah musisi, bahkan dewan jurinya sendiri, serta kalangan masyarakat menilai kemenangan Angel tak wajar. Pada mulanya kategori Soundtrack Terfavorit hanya diisi oleh lima nama musisi. Kira-kira seminggu menjelang malam pemenang penghargaan dibacakan, barulah nama Angel masuk dalam nominasi tersebut. Nama Angel mewakili soundtrack film “Di Balik 98” dengan judul lagu “Indonesia Negeri Kita Bersama”, diciptakan oleh Liliana Tanoesoedibjo (istri Hary Tanoesoedibjo, pemimpin PT. MNC Investama Tbk. yang memiliki RCTI).

Polemik di IMA 2015 seakan jadi kesempatan emas buat sedikit mengomentari (jika gak boleh mengkritisi) kebiasaan kita, orang Indonesia, dalam menyelenggarakan acara penghargaan. Jika kamu berhasil membaca hingga titik ini, kamu secara gak sadar sudah mengakui bahwa acara award dunia hiburan kita selalu identik dengan suasana boring, datar, dan bertele-tele.

Apakah kamu pernah merasa bahwa menonton penghargaan-penghargaan serupa di Indonesia hanya membuang-buang waktu berhargamu?

Advertisement
Kadang ada pembaca nominasi gak kompak saat membaca

Kadang ada pembaca nominasi gak kompak saat membaca via www.rcti.tv

Kebanyakan penghargaan yang kita saksikan di televisi, punya woro-woro atau promosi yang jangka waktunya terbilang cukup panjang dan terbilang heboh. Selain untuk memastikan acaranya ditonton, mereka juga turut mempromosikan sponsor yang telah mendanai. Tak lupa, kita dihadapkan pada ajakan untuk mendukung jagoan-jagoan pilihan kita dengan cara SMS. Okay, itu teknik pemasaran yang wajar, kita semua bisa menerima.

Barangkali kehebohan itu bisa dibilang berbanding terbalik saat kita menontonnya. Durasi yang lama, bahkan hingga larut malam tak jarang membuat kita bosan dan mengantuk. Belum lagi dengan jokes artis pengisi atau MC-nya yang terasa garing. Konsepnya juga sering sama antara satu penghargaan dengan penghargaan lainnya. Red carpet, sesi sponsor, musik pengisi, dan pembacaan nominasi. Wajah-wajah canggung juga sering nampak di atas panggung, entah itu pada pembaca nominasi atau pada penerima nominasi.

Misalnya, penampilan pembaca nominasi yang kelihatan tak kompak dan bingung akan menyampaikan apa. Bila boleh memberi saran, alangkah baiknya berlatih secara intens beberapa hari sebelum naik ke atas panggung. Begitu pula dengan semua calon para pemenangnya.

Masalahnya, kebanyakan penyelenggara award show menyajikan tayangannya seperti acara kenegaraan. Tak heran jika malam-malam penghargaan terkesan kaku.

Sambutan Presiden di FFI 2014

Sambutan Presiden di FFI 2014 via www.antaranews.com

Beberapa berkilah itu sebagai adat ketimuran, sopan atau apalah, sehingga award show untuk dunia hiburan tetap dimulai dengan sambutan-sambutan resmi dari pejabat. Mulai dari Presiden, Menteri terkait, bahkan seorang Dirjen pun ikut nampil di panggung untuk menyampaikan sambutan “pentingnya”. Ini apa-apaan coba? Kami, masyarakat penikmat TV, hanya ingin dihibur bukan diceramahi.

Menteri Pariwisata juga ikutan

Menteri Pariwisata juga ikutan via baixarmusicasonlines.com

Seperti Kurt Cobain pernah bilang, “Here we are now, entertain us!”. Kami udah lelah dengan promosi berbulan-bulan dan iklan yang kalau diakumulasi durasinya lebih panjang daripada acaranya sendiri. Kenapa tidak langsung meghajar penonton dengan pembukaan yang megah dan memorable?

Belum lagi tuntutan sponsor yang minta jatah airtime dan betapa kita mendewakan secarik kertas bernama piagam.

Piagam ini segera nempel di dinding

Piagam ini segera nempel di dinding via liputan6.com

Memang benar sponsor berhak mendapat placement produknya atau paling tidak jatah airtime yang sepadan dengan uang yang mereka keluarkan. Tapi bukankah ajang penghargaan dikerjakan oleh orang-orang yang (mengaku) kreatif? Lalu, kenapa mereka tidak bisa menemukan cara kreatif untuk ‘beriklan’? Tidakkah mereka sadar bahwa Oscars selfie beberapa tahun lalu adalah gimmick pemasaran Samsung?

Yeah dapat piala (dan tabung silinder)

Yeah dapat piala (dan tabung silinder) via sp.beritasatu.com

Selain pemberian hadiah dari sponsor yang terkesan lama, penderitaan penonton tv, yang cuma ingin dihibur, ditambah lagi dengan pemberian secarik piagam dari otoritas/pemerintah yang merasa berwenang. Hey, bukankah sebuah piala sudah sangat membanggakan bagi para pemenang?

Membuat penonton duduk manis dan terpesona dengan award show saja gak cukup. Penonton juga perlu ingin dibuat berdecak kagum lewat deretan pemenang yang berkualitas.

Sean Penn menang Oscar lewat akting primanya

Sean Penn menang Oscar lewat akting primanya via static.zebra.lt

Sejauh ini, kita mengenal penilaian lewat polling SMS atau penilaian dari dewan juri yang terpilih. Apapun itu, penonton perlu hasil yang obyektif. Jika memang polling SMS yang jadi penentunya, sudah selayaknya pemenang diambil dari sosok yang memperoleh SMS paling banyak. Namun jika dewan juri adalah penentunya, penonton sudah pasti mengharapkan pemenangnya dipilih dari jajaran nominee penghasilkan karya yang bermutu dan berkualitas. Bukan hasil yang dicampurtangani oleh pihak-pihak yang punya kepentingan atau didasari dari popularitas televisi yang menaungi. (Coba google image “Syahrini menang award”, hasil yang muncul: si princess selalu menang di award-award-an SCTV)

Selalu menang di SCTV, jarang menang di TV lain

Selalu menang di SCTV, jarang menang di TV lain via www.instagram.com

Semuanya demi penghargaan yang obyektif bagi kepuasan penonton, serta demi menghargai kerja keras semua insan, penggiat, pemerhati dan pelaku industri hiburan. Jika mau mengambil salah satu contoh bentuk “usaha” untuk membuat penganugerahannya tetap berkualitas dan bebas intervensi, lihatlah Academy of Motion Picture Arts and Sciences , yang terdiri dari individu-individu profesional yang (setidaknya mencoba) mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan film.

Bila konsep acara yang menarik dan kualitas penganugerahan berhasil diterapkan, bukan mustahil award show hiburan Indonesia akan selalu abadi dalam kenangan kita.

Selfie terbaik di Oscar

Selfie terbaik di Oscar via static.explorecurate.com

Bila kamu menyaksikan malam penghargaan Oscar beberapa tahun yang lalu, tentunya kamu tahu bagaimana serunya penghargaan tersebut di luar sesi karpet merah, pengumuman nominasi, sensasinya, buzz-nya serta musik untuk pengisi acaranya. Ya, ada sesi di mana para aktor dan aktris menyantap potongan pizza yang baru saja dipesan oleh host dari atas panggung. Di samping itu, nama-nama besar seperti Ellen DeGeneres, Bradd Pitt, Angelina Jolie, dan Jenniffer Lawrence tiba-tiba ikut berfoto selfie dalam satu frame. Memorable, bukan?

Sementara apa yang kita ingat dari award show dunia hiburan Indonesia selain kemenangan Angel di IMA 2015? Gak ada. kalaupun ada itu mungkin saat film Ekskul meraih Piala Citra 2006 yang kemudian diikuti dengan pengembalian Piala Citra oleh beberapa insan top perfilman Indonesia. Apa cuma kejadian in yang ingin kita kenang?

Piala Citra yang kita kenang

Piala Citra yang kita kenang via www.suaramerdeka.com

Sebenarnya itu gimmick yang dilakukan Oscars hanyalah hal-hal sederhana, tapi mengena. Namun kita yang melihatnya dari jauh, sangat terkesan dan mengingatnya hingga kini. Jika ajang penghargaan Indonesia bisa kreatif dengan cara sesederhana itu, bukankah ia akan selalu dikenang dan ditunggu-tunggu kehadiran selanjutnya?

Kualitas dan objektivitas memang jadi komponen utama dalam setiap penganugerahan. Ini demi menghindari tuding-menuding antar pihak setelah polemik seperti IMA terjadi.

Dewan juri dan panitia saling tuding

Dewan juri dan panitia saling tuding via 2.bp.blogspot.com

Hasil penilaian dari sebuah award show sudah selayaknya dapat dipertanggungjawabkan, baik oleh pihak penyelenggara (panitia, produser), pemenang, dan dewan jurinya. Ketika penonton mempertanyakan keabsahan, penonton tidak akan kecewa karena melihat bukti kredibilitas panitia penyelenggaran dan pihak-pihak yang terkait. Justru bukannya saling tuding antara dewan juri dan panitia  yang terjadi setelah polemik kemenangan Angel Pieters di IMA 2015.

Dalam kasus IMA 2015, dewan juri bilang kemenangan Angel adalah urusan produser, sementara produser menyalahkan pihak dewan juri. Dan melalui konferensi pers, sambil berlinang air mata, Angel Pieters meminta kita untuk “tanya saja pada panitia ” mengenai nominasi mendadak dan kemenangan mengejutkannya.

P.S. : Tulisan ini bukan bertujuan untuk mem-bully Angela Pieters, karena kami benar-benar menghargai kerja kerasnya di dunia hiburan dan turut senang atas keberhasilannya. Lagipula katanya dia berhasil mengantongi 75% dukungan lewat SMS , kok 🙂

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mesin karaoke berjalan yang gemar film hantu

CLOSE