Biar Nggak Jadi Orangtua Konservatif, 3 Hal tentang Konsep Ayah Milenial Ini Harus Dipahami!

Beberapa tahun belakangan ini, istilah milenial sering kali terdengar. Generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1982 hingga 2004. Dalam konteks itu, usia tertua generasi milenial saat ini adalah 34 tahun dan usia termudanya adalah 12 tahun. Saat ini generasi Y (sebutan lain milenial) adalah generasi aktif yang bisa dibilang mulai menguasai banyak bidang.

Mungkin ketika kamu melihat judul artikelnya, kamu akan bertanya-tanya, apa urusannya dunia parenting dengan dunia milenial ini? Sudah jelas kan, jika kita bicara masalah usia, saat ini banyak dari generasi milenial yang sedang mengalami tahap awal menjadi orang tua. Anak-anak dari orang tua milenial ini mungkin baru berusia di bawah 5 tahun. Lalu, hal apa saja sih yang perlu diperhatikan dalam prenting a la orang tua milenial ini? Yuk, langsung disimak aja!

Para milenial jelas berbeda karakteristik dari generasi-generasi sebelumnya, pun begitu dengan gayanya ketika menjadi orangtua

Millennials Are Now the Largest Labor Force

Dekade kedua abad ke-21 merupakan momen peningkatan jumlah milenial menjadi seorang yang dewasa. Sebuah penelitian yang belum lama ini dilakukan oleh Pew Research Center , sejak 2015, jumlah tenaga kerja dari generasi milenial lebih banyak dari generasi X (generasi sebelum milenial). Masih dari penelitian yang dilakukan instansi yang sama, mereka mengungkapkan bahwa satu dari lima orang telah menjadi ayah. Artinya generasi kita memang telah siap untuk mengambil alih eksistensi yang telah dikuasai generasi X, termasuk dalam dunia parenting.

Sudah diketahui secara umum, generasi X dianggap memiliki pola asuh yang terlalu ikut campur dan mengekang anaknya. Bahkan, saking mengerikannya gaya pola asuh mereka, generasi ini kerap diasosiasikan dengan pola asuh ‘helikopter’. Namun berbeda dari pola asuh generasi sebelumnya, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua milenial seringnya lebih menganggap penting arti kebebasan agar anak memiliki waktu dan tempat untuk belajar.

Arti kebebasan adalah hal ini tentu bukan yang kebablasan, tapi kebebasan yang ada batasan lantaran kita hidup di adat ketimuran. Itulah yang perlu diketahui para ayah milenial atau para calon ayah milenial supaya tak disebut Tuan Konservatif. Ayah lebih punya peran sebagai pengawas, ketimbang penentu.

Bukan berarti menentang nilai dan norma sosial tradisional, tapi membuka pikiran selangkah lebih terbuka untuk menyesuaikan zaman

Jadi nggak sabar

Jadi nggak sabar via shiyaoyu.com

Tatkala generasi X menjalani debutnya sebagai orangtua, Hipwee Boys yakin, mereka tak serta-merta menyalin persis pola asuh generasi sebelumnya (generasi Boomers). Mereka pun pasti memiliki pemikiran terbuka selangkah lebih baik, atau lebih progresif.

Konsep serupa pun mestinya diaplikasikan para ayah milenial. Dalam sebuah laporan Huffington Post , tertulis bahwa generasi milenial dibesarkan dalam kondisi dunia yang terus berubah, seperti berpindahnya kebiasaan tradisional kepada penggunaan teknologi, kemerosotan ekonomi dunia, dan terjadinya perang di mana-mana.

Di sisi lain, walau kecenderungan upaya menjaga nilai dan norma yang telah diajarkan tetap ada, para orangtua milenial harus punya pikiran terbuka. Hukumnya bahkan wajib bagi para ayah milenial untuk memiliki perspektif yang progresif dalam rangka membentuk keluarga modern.

Keterbaruan yang khas dari orangtua milenial adalah pembagian pola kerja rumah tangga. Di Indonesia, dengan budaya patriarki yang kental di dalamnya, pembagian peran yang sering terlihat dan dianggap paling “normal” adalah: suami mencari uang, istri mengasuh anak dan mengerjakan tugas domestik.

Namun dengan konsep orangtua milenial, para ayah atau calon ayah harus siap dengan perubahan. Ruang untuk terjadinya domestikasi harusnya mulai menyempit. Sebab, tanggungjawab rumah tangga generasi milenial lebih mengutamakan kerja sama tim, dan mengesampingkan pembagian tugas tradisional yang berdasarkan gender. Dengan begitu, urusan rumah tangga atau urusan mengurus anak lainnya bukan cuma tugas istri, ayah milenial tak bisa lepas tangan begitu saja, melainkan sudah jadi bagian dari kerja sama tim bersama istri.

Karena terbukanya pikiran yang dimiliki, ayah milenial pun mestinya paham bahwa tidak ada satu cara paling benar dalam mengasuh anak, harus lebih fluid. Penerapan pola asuh dapat diaplikasikan tergantung situasi dan kondisi kehidupan. Sehingga pada akhirnya, gaya tersebut dapat melahirkan kondisi rumah tangga yang lebih demokratis bagi anak.

Peran serta teknologi dalam kehidupan berumahtangga ternyata penting. Ayah milenial wajib paham soal ini

Berteman dengan teknologi via theopinionator.com

Berbeda dengan generasi X di Indonesia yang bisa dibilang gagap teknologi dan tak tahu cara mengawasi anak-anaknya di dunia maya, generasi milenial mestinya tahu cara mengelola dan mengatur pola asuh anak terkait kecanggihan teknologi dan  internet. Kita tahu sendiri, generasi milenial dikenal sebagai generasi yang tak bisa lepas dari teknologi.

Maka dari itu, seharusnya sebagai orangtua, para calon ayah milenial mesti mampu menavigasi teknologi baru untuk kemajuan gaya pola asuh. Bukan hanya sebagai bekal untuk menjadi orangtua yang baik — seperti kamu yang sedang membaca artikel ini lewat internet, tapi juga mengontrol sepak terjang calon anak-anakmu di kemudian hari dalam penggunaan internet.

Bagaimana pun cara setiap orang sangat mungkin berbeda-beda untuk menjadi ayah yang terbaik. Akan tetapi, atas dasar penilaian yang kental dari subjektivitas penulis ini — sembari melihat keadaan zaman, ayah tradisional yang menganut paham otoriter rasanya sulit memiliki ruang di masa kini. Selamat datang di dunia perayahan!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

A brocoli person.