Biar Aja Negara Lain Sibuk Bikin Robot, Kita Siap Menguasai Dunia Selama Punya Banyak Dimas Kanjeng

“Kita tidak akan pernah kemana-mana selama kita tidak berani melihat keluar. Dunia ini tak sesempit tangan para dukun”.

Advertisement

Wajah Dimas Kanjeng belum juga usai menghiasi layar televisi. Suara para pembaca berita sampai presenter gosip masih menggelegar bertanya-tanya kenapa Marwah Daud yang pintar itu tak memiliki logika yang sesuai dengan ekspektasi mereka. Padahal Bu Marwah ini lulus S3, artinya sudah banyak makan asam garam ilmu pengetahuan. Di saat doktor-doktor yang lain berlomba melakukan penelitian ini dan itu, Bu Marwah masih ingin membuktikan kekuatan magis yang ia sebut sebagai revolusi sains.

Sementara itu Dimas Kanjeng, bapak-bapak yang katanya mirip Doctor Octopus di film Spiderman ini masih anteng-anteng saja. Atau jangan-jangan dia sedang sibuk menggandakan uang lagi demi menutup hutang negeri yang ingin makmur ini? Siapa yang tahu?

Kita tentu belum lupa saat sebelumnya dikagetkan oleh berita Gatot Brajamusti yang juga terjerat kasus serupa, atau lebih menggila? Beberapa tahun lalu kita juga dicekoki dengan betapa tenarnya Eyang Subur dan segala “kehebatan”nya. Sepintas tak ada yang masuk akal dari “ilmu” ketiga orang ini, tapi ternyata pengikutnya bukan hanya satu dua saja. Apa benar mereka punya sebuah kekuatan magis yang mampu membuat segala hal dengan mudah jadi terasa manis?

Advertisement

Kasus Dimas Kanjeng bukan satu-satunya, cerita penipuan semacam ini selalu membanjiri media hampir tiap bulannya. Fenomena gunung es!

Eyang subur

Eyang subur via kapanlagi.com

Kamu bisa cek sendiri di media-media besar yang berbasis online dengan memasukkan keyword “dukun penipu”. Hasilnya akan keluar banyak sekali berita tentang kasus penipuan yang dilakukan oleh kalangan yang mengaku berasal dari dunia perdukunan. Frekuensi berita ini tiap bulannya bisa dibilang sangat fantastis, termasuk pada tahun 2016 ini.

Sebut saja kasus MK seorang penderita leukimia (13 th) pada tahun 2013 lalu, ia dicabuli oleh dukun gadungan saat sedang dimandikan dengan air es. Ini sangat keterlaluan! Kasus penggandaan uang macam Dimas Kanjeng juga ada, waktu itu (tahun 2014) pelakunya 4 dukun sekaligus. Mereka bisa mengubah uang 25 juta rupiah dalam tiga malam menjadi 10 miliar. Bagaimana tanggapan masyarakat kita? Tentu saja mereka tergiur!

Advertisement

Kita mungkin juga tidak asing dengan metode perdukunan yang bisa mengeluarkan paku dan benda-benda aneh lainnya dari tubuh. Ini nyata dan ada di sekitar kita, bahkan tahun 2015 dukun semacam ini pernah mencabuli 15 wanita yang menjadi korbannya. September lalu di Tegal adapula dukun yang menjual kerikil seharga 6, 5 juta ditambah syarat ritual mesum dengannya.

Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di desa, di kota pun banyak. Tingkat pendidikan pun tak menjamin seseorang menjauhi praktek magis seperti ini. Dan kenapa ujung-ujungnya selalu penipuan dalam bentuk uang dan seks?

Masih banyak puluhan atau bahkan ratusan kasus serupa di luar sana. Ini sebenarnya fenomena apa? Apakah semua itu masuk akal? Kenapa masyarakat kita masih banyak sekali yang percaya?

Bentuk penipuannya selalu uang dan atau seks. Apa ini potret kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat kita? Jika bukan, kenapa mereka mau saja?

Gatot Brajamusti

Gatot Brajamusti via babatpost.com

Dari sekian banyak kasus yang bisa kamu temukan dalam lima tahun terakhir, penipuan yang dilakukan oleh orang-orang sebangsa dukun ini selalu berkutat pada uang dan seks. Kalau tidak mengambil harta para korbannya, maka si korban ini diharuskan jadi korban pelampiasan nafsu binal. Macam-macam caranya, ada yang menggunakan kedok ritual sampai dijejali sabu seperti yang dilakukan Aa Gatot.

Apapun itu, dua hal ini benar-benar perlu kita beri perhatian lebih. Sepintas kita bisa membaca bahwa uang adalah kebutuhan utama yang sangat sulit dipenuhi hingga demi mendapatkannya, seks bebas hingga threesome pun tak mengapa. Sebegitu materialistis dan bodohkah masyarakat kita? Faktanya bukan hanya uang saja motifnya, lalu apa?

Dari mulai masalah ekonomi, kesehatan, perjodohan menjadi alasan kenapa masyarakat kita takluk dengan hal-hal yang melanggar rasionalitas itu

Mistis

Mistis via solopos.com

Jodoh yang tak kunjung datang, skripsi yang belum juga kelar, hutang yang menumpuk, terlalu lama menganggur,  ingin cepat kaya dengan mudah dan keadaan lain yang begitu mencekik mungkin satu-satunya alasan logis kenapa mereka percaya pada klenik. Budaya masyarakat kita yang ingin segalanya serba instan membuat praktek perdukunan menjamur dan laris manis.

Jadi tak semua korbannya adalah orang miskin dan atau yang tidak mengenyam pendidikan. Tidak ada batasan apapun untuk menjadi korban dahsyatnya pengaruh kekuatan magis. Ketika si penipu seolah bisa membuktikan kekuatannya, maka masyarakat akan datang dengan sendirinya. Karena ini budaya masyarakat kita, mereka enggan mengeksplorasi sesuatu jika ada yang instan terpampang di depan mata.

Negara lain sudah berencana menempati planet baru dan kita masih ingin dapat uang tanpa ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Nggak malu?

Berpikir kritis

Berpikir kritis via reference.com

Ada sebuah buku apik yang mampu menggambarkan fenomena ini dengan baik meski buku itu ditulis tahun 40-an. Madilog karya Tan Malaka mengupas sisi “ketertinggalan” orang Indonesia dengan sangat tajam. Madilog dengan gamblang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia masih menganut paham feodalisme, bermental budak, dan mengkultuskan takhayul.

Madilog yang merupakan singkatan dari materialisme, dialektika, dan logika merupakan panduan berpikir realistis, pragmatis, dan fleksibel. Materialisme menekankan pada bukti-bukti kebendaan, dialektika pada perubahan dan logika pada disiplin berpikir  yang runut, sistematik, melalui silogisme, memiliki definisi yang jelas, dan paling penting adalah bisa dieksperimentasi.

Cara berpikir seperti ini penting untuk membangun masyarakat indonesia. Jika cara berpikir kita masih menggunakan logika mistika: irasional, mistik, takhayul, klenik, metafisik, dan supranatural maka kita tidak akan pernah bisa maju. Jika dilihat dari aspek kesejarahan, masyarakat Indonesia memang identik dengan budak, pantas jika sebagian besar masyarakat kita pasif dan menolak eksplorasi logika sains.

Madilog adalah simbol kebebasan berpikir. Tuhan memberikan kita akal agar kita menggunakannya dengan maksimal. Bukan diam saja mengharapakan keberuntungan datang tanpa bergerak.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ceritagrammer

CLOSE