***
Keesokan malamnya aku kembali ke kediaman Mbah Murwo diantar Anwar. Semua perlengkapan Ritual Nyuwun Pesugihan Celeng Kresek telah Anwar belikan dan diserahkan ke Mbah Murwo. Anwar menunggu di gazebo taman depan, sementara aku diajak Mbah Murwo ke pekarangan belakang. Ternyata di sana ada sebuah bangunan hitam berbentuk seperti batu besar.
“Mari masuk.” Mbah Murwo yang bertelanjang kaki dan memakai pakaian serbahitam memasuki batu besar itu.
Gua batu di belakang rumah Mbah Murwo | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Aku mengikuti Mbah Murwo dengan langkah hati-hati. Lorong pendek itu gelap, di mana pencahayaan hanya dari lilin yang menyala di sisi kiri dan kanan di dinding jalan itu. Setibanya di ujung, ada ruangan yang bentuknya mungkin seperti dalam gua. Tempat ini juga dikelilingi lilin yang menyala.
Mbah Marwo menyodorkan celana pendek hitam untuk aku kenakan.
“Lepaskan pakaianmu, ganti dengan celana itu, lalu duduk bersila di tengah,” ujar Mbah Murwo sambil menunjuk tikar pandan yang di gelar di tengah ruangan. Tikar itu sudah ditaburi kembang tujuh rupa. Ada baskom berisi darah ayam cemani dan kemenyan dalam wadah yang terbuat dari tanah liat.
“Ingat, apa pun yang terjadi, kamu nggak boleh memejamkan mata. Pokoknya, kamu jangan takut. Duduk saja diam di tempatmu.”
“Baik, Mbah.” Aku mengangguk.
Setelah mengganti pakaian, aku yang bertelanjang dada kemudian duduk bersila di tikar pandan itu. Wangi kembang tujuh rupa dikalahkan oleh bau kemenyan yang dibakar oleh Mbah Murwo. Sambil memegang wadah kemenyan yang mengepulkan asap, Mbah Murwo berjalan perlahan mengelilingiku.
“Setan Celeng Ireng, saya memanggilmu,” ucap Mbah Murwo dengan suara seraknya yang entah bagaimana kali ini menggetarkan seisi dadaku. “Persembahan telah saya sediakan. Kemenyan hitam yang dibakar dengan api dari kegelapan tempat ini. Darah ayam hitam yang didapat dari ayam yang disembelih dengan menyebut setinggi-tingginya namamu. Wangi kembang tujuh rupa yang sudah berjelaga oleh mantra darimu. Datanglah … datanglah wahai Setan Celeng Ireng. Jiwa hitam sudah menunggumu. Anakmu yang hatinya telah menghitam sudah menantimu. Datanglahhh ….”
Aku begitu tegang, sampai-sampai berkeringat dingin.
Tiba-tiba seluruh api pada lilin padam.
Hening.
Kedua mataku bergerak liar, tapi tidak mendapati apa pun. Sementara Mbah Marwo tidak bersuara lagi. Kegelapan yang makin pekat dan dingin mendadak menyengat.
Ngok!
Aku terlonjak kaget mendengar dengusan babi.
Ngok! Ngok! Ngok!
Tubuhku gemetar. Aku ingin memejamkan mata, tapi teringat pesan Mbah Murwo yang melarang itu. Akhirnya aku pasrah dan hanya bisa mendapati kegelapan yang sempurna, serta kengerian yang seolah memenggal dadaku. Aku menerka babi itu adalah Setan Celeng Ireng yang kini bergerak mengelilingiku.
Ngok! Ngok! Ngok!
Aku seperti menunggu sesuatu yang mengerikan. Sampai kemudian tiba-tiba semua lilin kembali menyala. Aku benar-benar syok mendapati Mbah Murwo tengah duduk bersimpuh di depan Setan Celeng Ireng yang berdiri di depannya.
“Ampun, Mbah Celeng Ireng,” kata Mbah Murwo dengan kepala menunduk dan kedua tangan ditangkupkan di depan dadanya.
“Ngok!” sahut Setan Celeng Ireng. Dia yang memiliki badan besar dan tinggi begitu mengerikan. Seluruh tubuhnya berbulu hitam kasar. Perut buncit seperti mengandung tiga bayi sekaligus. Kepalanya juga besar dengan moncong dan gigi tajam yang menyembul dari sela bibirnya. Sementara telinganya lebar melebihi dua telapak tangan orang dewasa.
Doni berhadapan dengan Setan Celeng Ireng | Ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Kami nyuwun pesugihan Celeng Kresek, Mbah,” kata Mbah Murwo lagi dengan nada bicara yang begitu hormat.
“Ngok! Ngok!”
“Mohon kiranya Mbah Celeng Ireng memberikan izin,” pinta Mbah Murwo sambil mengangguk pelan.
“Ngok! Ngok! Ngok!” Setan Celeng Ireng itu melangkah dengan perlahan mendekatiku. Tanpa bersuara dia mengambil baskom berisi darah ayam cemani, lalu meminumnya sampai tandas. Kemudian darah hitam dan bau itu disemburkan ke sekujur tubuhku.
Seketika aku gemetar. Bau anyir menyatu dengan bau kemenyan dan kebusukan yang menguar dari mulut Setan Celeng Ireng. Dalam ketidakmengertian dan tubuh yang terus saja bergetar tak bisa aku kendalikan, semua lilin mendadak mati lagi.
Ngok! Ngok! Ngok!
Semua lilin kembali menyala. Aku masih gemetar hebat. Sementara Setan Celeng Ireng lenyap.
Mbah Murwo membawa seember air dari ujung ruangan. Air dalam ember itu sudah bercampur kembang tujuh rupa. Dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa, dia membasuh tubuhku dengan air kembang tujuh rupa itu. Dia memandikanku sambil bersenandung entah lagu apa dan bahasa apa. Aku tidak mengerti.
Beberapa saat kemudian ritual itu pun selesai.
Setelah mengeringkan badan, aku kembali mengenakan pakaian. Namun, celana hitam yang tadi aku kenakan tak boleh dilepaskan.
Aku dan Mbah Murwo kembali menemui Anwar yang menunggu di gazebo taman depan. Aku terdiam dan gelisah. Ada keinginan yang mendesak batinku untuk segera bergerak entah ke mana.
“Kamu sudah siap dilepas,” kata Mbah Murwo. “Ikuti saja ke mana hatimu menyuruhmu melangkah. Nanti pasti kamu sampai di Gua Celeng Ireng. Ingat, kalau ada keinginan untuk beribadah atau mengucap nama Tuhan, langsung saja teriakan nama Mbah Celeng Ireng yang kuat dalam hatimu.”
Aku mengangguk.
“Dalam perjalanan gaib ini, kamu ggak akan merasakan lapar, haus, dan capek,” ujar Mbah Murwo lagi. “Nanti, saat di dalam gua kamu akan ditanya soal lebon atau tumbal pertama. Lalu, kamu bayangkan wajah anakmu sambil menyebut nama lengkap dan tanggal lahirnya, serta tegaskan bahwa lebon itu adalah anak kandungmu.”
“Baik, Mbah.”
Anwar tersenyum melihatku. “Tenang, Don, sebentar lagi kamu akan hidup menyenangkan seperti saya. Mau nambah istri pun bisa.” Dia terkekeh.
“Saat kamu mengisap rokok kemenyan dari Anwar waktu itu, kakimu telah diikat. Saat kamu selesai menjalani Ritual Nyuwun Pesugihan Celeng Kresek, itu badanmu juga diikat. Nanti, setelah kamu menyerahkan nama lebon di dalam gua, lehermu yang sudah diikat. Jadi, kamu jangan main-main,” papar Mbah Murwo dengan nada bicara dan wajah yang sangat serius.
Anwar menyerahkan sejumlah uang kepadaku. Tanpa berkata, aku lantas mengambilnya dan kusimpan di saku celana.
Aku mengangguk patuh. “Saya berangkat, Mbah, War,” kataku pamit pada mereka.
Hatiku seolah menuntun langkah kakiku. Aku terus bergerak dengan pasti menuju kegelapan yang pastilah lebih pekat dan menjerat.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: Nyuwun Pesugihan – Chapter 5