Review AADC? 2: Tokoh dan Filmnya Sama-Sama Gagal Move On.

6/10

Upaya keras mengawetkan kembali apa yang sudah dicapai di AADC?

.

Advertisement

Hingga tulisan ini dirilis, jumlah penonton Ada Apa Dengan Cinta? 2 sudah menembus angka dua juta lebih. Sangat terbuka kemungkinan untuk menyalip Laskar Pelangi (4,6 juta) dan meraih predikat sebagai film terlaris Indonesia sepanjang masa. Jika itu benar-benar kesampaian, saya pikir sanjungan terbesar justru patut dikembalikan pada kebesaran film sebelumnya, Ada Apa Dengan Cinta?

Bersama Petualangan Sherina (1999) dan Jelangkung (2001), Ada Apa Dengan Cinta? (2001) adalah tonggak kebangkitan film nasional pasca orde baru. AADC adalah salah satu produk budaya paling beken di Indonesia. Minat anak muda pada sastra, sejumlah kutipan yang berumur panjang, mamet jaket diikat ke pinggul, hingga melonjaknya karir layar perak dari hampir seluruh artis yang ambil peran di dalamnya.

Satu setengah dekade setelahnya, gaung AADC juga yang menuntun orang berbondong-bondong ke bioskop untuk menonton AADC? 2. Ini adalah keniscayaan. Tapi, ternyata bagi mereka yang keluar dengan raut muka terpuaskan, itu juga masih karena AADC.

Advertisement

Dibanding sekuel drama lain, karya arahan Riri Riza ini seperti benar-benar hanya mengawetkan kembali apa yang sudah dibangun di AADC oleh Rudi Soedjarwo selaku sutradara. Bukan menciptakan bangunan lain dengan warna yang selaras. Laksana seorang anak yang belum berani lepas dari orang tuanya.

AADC? 2 adalah film yang secara umum menghibur, itu pasti. Namun, disadari atau tidak, kita gagal move on. Memori kita akan AADC yang sejatinya menghibur diri kita.  Banyak adegan-adegan atau dialog seadanya yang menjadi bernilai karena berjuta ingatan akan AADC pertama masih tertanam. Sebagai film yang berdiri sendiri, AADC? 2 tidak sukses berdikari. Terlalu bertumpu pada nostalgia. Sama seperti konflik tokoh Rangga dan Cinta yang gagal move on di film ini.

Advertisement

Plot drama tiga babak yang pas-pasan. Semua sudah bisa diterka sejak 20 menit pertama.

Saya sedikit geli mendapati penonton bisa berseru tegang ketika adegan Rangga secara kebetulan melintas di depan kafe tempat Cinta dan gengnya tengah ngobrol. Seolah-olah ada kemungkinan Rangga dan Cinta tidak akan bertemu sama sekali lalu film ini hanya jadi perjalanan My Trip My Adventure edisi sosialita Yogyakarta.

Padahal, semua sudah bisa diterka. Sebelumnya, kita sudah punya beberapa kode yang terlalu jelas. Cinta akan ke Jogja. Tentu bukan bermaksud meliput demonstrasi UGM. Cinta bukan lagi wartawan mading. Sekarang ia beralih menjadi pegiat seni yang tertarik dengan karya perupa Jogja.

Lantas, begitu adegan Rangga membaca alamat rumah Ibunya yang tinggal di Jogja, pikiran kita secepat kalkulator langsung bisa meramalkan apa yang akan terjadi: Cinta ke Jogja. Rangga juga akan ke Jogja. Mereka bertemu, berciuman, dan pasti akan ada penonton yang berkomentar “Suaminya Dian Sastro nggak marah apa ya?”

Alhasil, 20 menit bangunan awal cerita untuk mempertemukan keduanya jauh lebih lemah dibanding ketika Cinta menemui Rangga karena ia kalah lomba puisi, dan berusaha meliput sang pemenang. Cuma butuh 10 menit, tapi sampai sekarang kita masih terkenang bahwa kalah lomba mungkin adalah sinyal kemenangan dalam jodoh 🙂

Dialog kurang cerdas. Beruntung, publik sudah mengantisipasi dari awal.

Patut diakui bahwa adegan paling mantap di AADC? 2 adalah penghakiman Rangga oleh Cinta di kafe. Omel-omelan Cinta kepada Rangga otomatis berfungsi menjelaskan latar belakang kisah cinta keduanya yang hilang belasan tahun kepada penonton. Cara yang apik dan efektif. Pengambilan gambar close-up ke wajah keduanya secara bergantian juga jadi ajang pamer paras Nicholas Saputra dan Dian Sastro yang aduhai. Dahaga kaum Adam dan Hawa pun terpenuhi.

Kendati akhirnya banyak yang kemudian diolah jadi meme, tapi jika diingat lagi sebenarnya kalimat yang terlontar dari suara parau Cinta–seperti Julie Estelle di film Kuntilanak–jauh dari kata cerdas: “Yang kamu lakukan ke saya itu.. jahat!” “Tunggu, tunggu ini penting” “Kamu kebanyakan minta maaf”.

Bandingkan dengan naskah di AADC 1: “Basi! madingnya udah siap terbit!” atau “Barusan saya ngelempar pulpen ke orang gara-gara ada yang berisik di ruangan ini. Saya gak mau itu pulpen balik ke muka saya gara-gara saya berisik sama kamu.”

Kita terlanjur pasang kuda-kuda bahwa apa aja yang dikatakan Cinta dan Rangga itu quotable.

Pemilihan lokasi tepat, namun kurang berkelindan dengan jalan kisahnya sendiri.

Saya yakin Cinta akan langsung mencampakan Rangga dan memilih pulang sendiri naik delman istimewa andai Rangga mengajaknya pergi foto-foto ke tugu Jogja atau nonton Ramayana di Prambanan. Tidak ada yang salah dengan dua obyek wisata itu. Akan tetapi, ini sudah tahun 2016. Cinta dan penonton berhak tahu tempat-tempat keren Jogja yang lain.

Untuk itu, saya sangat lega dan mengapresiasi pilihan lokasi yang dipilih di AADC? 2. Ini berkaitan juga dengan misi mereka memotret laju kembang budaya dan berkesenian kota Jogja saat ini. Tidak lagi terlalu tradisional, melainkan mulai bersinggungan dengan unsur-unsur seni modern dan kontemporer. Maka, mereka lebih memilih untuk meninggalkan campursari Gunung Kidul demi menampilkan perpaduan hip hop Jawa dengan musik elektronik dari Kill The DJ (“Ora Minggir Tabrak”).  Lagi-lagi ini langkah tepat. Sayangnya, sebagian besar lokasi tak menanamkan pengaruh langsung dalam cerita selaiknya pasar buku Kwitang di AADC 1.  Hampir seluruh lokasi cuma berperan sekedar jadi latar tempat modus si Rangga pedekate.

Itu Rangga atau Meggy Z?

Rangga yang tempo dulu begitu dewasa, cuek, introver, jual mahal, dan kritis ala Soe Hok Gie kini menjadi pengemis cinta ala “Jatuh bangun aku mengejarmu”. Selepas nonton pertunjukan boneka Pappermoon, ada satu adegan yang sempat bikin Cinta marah. Hem, di situ kita justru jadi ingat inilah seharusnya Rangga yang legendaris itu. Yang ngomong sekenanya, sinis, tapi layak jadi panutan.  Sayangnya, selain momen itu, ia hampir seperti Raffi Ahmad di film Love Is Cinta yang menye-menye.

Alya gagal ditiadakan, melainkan dipindah ke raga yang lain.

Keputusan Ladya Cheryl untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri mendatangkan masalah. Selain saya jadi harus LDR-an,  ia meninggalkan lubang besar di  AADC? 2. Dalam cerita AADC? 2, tokoh Alya yang ia perankan di AADC 1 memang sudah mendapat alasan yang masuk akal dan bisa diterima untuk tidak lagi muncul (Maaf, kami dilarang oleh Dian Sastro untuk menyebar spoiler). Sayangnya, pada akhirnya kita tetap melihat karakter Alya di tubuh Karmen. Ini membuktikan AADC? 2 ternyata tetap tidak sanggup membangun cerita tanpa keberadaan karakter “seorang sahabat yang dewasa dan bijak bagi Cinta” seperti Alya. Sehingga, Karmen jadi tumbal. Ia harus merangkap menjadi Karmen sekaligus Alya.

Ending yang terlalu rapi.

Saya kira film ini akan jauh lebih menancap di hati andai diakhiri sekitar 20 menit lebih dini. Tepatnya di adegan Cinta pulang dari Jogja. Lantaran hampir tak ada lagi elemen berkesan sesudahnya. Buat yang ada niatan nonton lagi, silahkan catat pula betapa menjenuhkannya dialog Cinta dan Rangga di adegan pamungkas film ini. Plotnya terlalu polos untuk menggiring emosi penonton dari momen konflik menuju ending. Ibarat naik pesawat terbang, pendaratannya terlalu mulus. Tidak ada tabrakan kecil-kecilan. Hmm…..ya itu baik sih. Oke, saya yang salah cari analogi atau perbandingan. Tetap harusnya pembaca yang budiman paham.

Akan tetapi untungnya wahai penduduk bumi, Mamet turun lagi ke dunia sebagai penyelamat. Ending yang garing dibikin pecah oleh penampakan Mamet di detik-detik akhir, adegan tambahan pasca kredit. Gelak tawa mengudara menghapus rasa kecewa. Sebagai balas budi, saya kira produser AADC perlu mempertimbangkan untuk mengangkat karakter Mamet dalam spin-off atau sebuah film sendiri.

Dan ini masalah yang paling parah! Itu Cinta atau bidadari yang tertukar?

Apa pun ceritanya, Dian Sastro tetap absolut. AADC? 2 sukses meresmikan lagi kesepakatan kaum Adam se-Tanah Air bahwa posisi Dian Sastro sudah di atas wanita cantik. Riri Riza sengaja sekali tidak membiarkan ada satu pun adegan untuk Dian terlihat manusiawi dan pas-pasan. Ini masalah besar, karena bikin kita salah fokus. Di bioskop, terkadang sayup-sayup kita sampai bisa mendengar suara komat-kamit ucapan istigfar dari para laki-laki…

Oke, yang terakhir tadi ngaco.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

J'ai toujours fait une prière à Dieu, qui est fort courte. La voici: Mon Dieu, rendez nos ennemis bien ridicules! Dieu m'a exaucé.

CLOSE